#Puisi_Haibun
EMBUN BERGANTI DEBU
Romy Sastra
Kicauan di kotaku bukanlah burung kenari, melainkan deru mesin bergemuruh di sepanjang jalan. Debu-debu berterbangan ke dedaunan tak lagi subur, makhota kembang di taman pucat pasi. Tak lagi menampung embun kala pagi menatap rama-rama berlari. Kotaku murung, hanya dihibur baliho di setiap pinggir jalan trotoar, sebagai pengganti aura kota berwajah teknologi, pada laju bisnis kota di tangan pemodal pengusaha dan penguasa, sama-sama mencari keuntungan pribadi.
Pagi merajuk
Embun dan debu malu
Gersang kotaku
HR RoS
Jakarta, 08/08/17
Kamis, 07 September 2017
Selasa, 05 September 2017
PROSAIS TARIAN ILALANG
#Puisi_Prosais
TARIAN ILALANG
Romy Sastra
hujan sesekali turun, lalu,
panas mendominasi membakari padang jadi gersang, tak gamang ditingkah hari yang menghadang dari pagi hingga ke petang
burung-burung pun enggan bernyanyi, memilih menjauh pergi ke pucuk nan rindang
tegarnya si ilalang menari, seperti tak merasa panas haus dan kehujanan
ia terus tumbuh, hidup yang tak pernah mengeluh
dada ibunya tergerus rusuh, rentak nadinya silih berganti memuji, sedangkan yang lain semakin angkuh, lupa pada janji pengabdian
sang bayu terus berhembus, tirta pun tak henti mengalir
jika hujan tak datang jua, ilalang itu terus menari bersama desau riuh, daun-daunnya yang kian gugur, tak menyalahkan takdir kematian, pucuk pun terus melambai, bunganya kian tumbuh subur jatuh berputik, tetap titipkan pesan pada tirani hidup yang tak kenal menyerah, meski api melahap seantero bumi, ilalang tegar terus menari, ia akan tetap terus menari, dan menari, meski plamboyan di taman selalu dijaga dan dipuja
tegarlah wahai pejantan tangguh cabari dunia, meski jejak kaki melangkah kan lelah
HR RoS
Jkt, 050917
TARIAN ILALANG
Romy Sastra
hujan sesekali turun, lalu,
panas mendominasi membakari padang jadi gersang, tak gamang ditingkah hari yang menghadang dari pagi hingga ke petang
burung-burung pun enggan bernyanyi, memilih menjauh pergi ke pucuk nan rindang
tegarnya si ilalang menari, seperti tak merasa panas haus dan kehujanan
ia terus tumbuh, hidup yang tak pernah mengeluh
dada ibunya tergerus rusuh, rentak nadinya silih berganti memuji, sedangkan yang lain semakin angkuh, lupa pada janji pengabdian
sang bayu terus berhembus, tirta pun tak henti mengalir
jika hujan tak datang jua, ilalang itu terus menari bersama desau riuh, daun-daunnya yang kian gugur, tak menyalahkan takdir kematian, pucuk pun terus melambai, bunganya kian tumbuh subur jatuh berputik, tetap titipkan pesan pada tirani hidup yang tak kenal menyerah, meski api melahap seantero bumi, ilalang tegar terus menari, ia akan tetap terus menari, dan menari, meski plamboyan di taman selalu dijaga dan dipuja
tegarlah wahai pejantan tangguh cabari dunia, meski jejak kaki melangkah kan lelah
HR RoS
Jkt, 050917
Quotes
#Quotes
Jika gamang bermain ayunan,
jangan berayun
Jika takut basah,
jangan menceburkan diri
Jika kepanasan,
jangan mendekati api
Jika ingin bahagia,
merdekakan rasa
Jika tak ingin ada beban,
jangan merasa diri ini penuh beban
Lalui saja suratan takdir hidup ini dengan senyuman
HR RoS
Jkt, 040917
Jika gamang bermain ayunan,
jangan berayun
Jika takut basah,
jangan menceburkan diri
Jika kepanasan,
jangan mendekati api
Jika ingin bahagia,
merdekakan rasa
Jika tak ingin ada beban,
jangan merasa diri ini penuh beban
Lalui saja suratan takdir hidup ini dengan senyuman
HR RoS
Jkt, 040917
Sabtu, 02 September 2017
AKU BERSAMA MALAM
AKU BERSAMA MALAM
Romy Sastra
desah bayu menambah keheningan
pada alunan seruling rindu
menyentuh sanubari,
membangunkan kisi-kisi malam
kisah yang telah sunyi, bangkitkan kembali
hening dalam kesendirian
angan kulukis bias dalam impian
jalan impian itu
yang tak pernah jadi kenyataan
dewi malam ....
temani aku malam ini
jangan dikau malu memeluk sepiku
kejora ....
taburkan kerlip indahmu
sinari temaram hati ini
biarkan aku bermandi cahaya
bersama galaxi yang mengitari
awan ....
guguskan embun malammu
basahi alam yang gersang
sirami jiwaku yang lara
walau setitik tertumpang di rerumputan
izinkan aku,
menyauk telaga mini di dedaunan
membasuh wajah yang lusuh, berdebu
berharap raut ini ceria
****
aku bersama malam
bercerita dalam bayangan diri
kaki ini sudah lelah melangkah
menggapai sebuah impian
yang kian jauh di ujung harapan
yang terkisah telah menutup memori
kau yang kuimpikan, kukasihi
kini telah berlalu pergi
adakah jalan ini kau singgahi kembali
jalan itu telah menjadi sebuah persimpangan
akankah bunga yang mekar tadi sore
layu sebelum berkembang
kuakui,
aku dalam keterpurukan
tak seperti yang diharapkan
modalku hanya sebuah keyakinan
untuk sinari kasih mimpi di ujung angan
akankah impian malamku
selalu bersanding bersama bayangan
angan, jangan menari di ujung malam
angin, bawalah sepoi keperaduan sunyi
kunang-kunang, menarilah sampai pagi
bulan, sinari malamku meski sekejap
yang dikau akan tertutup awan
fajar, jinggamu titipkanlah
semoga netra dunia menyinari jejak hari
tuk gapai esok ceria,
tak lagi berbuah kegagalan
mungkinkah pelita itu akan padam selamanya
jika rembulan tak merupa
fajar tak lagi jingga
netra dunia pun malu berganti derai rinai
entahlah ....
ah, fatalis jangan berselendang asa
HR RoS
Jakarta, 020917
Romy Sastra
desah bayu menambah keheningan
pada alunan seruling rindu
menyentuh sanubari,
membangunkan kisi-kisi malam
kisah yang telah sunyi, bangkitkan kembali
hening dalam kesendirian
angan kulukis bias dalam impian
jalan impian itu
yang tak pernah jadi kenyataan
dewi malam ....
temani aku malam ini
jangan dikau malu memeluk sepiku
kejora ....
taburkan kerlip indahmu
sinari temaram hati ini
biarkan aku bermandi cahaya
bersama galaxi yang mengitari
awan ....
guguskan embun malammu
basahi alam yang gersang
sirami jiwaku yang lara
walau setitik tertumpang di rerumputan
izinkan aku,
menyauk telaga mini di dedaunan
membasuh wajah yang lusuh, berdebu
berharap raut ini ceria
****
aku bersama malam
bercerita dalam bayangan diri
kaki ini sudah lelah melangkah
menggapai sebuah impian
yang kian jauh di ujung harapan
yang terkisah telah menutup memori
kau yang kuimpikan, kukasihi
kini telah berlalu pergi
adakah jalan ini kau singgahi kembali
jalan itu telah menjadi sebuah persimpangan
akankah bunga yang mekar tadi sore
layu sebelum berkembang
kuakui,
aku dalam keterpurukan
tak seperti yang diharapkan
modalku hanya sebuah keyakinan
untuk sinari kasih mimpi di ujung angan
akankah impian malamku
selalu bersanding bersama bayangan
angan, jangan menari di ujung malam
angin, bawalah sepoi keperaduan sunyi
kunang-kunang, menarilah sampai pagi
bulan, sinari malamku meski sekejap
yang dikau akan tertutup awan
fajar, jinggamu titipkanlah
semoga netra dunia menyinari jejak hari
tuk gapai esok ceria,
tak lagi berbuah kegagalan
mungkinkah pelita itu akan padam selamanya
jika rembulan tak merupa
fajar tak lagi jingga
netra dunia pun malu berganti derai rinai
entahlah ....
ah, fatalis jangan berselendang asa
HR RoS
Jakarta, 020917
Sabtu, 26 Agustus 2017
NAN TERLUPAKAN
NAN TERLUPAKAN
Romy Sastra
rajut terkoyak sulaman rapuh
roda waktu menjajah lara
terbuka benang memori di album lusuh
hari berlalu musim berganti
kidung jiwa leraikan resah
rindu bertamu di tepian hati
lembaran asmara telah kubencii
aku kalah pada gita cinta pelangi
yang tak memihak pada sebutir embun
pergi sajalah kisah jangan datang lagi
rawat kenangan dan lupakan kekecewaan
tatap laju ke depan meski rasa itu pahit
berdamai bersama jiwa tinggalkan dendam
lupakan kisah sedih yang dulu
kisah kasih yang tak sampai
memang noktah kita telah berbeda
tak lagi bisa bersatu
hilang jangan dikenang
biarlah rindu-rindu terbang bersama debu
nan pergi biarlah pergi
usah kembali lagi
HR RoS
Jkt,18/01/2017
Romy Sastra
rajut terkoyak sulaman rapuh
roda waktu menjajah lara
terbuka benang memori di album lusuh
hari berlalu musim berganti
kidung jiwa leraikan resah
rindu bertamu di tepian hati
lembaran asmara telah kubencii
aku kalah pada gita cinta pelangi
yang tak memihak pada sebutir embun
pergi sajalah kisah jangan datang lagi
rawat kenangan dan lupakan kekecewaan
tatap laju ke depan meski rasa itu pahit
berdamai bersama jiwa tinggalkan dendam
lupakan kisah sedih yang dulu
kisah kasih yang tak sampai
memang noktah kita telah berbeda
tak lagi bisa bersatu
hilang jangan dikenang
biarlah rindu-rindu terbang bersama debu
nan pergi biarlah pergi
usah kembali lagi
HR RoS
Jkt,18/01/2017
ESAI
_Esai_
Menyimak karya religi akak Pelangi Senja dari Selangor Malaysia.
Oleh Romy Sastra
Ini puisi membuka cakrawala pikirku, tuk meesaikan sebuah karya sahabat merangkap kakak. Tanpa ia sadari atau tidak, puisi ini mengandung filosofi hakikat yang sangat bermakna sekali pada isyarat batin yang tersirat di diri ini.
Puisi yang tak bertajuk huruf melainkan tajuknya aksara tanda titik-titik menandakan kosong tapi berisi menuai pikir dalam renungan pada titik-titik yang mesti dipahami bagi yang mencari destinasi titik itu.
Ini sebuah bentuk perjalanan imaji si aku penulis menyauk tirta di telaga batin memandu bilik-bilik diri.
Sangat sulit menterjemahkan sebuah syair yang tersirat meski ia tersurat, jika si pembaca tak memahami isi daripada kosong, melainkan insan-insan yang sudah menempuh perjalanan batin yang sudah ia temui isi di dalam kosong itu sendiri.
Mari kita menyimak puisi ini:
.....
bernafas dalam tubuh tak berjasad
bergerak bagai jisim yang bernyawa
bercahaya dalam terang meski gelap
berbara tanpa api yang terbakar
entah..
kukutip kau dari mana
hidup dalam denyut tanpa nadi
bacalah aku tanpa noktah
kerana aku ada di mana jua
Pelangi Senja, 21.08.17
Selangor
Pada larik pertama si Aku bermadah:
-bernafas dalam tubuh tak berjasad.
Ia mengajak kita merenungi sesuatu yang batin di dalam diri ini, sebab nafs itu batin. Terasa lajunya keluar masuk pada rongga dan hidung. Ia sebuah ibadah iman diri puji memuji hakiki dari detak jantung dan nadi, Ya Hu, Ya Hu, Ya Hu / Allah Allah Allah. Dan ini dinamakan solat jati pada tingkat ibadah tarikh batin, bukan pekerjaan jasad lahiriyah.
Dan menyimak di larik kedua:
-bergerak bagi jisim yang bernyawa.
Dari tarikh gerak nafs itu mengajak jisim, dalam makna tubuh atau jasad memuji bersama lahir dan batin, maka jisim bernyawa.
Di larik ketiga:
-bercahaya dalam terang meski gelap.
Ia menuntun jiwa berselancar mencari cahaya sejati, cahaya sejati itu adalah nur dalam diri. IA sangat nyata adanya dan IA awas tak tersaksi oleh rasa tak tersentuh oleh rasa itu di dalam gelap, yang ada pekat tapi IA lebih dekat dari pekatnya gelap itu.
Larik keempat:
-berbara tanpa api yang terbakar.
Ia menyiratkan empat nafsu di dalam diri. Mutmainah, lawamah, sufiah dan amarah.
Empat nafsu bagian dari api jisim membakari panas setengah panas sedang dan sejuk. Jangan hidupkan amarah biar gak terbakar. Sebab bara itu, hanya bisa dipadamkan dengan sabar istighfar.
Pada kalimat larik kelima:
-entah.
Ia si Aku terpana bukan dungu pada lajunya pikir di dalam diri. Melainkan betapa megahnya sang Maha di dalam jiwanya.
Di larik keenam:
-kukutip kau dari mana.
Si Aku semakin heran dengan penomena yang terjadi pada puji batin, ia datang tiba-tiba bersamaan, kemilau manik-manik jiwa membuncah ke seantero arasy jiwanya, tertegun si Aku indahnya megah.
Di larik ketujuh:
-hidup dalam denyut tanpa nadi.
Sungguh si Aku semakin terharu, terpukau pada mati di dalam hidup. Sebab, si Aku yang mengenali hakiki tak lagi berpijak pada nadi dan detak jantung memuji. Ia si Aku telah bermusyahadah kepada sejati, bersaksi. Sesungguhnya yang hidup itu adalah Dzat laisa kamiselihi.
Larik kedelapan:
bacalah aku tanpa noktah kerana.
Pada Dzat laisa kamiselihi syaiun mengajak semua ciptaanNya tuk memuji mengenali khaliknya, tanpa ada alasan makhluk merasa takut pada Maha Pencipta yang Maha lembut. Tercipta karena sebab melahirkan akibat / kausalis terjadi karena kehendak tak ada yang sia-sia ia diciptakan.
Pada larik terakhir:
-aku ada di mana jua.
Ilahi, Ar-Rabbani menyatakan pada segala ciptaanNya. IA khalik tidak jauh dari makhluk dan dari segala yang ada. Sedangkan leher dengan urat leher masih ada jaraknya, IA Allah manunggal menyatu kepada segala yang ada. IA berada di mana-mana, bukan bermaksud IA banyak. Akan tetapi IA Dzat Awas menyelimuti segala yang ada dan tiada sekalipun. IA Allah Akbar, Allah maha besar.
HR RoS
Jakarta, 24/08/2017
Colek Pak Dosen
Pakdhe Agung
Pakde Eko Windarto
Defri Andi Pitopang
Menyimak karya religi akak Pelangi Senja dari Selangor Malaysia.
Oleh Romy Sastra
Ini puisi membuka cakrawala pikirku, tuk meesaikan sebuah karya sahabat merangkap kakak. Tanpa ia sadari atau tidak, puisi ini mengandung filosofi hakikat yang sangat bermakna sekali pada isyarat batin yang tersirat di diri ini.
Puisi yang tak bertajuk huruf melainkan tajuknya aksara tanda titik-titik menandakan kosong tapi berisi menuai pikir dalam renungan pada titik-titik yang mesti dipahami bagi yang mencari destinasi titik itu.
Ini sebuah bentuk perjalanan imaji si aku penulis menyauk tirta di telaga batin memandu bilik-bilik diri.
Sangat sulit menterjemahkan sebuah syair yang tersirat meski ia tersurat, jika si pembaca tak memahami isi daripada kosong, melainkan insan-insan yang sudah menempuh perjalanan batin yang sudah ia temui isi di dalam kosong itu sendiri.
Mari kita menyimak puisi ini:
.....
bernafas dalam tubuh tak berjasad
bergerak bagai jisim yang bernyawa
bercahaya dalam terang meski gelap
berbara tanpa api yang terbakar
entah..
kukutip kau dari mana
hidup dalam denyut tanpa nadi
bacalah aku tanpa noktah
kerana aku ada di mana jua
Pelangi Senja, 21.08.17
Selangor
Pada larik pertama si Aku bermadah:
-bernafas dalam tubuh tak berjasad.
Ia mengajak kita merenungi sesuatu yang batin di dalam diri ini, sebab nafs itu batin. Terasa lajunya keluar masuk pada rongga dan hidung. Ia sebuah ibadah iman diri puji memuji hakiki dari detak jantung dan nadi, Ya Hu, Ya Hu, Ya Hu / Allah Allah Allah. Dan ini dinamakan solat jati pada tingkat ibadah tarikh batin, bukan pekerjaan jasad lahiriyah.
Dan menyimak di larik kedua:
-bergerak bagi jisim yang bernyawa.
Dari tarikh gerak nafs itu mengajak jisim, dalam makna tubuh atau jasad memuji bersama lahir dan batin, maka jisim bernyawa.
Di larik ketiga:
-bercahaya dalam terang meski gelap.
Ia menuntun jiwa berselancar mencari cahaya sejati, cahaya sejati itu adalah nur dalam diri. IA sangat nyata adanya dan IA awas tak tersaksi oleh rasa tak tersentuh oleh rasa itu di dalam gelap, yang ada pekat tapi IA lebih dekat dari pekatnya gelap itu.
Larik keempat:
-berbara tanpa api yang terbakar.
Ia menyiratkan empat nafsu di dalam diri. Mutmainah, lawamah, sufiah dan amarah.
Empat nafsu bagian dari api jisim membakari panas setengah panas sedang dan sejuk. Jangan hidupkan amarah biar gak terbakar. Sebab bara itu, hanya bisa dipadamkan dengan sabar istighfar.
Pada kalimat larik kelima:
-entah.
Ia si Aku terpana bukan dungu pada lajunya pikir di dalam diri. Melainkan betapa megahnya sang Maha di dalam jiwanya.
Di larik keenam:
-kukutip kau dari mana.
Si Aku semakin heran dengan penomena yang terjadi pada puji batin, ia datang tiba-tiba bersamaan, kemilau manik-manik jiwa membuncah ke seantero arasy jiwanya, tertegun si Aku indahnya megah.
Di larik ketujuh:
-hidup dalam denyut tanpa nadi.
Sungguh si Aku semakin terharu, terpukau pada mati di dalam hidup. Sebab, si Aku yang mengenali hakiki tak lagi berpijak pada nadi dan detak jantung memuji. Ia si Aku telah bermusyahadah kepada sejati, bersaksi. Sesungguhnya yang hidup itu adalah Dzat laisa kamiselihi.
Larik kedelapan:
bacalah aku tanpa noktah kerana.
Pada Dzat laisa kamiselihi syaiun mengajak semua ciptaanNya tuk memuji mengenali khaliknya, tanpa ada alasan makhluk merasa takut pada Maha Pencipta yang Maha lembut. Tercipta karena sebab melahirkan akibat / kausalis terjadi karena kehendak tak ada yang sia-sia ia diciptakan.
Pada larik terakhir:
-aku ada di mana jua.
Ilahi, Ar-Rabbani menyatakan pada segala ciptaanNya. IA khalik tidak jauh dari makhluk dan dari segala yang ada. Sedangkan leher dengan urat leher masih ada jaraknya, IA Allah manunggal menyatu kepada segala yang ada. IA berada di mana-mana, bukan bermaksud IA banyak. Akan tetapi IA Dzat Awas menyelimuti segala yang ada dan tiada sekalipun. IA Allah Akbar, Allah maha besar.
HR RoS
Jakarta, 24/08/2017
Colek Pak Dosen
Pakdhe Agung
Pakde Eko Windarto
Defri Andi Pitopang
Jumat, 11 Agustus 2017
Puisi Belajar Mati
BELAJAR MATI
Romy Sastra
Telah aku pungut tujuh kerikil melempari dosaku, tujuh kerikil penutup pintu neraka itu.
Membolak-balik kerikil kecil memandu pituduh, menghitung diri membuka hati.
Duduk bersila menatap layaran
merenungi megatruh di kancah rahasia pikir. Terkias makna yang bermegah di ruang batin, mencari-Mu, Ilahi.
Aku belajar mati merenangi segara biru, pantai-pantai melambai menghiasi nafsu berjuntai. Kutolak bara api membakari jiwa, padamkan dengan doa tauhid paripurna.
Di ujung pencarian diri, tak kutemukan bayangan wujud sama sekali, yang ada kosong teraba, terisi awas tak tersentuh. Jiwaku terpaku menatap maha jiwa, digulung maha ombak mendesir seperti lonceng berbunyi, aku mati di segara pengabdian cinta hakiki.
Pengembaraan itu akhirnya terhenti, di garis batas keyakinan tak diragukan. Pada duduk sila semalam di rumah Qulhu. Aku merindui-Mu selalu....
HR RoS
Jakarta, 11,08,17
Romy Sastra
Telah aku pungut tujuh kerikil melempari dosaku, tujuh kerikil penutup pintu neraka itu.
Membolak-balik kerikil kecil memandu pituduh, menghitung diri membuka hati.
Duduk bersila menatap layaran
merenungi megatruh di kancah rahasia pikir. Terkias makna yang bermegah di ruang batin, mencari-Mu, Ilahi.
Aku belajar mati merenangi segara biru, pantai-pantai melambai menghiasi nafsu berjuntai. Kutolak bara api membakari jiwa, padamkan dengan doa tauhid paripurna.
Di ujung pencarian diri, tak kutemukan bayangan wujud sama sekali, yang ada kosong teraba, terisi awas tak tersentuh. Jiwaku terpaku menatap maha jiwa, digulung maha ombak mendesir seperti lonceng berbunyi, aku mati di segara pengabdian cinta hakiki.
Pengembaraan itu akhirnya terhenti, di garis batas keyakinan tak diragukan. Pada duduk sila semalam di rumah Qulhu. Aku merindui-Mu selalu....
HR RoS
Jakarta, 11,08,17
Senin, 07 Agustus 2017
Prosais SEPOTONG SENJA
#Kolab_Prosais
SEPOTONG SENJA
"Aku ingin menjadi sepotong senja, tuan. Dipuja tiap sore oleh para pujangga di bibir malam.
"Aku cemburu pada jingga, yang warnanya membawa kedamaian pada alam. "Kenapa tuan tak mau mengerti arti kesetiaan itu?" Sedangkan merpati masih setia pada sangkar dengan pasangan.
"Aku bukan abuabu, yang tuan anggap debu, yang tiada erti sebuah rindu, bahkan tiada dipandang mata sekalipun.
"Ahh... kutuliskan sekeping nota untukmu senja. Pinjamkan aku namamu, sebelum malam merampas kelam. Sekalian keindahanmu yang ada kutadah dalam doa.
"Semoga tuan mengerti erti kesetiaan senja pada lembayung di segara cinta.
"Ya... Nona, bersabarlah tuk sekejap!" Aku kan kembali merajut noktah yang tercabik oleh sembilu goda.
"Aku bukan si tuan yang dianggap hina, lupa dengan kisah yang pernah kita bina. Nota itu masih tersimpan rapi di hati ini, Non!"
"Akulah si merpati yang tak ingin ingkar janji pada Nona yang terkasih....
Meski terbangku melepas ego, dan kularung ego itu ke ruang senja. Menyauk embun di daun keladi, kuusap pada setangkup hati yang tersisih.
Pelangi Senja bersama Romy Sastra
Selangor dan Jakarta 07,08,17
SEPOTONG SENJA
"Aku ingin menjadi sepotong senja, tuan. Dipuja tiap sore oleh para pujangga di bibir malam.
"Aku cemburu pada jingga, yang warnanya membawa kedamaian pada alam. "Kenapa tuan tak mau mengerti arti kesetiaan itu?" Sedangkan merpati masih setia pada sangkar dengan pasangan.
"Aku bukan abuabu, yang tuan anggap debu, yang tiada erti sebuah rindu, bahkan tiada dipandang mata sekalipun.
"Ahh... kutuliskan sekeping nota untukmu senja. Pinjamkan aku namamu, sebelum malam merampas kelam. Sekalian keindahanmu yang ada kutadah dalam doa.
"Semoga tuan mengerti erti kesetiaan senja pada lembayung di segara cinta.
"Ya... Nona, bersabarlah tuk sekejap!" Aku kan kembali merajut noktah yang tercabik oleh sembilu goda.
"Aku bukan si tuan yang dianggap hina, lupa dengan kisah yang pernah kita bina. Nota itu masih tersimpan rapi di hati ini, Non!"
"Akulah si merpati yang tak ingin ingkar janji pada Nona yang terkasih....
Meski terbangku melepas ego, dan kularung ego itu ke ruang senja. Menyauk embun di daun keladi, kuusap pada setangkup hati yang tersisih.
Pelangi Senja bersama Romy Sastra
Selangor dan Jakarta 07,08,17
Jumat, 04 Agustus 2017
Kwatrin Renungan Diri
#Kwatrin Renungan Diri
Romy Sastra
Sepi merenung bukan patah hati. Melainkan diam tafakur mencari diri. Duduk bersunyi-sunyi di malam hari. Komat-kamit menghitung tasbih menempuh pagi.
Sepi merenungi kejadian azali terjadi. Tuntunan tauhid di atas tiang-tiang berdiri. Pada alif berguru tongkat sejati. Jangan bermain ego jika ingin tahu hakiki.
Duhai, pengembara sunyi. Tatap malam jangan bermain kelam. Sedangkan pintu langit selalu terbuka di hati. Bulan dan bintang tak pernah tenggelam bersemayam.
Seribu guru kupelajari ajaran kebenaran. Guru-guru itu bertaburan di setiap langkah dan berlari. Taat pada tuntunan takkan tersesat jalan. Menangislah diri jika tak ditemukan yang dirindui.
Aku pernah mati meninggalkan dunia ini sesaat. Dunia ini, jika tak diawasi lelaku akan tersesat. Sebelum terlambat ke liang lahat segeralah bertobat. Kiamat diri sebentar lagi kian mendekat.
Aku mati belajar mengenali sakaratul maut. Sedangkan el-maut mencibir diri ini nyawa akan direnggut. Kenapa diri lupa tentang kematian tak merasa takut. Sedangkan tangan el-maut tiba-tiba datang mencabut.
Pada sepi aku bersunyi-sunyi menyadari kekhilafan diri. Dalam kesunyian menemui Ilahi. Wajah Ilahi bukan wujud melainkan Idzati. Dengan jalan menempuh kematian itu kita bertajali.
HR RoS
Jkt, Jumat malam 03/08/17
Romy Sastra
Sepi merenung bukan patah hati. Melainkan diam tafakur mencari diri. Duduk bersunyi-sunyi di malam hari. Komat-kamit menghitung tasbih menempuh pagi.
Sepi merenungi kejadian azali terjadi. Tuntunan tauhid di atas tiang-tiang berdiri. Pada alif berguru tongkat sejati. Jangan bermain ego jika ingin tahu hakiki.
Duhai, pengembara sunyi. Tatap malam jangan bermain kelam. Sedangkan pintu langit selalu terbuka di hati. Bulan dan bintang tak pernah tenggelam bersemayam.
Seribu guru kupelajari ajaran kebenaran. Guru-guru itu bertaburan di setiap langkah dan berlari. Taat pada tuntunan takkan tersesat jalan. Menangislah diri jika tak ditemukan yang dirindui.
Aku pernah mati meninggalkan dunia ini sesaat. Dunia ini, jika tak diawasi lelaku akan tersesat. Sebelum terlambat ke liang lahat segeralah bertobat. Kiamat diri sebentar lagi kian mendekat.
Aku mati belajar mengenali sakaratul maut. Sedangkan el-maut mencibir diri ini nyawa akan direnggut. Kenapa diri lupa tentang kematian tak merasa takut. Sedangkan tangan el-maut tiba-tiba datang mencabut.
Pada sepi aku bersunyi-sunyi menyadari kekhilafan diri. Dalam kesunyian menemui Ilahi. Wajah Ilahi bukan wujud melainkan Idzati. Dengan jalan menempuh kematian itu kita bertajali.
HR RoS
Jkt, Jumat malam 03/08/17
MEMORI DAERAH SUNYI
#puisi_kolaborasi
MEMORI DAERAH SUNYI
Pelangi Senja bersama Romy Sastra
pada sekeping hati
tanah pulau yang dibiar sepi
setelah engkau pergi
aku tewas kalah dan mati
tidakkah kau melihat aku, bekas kekasihmu
madu yang dulu kau saring, kini telah kering
membilang semu di bibir hari
noktah kita akhirnya tercabik duri
setelah engkau bertemu debunga wangi
selendang usang tak berharga lagi
perca-perca rindu jadi memori
memori yang tak berarti
jalan sepi pernah kita lewati
kau memahat namaku di daerah sunyi
hanya kau dan aku berjanji sehidup semati
ternyata lenaku mengecapi mimpi-mimpi
setelah terjaga engkau tiada lagi
kisah kasih itu ternyata ilusi
4.8.2017
Selangor dan Jakarta
MEMORI DAERAH SUNYI
Pelangi Senja bersama Romy Sastra
pada sekeping hati
tanah pulau yang dibiar sepi
setelah engkau pergi
aku tewas kalah dan mati
tidakkah kau melihat aku, bekas kekasihmu
madu yang dulu kau saring, kini telah kering
membilang semu di bibir hari
noktah kita akhirnya tercabik duri
setelah engkau bertemu debunga wangi
selendang usang tak berharga lagi
perca-perca rindu jadi memori
memori yang tak berarti
jalan sepi pernah kita lewati
kau memahat namaku di daerah sunyi
hanya kau dan aku berjanji sehidup semati
ternyata lenaku mengecapi mimpi-mimpi
setelah terjaga engkau tiada lagi
kisah kasih itu ternyata ilusi
4.8.2017
Selangor dan Jakarta
Rabu, 02 Agustus 2017
PELANGI TAK SELALU INDAH
PELANGI TAK SELALU INDAH
Karya Romy Sastra II
semburat hari membulir pagi
daun-daun menari lenggok bak bidadari
capung-capung terbang bergoyang
menanti bianglala hadir merupa
fajar redup embun bias tertutup debu
netra dunia sinari lembah sunyi
di sana dan di sini iklim tak sama
gejolak hari melakon cerita usang
rona silih berganti dalam siklus masa
pelangi adakala tak selalu indah
di antara cerita lama dan kekinian
jelaslah berbeda
senja telah datang menempuh malam
di sini langit berkabut
menutup jendela biru
ruang mega keabu-abuan
seduhan kopi tak manis kuhidangkan
dunia disapa tertawan kebisuan
seperti opera tak berpenonton
pentas tertutup layar
seakan tak memahami alur cerita seni
skenario story salah tingkah sudah
bait-bait tinta bersimpuh tertoreh lusuh
pelangi tak sempurna mewarnai lingkaran
dentuman menghapus jejak kabut pagi
terik hadir seperti purnama di malam hari
lidah api mencambuk senja
geger guruh mengundang rusuh
Jibril titipkan isyarat pada kehidupan
tunduklah wahai yang tercipta pada
ke haribaanNya
kabut pekat akhirnya
rinaikan sebak di dada langit
nuansa pagi dan petang tak berseri
pada puisi ini bercerita tentang pelangi
yang tak selalu indah
pada cakrawala dunia
HR RoS
Jakarta, 03.01.2017
Karya Romy Sastra II
semburat hari membulir pagi
daun-daun menari lenggok bak bidadari
capung-capung terbang bergoyang
menanti bianglala hadir merupa
fajar redup embun bias tertutup debu
netra dunia sinari lembah sunyi
di sana dan di sini iklim tak sama
gejolak hari melakon cerita usang
rona silih berganti dalam siklus masa
pelangi adakala tak selalu indah
di antara cerita lama dan kekinian
jelaslah berbeda
senja telah datang menempuh malam
di sini langit berkabut
menutup jendela biru
ruang mega keabu-abuan
seduhan kopi tak manis kuhidangkan
dunia disapa tertawan kebisuan
seperti opera tak berpenonton
pentas tertutup layar
seakan tak memahami alur cerita seni
skenario story salah tingkah sudah
bait-bait tinta bersimpuh tertoreh lusuh
pelangi tak sempurna mewarnai lingkaran
dentuman menghapus jejak kabut pagi
terik hadir seperti purnama di malam hari
lidah api mencambuk senja
geger guruh mengundang rusuh
Jibril titipkan isyarat pada kehidupan
tunduklah wahai yang tercipta pada
ke haribaanNya
kabut pekat akhirnya
rinaikan sebak di dada langit
nuansa pagi dan petang tak berseri
pada puisi ini bercerita tentang pelangi
yang tak selalu indah
pada cakrawala dunia
HR RoS
Jakarta, 03.01.2017
Puisi Tafakurnya Sang Musyafir
TAFAKURNYA SANG MUSYAFIR
Romy Sastra
Telah aku kelilingi dunia, mencariMu
Di berbagai persinggahan bertanya
Di mana pintu istana maha kekasih berada
Semua diam tak mengerti
Bertanya kepada angin
Sepoinya melenakan tubuh, mata terkantuk
Debu-debu diterbangkan, berpeluh
Tutupi saja wajah ini
Di liang rongga ia memuji
Bertanya kepada langit
Jangan tatap dadaku
Bulan, bintang, matahari, mereka semua bersujud
Merunduklah!
Pintu langit ada dalam tafakur
Bertanya kepada hamparan terbentang
Pasrah tak menuntut jera, jerih dan lelah
Ia berbisik pada pasir-pasir terpijak
Di tubuhmu pagar istana kekasih berada
Bertanya kepada samudera
Riak-riaknya melambai seperti bayangan
Jangan menatap nun di kejauhan
Telanjangilah jiwamu, selami kedalaman itu
Terdiam sejenak merenungi diri
Yang dicari sesungguhnya tak jauh
Cukup bertanya pada rasa, mursyid
Istana kekasih itu
Pintunya ada pada kematian di dalam hidup
HR RoS
Jakarta, 20,03,2017
Romy Sastra
Telah aku kelilingi dunia, mencariMu
Di berbagai persinggahan bertanya
Di mana pintu istana maha kekasih berada
Semua diam tak mengerti
Bertanya kepada angin
Sepoinya melenakan tubuh, mata terkantuk
Debu-debu diterbangkan, berpeluh
Tutupi saja wajah ini
Di liang rongga ia memuji
Bertanya kepada langit
Jangan tatap dadaku
Bulan, bintang, matahari, mereka semua bersujud
Merunduklah!
Pintu langit ada dalam tafakur
Bertanya kepada hamparan terbentang
Pasrah tak menuntut jera, jerih dan lelah
Ia berbisik pada pasir-pasir terpijak
Di tubuhmu pagar istana kekasih berada
Bertanya kepada samudera
Riak-riaknya melambai seperti bayangan
Jangan menatap nun di kejauhan
Telanjangilah jiwamu, selami kedalaman itu
Terdiam sejenak merenungi diri
Yang dicari sesungguhnya tak jauh
Cukup bertanya pada rasa, mursyid
Istana kekasih itu
Pintunya ada pada kematian di dalam hidup
HR RoS
Jakarta, 20,03,2017
Jumat, 28 Juli 2017
Puisi Menjawab Puisi Syaidina Ali
OBATMU TERDAPAT DI DALAM DIRIMU
Romy Sastra II
Ketika sadar terpikirkan tujuan
Jangan lari dari kenyataan
Merasa perih tak ada penawar
Sedangkan Tuhan bersamamu, menyediakan segala kebutuhan
Jangan gelap bermain api,
kan terbakar nanti
Sedangkan cahaya hati selalu menerangi
Apakah kamu tak menyadari penawar lara
Ia berasal dari dirimu
Kenapa kamu tak mengetahuinya?
Kau mengira hatimu satu benda yang kecil
Namun
Di dalam hatimu
Termuat alam yang begitu besar
Segala lara ada obatnya
Surga dan neraka ada di dalamnya
Bahkan cinta dan benci bergandengan
Tak berjarak seperti misykat tak terlihat
Nyata mengikat erat sebuah perjalanan
Unsur tubuh kearifan ruh
Maka, kenalilah sang Maha Ruh
Hingga sakit terasa nikmat
Berjalanlah dengan pedoman
Biar tak tersesat jalan menempuh kehidupan dan kematian
HR RoS
Jakarta, 130617
#menjawab_syair_Syaidina_Ali
Romy Sastra II
Ketika sadar terpikirkan tujuan
Jangan lari dari kenyataan
Merasa perih tak ada penawar
Sedangkan Tuhan bersamamu, menyediakan segala kebutuhan
Jangan gelap bermain api,
kan terbakar nanti
Sedangkan cahaya hati selalu menerangi
Apakah kamu tak menyadari penawar lara
Ia berasal dari dirimu
Kenapa kamu tak mengetahuinya?
Kau mengira hatimu satu benda yang kecil
Namun
Di dalam hatimu
Termuat alam yang begitu besar
Segala lara ada obatnya
Surga dan neraka ada di dalamnya
Bahkan cinta dan benci bergandengan
Tak berjarak seperti misykat tak terlihat
Nyata mengikat erat sebuah perjalanan
Unsur tubuh kearifan ruh
Maka, kenalilah sang Maha Ruh
Hingga sakit terasa nikmat
Berjalanlah dengan pedoman
Biar tak tersesat jalan menempuh kehidupan dan kematian
HR RoS
Jakarta, 130617
#menjawab_syair_Syaidina_Ali
Prosais Berguru Pada Semut
#puisi_prosais
Berguru Pada Semut
Romy Sastra II
Bisu bukan tak bersuara, aksara bahasanya mengeja kata.
Tarian jemarinya gemulai, yang melahirkan makna
Bisu membaca perihal cinta di dalam lirik, berkomat-kamit. Ia menyapa?
Adakah dikau tersenyum, ataukah terpana? Mestinya kita memahami, itu juga bahasa Tuhan.
Bergurulah pada semut-semut kecil yang beriring jalan! Saling mengenali.
Ia mencium aroma setia tak tersisih di garis kesetiaan, melainkan menyisihkan dendam.
"Duhai, diri....
Jangan kotori kewibawaan insan, malulah pada budi yang bersemayam di hati ini.
Jiwa kita menyemai plamboyan, kedamaian
Biarkan bunga-bunga cinta bermekaran di taman
Bibit-bibit kesahajaan pakaian keimanan. Janganlah menyimpan dendam, bunga layu, pelita kan padam.
Usah bertengkar diri! Kekang ego jangan bermain api, sedangkan angin masih berhembus, kipaslah dada,
Usah bertengkar diri! Sauk dan teguklah tirta di telaga sunyi, bermandilah dengan kacahaya rasa.
Dunia ini indah, nikmatilah! Hidup ini sesaat, kapan beribadah?
"Ya... malulah pada semut-semut kecil yang berbaris di tanah. Berikan laluannya, jangan injak, ia mati.
Tapi, ia tak dendam.
Ketika disakiti, jangan salahkan doa-doa yang dizalimi dimakbulkan Tuhan....
HR RoS
Jkt, 28/07/17
Berguru Pada Semut
Romy Sastra II
Bisu bukan tak bersuara, aksara bahasanya mengeja kata.
Tarian jemarinya gemulai, yang melahirkan makna
Bisu membaca perihal cinta di dalam lirik, berkomat-kamit. Ia menyapa?
Adakah dikau tersenyum, ataukah terpana? Mestinya kita memahami, itu juga bahasa Tuhan.
Bergurulah pada semut-semut kecil yang beriring jalan! Saling mengenali.
Ia mencium aroma setia tak tersisih di garis kesetiaan, melainkan menyisihkan dendam.
"Duhai, diri....
Jangan kotori kewibawaan insan, malulah pada budi yang bersemayam di hati ini.
Jiwa kita menyemai plamboyan, kedamaian
Biarkan bunga-bunga cinta bermekaran di taman
Bibit-bibit kesahajaan pakaian keimanan. Janganlah menyimpan dendam, bunga layu, pelita kan padam.
Usah bertengkar diri! Kekang ego jangan bermain api, sedangkan angin masih berhembus, kipaslah dada,
Usah bertengkar diri! Sauk dan teguklah tirta di telaga sunyi, bermandilah dengan kacahaya rasa.
Dunia ini indah, nikmatilah! Hidup ini sesaat, kapan beribadah?
"Ya... malulah pada semut-semut kecil yang berbaris di tanah. Berikan laluannya, jangan injak, ia mati.
Tapi, ia tak dendam.
Ketika disakiti, jangan salahkan doa-doa yang dizalimi dimakbulkan Tuhan....
HR RoS
Jkt, 28/07/17
Prosais Air Laut Tak Asin Lagi
#Puisi_prosais
AIR LAUT TAK ASIN LAGI
Romy Sastra
Layaran ini tak kuhentikan, meski gelombang datang menghadang, kulihat pantai itu ramai menanti pesta laut, dermaga hilir mudik membawa kristal-kristal asin ke pergudangan. Entah untuk apa kristal asin itu tuan timbun?" Negeri ini negeri bahari, kenapa mereka dahaga di atas air laut sendiri. Aku anak negeri ini heran, tertanya-tanya pada warta mengudara, pada teriak nyonya-nyonya di pasar-pasar, pada industri-industri kecil yang merasa rugi pada produksinya, perusahannya di ambang guling tikar, "Ya, karena harga garam melangit. Ironisnya, langka. Aneh, negeri bahari ini.
"Tuan?! Apakah air laut memang tak asin lagikah? Ataukah tuan sudah pencundang kenyang bermain petak umpet oleh kolonial nakal? Aku manggut-manggut sendiri, ini lucu. Lucu selucu-lucunya. Negeri bahari air lautnya tak asin lagi, kuah-kuah di panci serasa hambar, nyonya terkekeh-kekeh di dapur, garam aja kok bisa langka. Bedebahnya kerja menteri-menteri itu. Layaranku, akhirnya berlabuh pada maruah bangsa yang dijajah oleh pemodal bermata satu.
HR RoS
Jkt, 28/07/17
AIR LAUT TAK ASIN LAGI
Romy Sastra
Layaran ini tak kuhentikan, meski gelombang datang menghadang, kulihat pantai itu ramai menanti pesta laut, dermaga hilir mudik membawa kristal-kristal asin ke pergudangan. Entah untuk apa kristal asin itu tuan timbun?" Negeri ini negeri bahari, kenapa mereka dahaga di atas air laut sendiri. Aku anak negeri ini heran, tertanya-tanya pada warta mengudara, pada teriak nyonya-nyonya di pasar-pasar, pada industri-industri kecil yang merasa rugi pada produksinya, perusahannya di ambang guling tikar, "Ya, karena harga garam melangit. Ironisnya, langka. Aneh, negeri bahari ini.
"Tuan?! Apakah air laut memang tak asin lagikah? Ataukah tuan sudah pencundang kenyang bermain petak umpet oleh kolonial nakal? Aku manggut-manggut sendiri, ini lucu. Lucu selucu-lucunya. Negeri bahari air lautnya tak asin lagi, kuah-kuah di panci serasa hambar, nyonya terkekeh-kekeh di dapur, garam aja kok bisa langka. Bedebahnya kerja menteri-menteri itu. Layaranku, akhirnya berlabuh pada maruah bangsa yang dijajah oleh pemodal bermata satu.
HR RoS
Jkt, 28/07/17
Rabu, 26 Juli 2017
Sinopsis Bumi Mande Bapuisi
Sinopsis BMB Bumi Mande Bapuisi
Romy Sastra
Selayang pandang deburan pesisir menggugah tembok-tembok batu karang di Batu Kalang, pantai Kambang berhias pasir putih sejauh mata memandang dan hutan bakau di taman laut Bumi Mande Bapuisi. Kita bernyanyi bersama indahnya pesona pulau pantai Mande menghalau risau pada nyanyian yang sumbang menempuh petang, tentang kearifan lokal yang tak ingin tergerus zaman.
Di pantai Sago di pinggir jalan sajakku terhenti, kenapa camar-camar laut itu mulai enggan terbang tinggi, sedangkan siulan merpati tak ingin bisu, camar tak lagi mampu berlomba bernyanyi, ia memilih sunyi. Apakah sayap-sayapnya telah patah? "Ya... jika iya, masih ada sunset jingga nan jauh merupa menyulam cerita di kaki langit memanjakan dermaga Teluk Bayur dengan untaian lembayung pada riak-riak yang tenang. Satu sayap patah menikam jatuh, menimpa daun-daun mati, cukup saja tariannya melepas sayap putih terjatuh di daun mati, tunas-tunas enggan berganti, kenapa? "Oh... titian akar di negeri Pulut-Pulut Bayu Bayang Utara, destinasi wisata itu di ujung rimba, berhias negeri baru di atas awan, menitip cerita dua hati para remaja berkisah nostalgia, yang selalu setia menanti kehadiran kekasih tentang kepergian semusim rindu pada raya tiba.
Koto Baru Bayang, dibingkai janji-janji manis di rinai embun air terjun, destinasi berkasih sayang, di Bayang Sani itu, cerita bermula, kisah tak jadi di sini, rindu semusim usai pada rintik air bening di ujung mata mengundang pelangi bertandang, seperti bidadari membawa selendang bersolek di atas batu tak nampak oleh mata telanjang.
"Ya, sinopsis deburan petang, riang ombak bernyanyi di pantai yang tak lelah menari gemulai di sagara nan dalam. Aku terdiam di batas ranah Pesisir Selatan, berjuntai memandang, sejuknya tatapan ke hutan belantara di sana. Pada suara alam, lembutnya kicauan cericit si burung mungil bersahutan.
Pesisir Selatan di nyanyian diksi Bumi Mande Bapuisi kala senja menyapa pantai di Carocok Painan nan permai.
HR RoS
Jkt, 26/07/17
Romy Sastra
Selayang pandang deburan pesisir menggugah tembok-tembok batu karang di Batu Kalang, pantai Kambang berhias pasir putih sejauh mata memandang dan hutan bakau di taman laut Bumi Mande Bapuisi. Kita bernyanyi bersama indahnya pesona pulau pantai Mande menghalau risau pada nyanyian yang sumbang menempuh petang, tentang kearifan lokal yang tak ingin tergerus zaman.
Di pantai Sago di pinggir jalan sajakku terhenti, kenapa camar-camar laut itu mulai enggan terbang tinggi, sedangkan siulan merpati tak ingin bisu, camar tak lagi mampu berlomba bernyanyi, ia memilih sunyi. Apakah sayap-sayapnya telah patah? "Ya... jika iya, masih ada sunset jingga nan jauh merupa menyulam cerita di kaki langit memanjakan dermaga Teluk Bayur dengan untaian lembayung pada riak-riak yang tenang. Satu sayap patah menikam jatuh, menimpa daun-daun mati, cukup saja tariannya melepas sayap putih terjatuh di daun mati, tunas-tunas enggan berganti, kenapa? "Oh... titian akar di negeri Pulut-Pulut Bayu Bayang Utara, destinasi wisata itu di ujung rimba, berhias negeri baru di atas awan, menitip cerita dua hati para remaja berkisah nostalgia, yang selalu setia menanti kehadiran kekasih tentang kepergian semusim rindu pada raya tiba.
Koto Baru Bayang, dibingkai janji-janji manis di rinai embun air terjun, destinasi berkasih sayang, di Bayang Sani itu, cerita bermula, kisah tak jadi di sini, rindu semusim usai pada rintik air bening di ujung mata mengundang pelangi bertandang, seperti bidadari membawa selendang bersolek di atas batu tak nampak oleh mata telanjang.
"Ya, sinopsis deburan petang, riang ombak bernyanyi di pantai yang tak lelah menari gemulai di sagara nan dalam. Aku terdiam di batas ranah Pesisir Selatan, berjuntai memandang, sejuknya tatapan ke hutan belantara di sana. Pada suara alam, lembutnya kicauan cericit si burung mungil bersahutan.
Pesisir Selatan di nyanyian diksi Bumi Mande Bapuisi kala senja menyapa pantai di Carocok Painan nan permai.
HR RoS
Jkt, 26/07/17
Selasa, 25 Juli 2017
Puisi prosais_ OH, BAYANGANKU
#puisi_prosais
OH, BAYANGANKU
Romy Sastra
Di pertengahan terik, titik pusar hari membakari bayanganku, aku tegar. Sepoinya sang bayu menderu dedaunan, tak mampu redamkan panas di ubun, meski tertutup seribu topi di kepala, justru lelehan lahar mengaliri, harungi kulit-kulit di badan serasa bermandi tak berpancuran.
Jangan salahpaham pada Tuhan!" RahmatNya tidak terbatas pada hujan dan embun malam yang diidamkan oleh kesuburan. Tanpa kau terik, buah-buah tak meranum bergizi, malah ia akan membusuk sebelum matangnya tiba. "Tuhan... ajarkan hati ini bersyukur, jangan lalaikan hambaMu akan anugerah matahari yang dikutuk pada insan si pengeluh, di bawah terik rahmatMu yang tak dirindui ini.
Bayangan diri ini telah mulai perlahan berangsur menjauh pergi dari lingga diri. "Sadarkan hati!" Bahwa senja akan tiba, pertanda bekal azali pada janji hidup sebentar lagi berakhir di tangan misteri, terampaskah nyawa ini?" Ataukah dipeluk kekasih, entahlah....
HR RoS
Jkt, 26/07/17
OH, BAYANGANKU
Romy Sastra
Di pertengahan terik, titik pusar hari membakari bayanganku, aku tegar. Sepoinya sang bayu menderu dedaunan, tak mampu redamkan panas di ubun, meski tertutup seribu topi di kepala, justru lelehan lahar mengaliri, harungi kulit-kulit di badan serasa bermandi tak berpancuran.
Jangan salahpaham pada Tuhan!" RahmatNya tidak terbatas pada hujan dan embun malam yang diidamkan oleh kesuburan. Tanpa kau terik, buah-buah tak meranum bergizi, malah ia akan membusuk sebelum matangnya tiba. "Tuhan... ajarkan hati ini bersyukur, jangan lalaikan hambaMu akan anugerah matahari yang dikutuk pada insan si pengeluh, di bawah terik rahmatMu yang tak dirindui ini.
Bayangan diri ini telah mulai perlahan berangsur menjauh pergi dari lingga diri. "Sadarkan hati!" Bahwa senja akan tiba, pertanda bekal azali pada janji hidup sebentar lagi berakhir di tangan misteri, terampaskah nyawa ini?" Ataukah dipeluk kekasih, entahlah....
HR RoS
Jkt, 26/07/17
Puisi prosais_Pijar Hati Yang Kucari
#Puisi_Prosais
Pijar Hati Yang Kucari
Romy Sastra
Siang tadi pijar hari menyapa, sebuah keniscayaan spirit alam menyinari mayapada. Ia menyemangati kulit ariku, bukan membakari. Embun pagi lenyap ditikam aurora langit.
Lebam di tangan tak peduli, kubiarkan saja ia menggenggam nasib badan.
Jalani saja liku-liku perjalanan hidup ini menempuh destinasi cinta di penghujung usia. "Ah... resah, kenapa bergayut hiba di sudut mata yang mulai basah?" Seperti embun senja menyapa dedaunan, dahaga dibakari pijar hari siang tadi.
"Ya...senja telah tiba, pijar hari kembali ke peraduan sunyi. Kulipat langit kala malam, kuhamparkan sajadah, kuhitung-hitung tiket pertunjukkan menatap layar diri. Layar terbentang pijar hakiki bertandang, inikah destinasi yang sesungguhnya kucari. "Ya, bersemayamnya maha cinta di hati ini. Ia yang tak pernah alpa menatap dengan kasih sayang tak berhujung tak bertepi selagi batin memandang.
Makrifat cintaku nyata adanya,
kehadirannya memanglah indah.
Aku terpesona....
HR RoS
Jkt, 24/07/17
Pijar Hati Yang Kucari
Romy Sastra
Siang tadi pijar hari menyapa, sebuah keniscayaan spirit alam menyinari mayapada. Ia menyemangati kulit ariku, bukan membakari. Embun pagi lenyap ditikam aurora langit.
Lebam di tangan tak peduli, kubiarkan saja ia menggenggam nasib badan.
Jalani saja liku-liku perjalanan hidup ini menempuh destinasi cinta di penghujung usia. "Ah... resah, kenapa bergayut hiba di sudut mata yang mulai basah?" Seperti embun senja menyapa dedaunan, dahaga dibakari pijar hari siang tadi.
"Ya...senja telah tiba, pijar hari kembali ke peraduan sunyi. Kulipat langit kala malam, kuhamparkan sajadah, kuhitung-hitung tiket pertunjukkan menatap layar diri. Layar terbentang pijar hakiki bertandang, inikah destinasi yang sesungguhnya kucari. "Ya, bersemayamnya maha cinta di hati ini. Ia yang tak pernah alpa menatap dengan kasih sayang tak berhujung tak bertepi selagi batin memandang.
Makrifat cintaku nyata adanya,
kehadirannya memanglah indah.
Aku terpesona....
HR RoS
Jkt, 24/07/17
Minggu, 23 Juli 2017
Cerpen kolaborasi, Ketika Cinta Tak Direstui
#Cerpen_Kolaborasi
KETIKA CINTA TAK DIRESTUI
Penulis: Romy Sastra bersama
Fe Chrizta
#1
Mentari telah meninggi, di balik pentilasi jendela. Perlahan kusibak tirai pembatas dingin dari siklus hawa tak menentu menerebos jiwa nan lara.
Sedangkan hati ini masih resah, menatap jalanan yang diguyuri hujan semalam.
Tok..tok...tok....
Terdengar suara ketukkan pintu
dari luar kamar, seperti ada yang mau membangunkanku.
"Hai... Ridwan, bangun! hari sudah siang.
Apakah kamu gak kerja hari ini? Sahut suara itu.
Sepertinya ibuku memanggil ini, bisikku dalam hati.
"Ya... ibu, aku sudah bangun ini,
ibu berlalu mendengar jawabanku telah bangun.
Lama tatapan kosong
kala memandang satu pigura di dinding kamar terpampang.
Ia Anetta, kekasihku.
Bergumam, bertanya dalam bisu?"
"Netta?"
Kenapa dikau hadir mengisi hidupku,
abang mencintaimu Netta
sedangkan akidah kita berbeda
diriku ingin memilikimu.
Tapi, "ahh... lamunan, kau usik jiwaku.
Anetta, kita yang pernah mengikat janji tuk saling mencintai selamanya, apapun itu rintangan kita nanti, akan dihadapi berdua.
Bak merpati tak ingin ingkari janji sampai mati.
Setengah dekade jalinan cinta bersamamu, orang tuaku belum diberi tahu sama sekali tentang hubungan kita.
Pagi telah merambat pergi, aku Ridwan masih saja di atas tilam lusuh berbantal jemari letih.
Dengan rasa malas tiba-tiba, aku putuskan tak masuk kerja hari ini.
Lalu, ibuku mengetuk pintu kedua kalinya.
Tok..tok...tok....
"Ridwan..., haii, nak?"
kenapa belum bangun juga kau ini?"
Tak sabar ibuku membuka pintu, kreekk...
memang pintu tak terkunci dari semalam.
"Walah... kau ini Ridwan!"
Ada apa sih kamu kok melamun begitu, hari sudah siang, apa kamu cuti hari ini?
tanya ibuku dengan nada penasaran.
(Aku masih saja diam menatap
foto Anetta di dinding kamarku)
Spontan ibuku mengambil bingkai yang terpampang di dinding, ia sudah lama potret itu menghias relung-relung asmara, di kala kurindu dengan Anetta.
*******
Coba kamu terangkan Ridwan!"
Ada apa dengan foto ini?
Kutatap wajah ibu dengan rasa pesimis dan malu.
"Ibu..., maafkan Ridwan ya bu.
Foto ini adalah Anetta kekasihku bu,"
terus!" tanya ibu lagi.
Ia Anetta, sudah lama kupacari, Netta minta menikah denganku ibu.
"Lho... baguslah itu Ridwan, Nietta kan cantik, wanita karir lagi,
dan kalian saling mencintai kok.
Ibu juga tak sabar menimang cucu kesayangan dari pernikahan kalian nanti.
Ia ibu, tapi.
Tapi kenapa Ridwan?"
"Ibu... Anetta itu beragama Kristiani lho ibu.
"Walah... sahut ibu.
Tidakk, tidak Ridwan....
Ibu tidak merestui kamu menikah dengan Anetta itu. Dengar Ridwan!"
Apa kata dunia, jikalau ibu punya menantu orang Kristiani.
Mau ditarok di mana muka ibu, semua saudara mencelamu nanti Ridwan.
"Buu... yang menikah itu aku bu,
bukan mereka.
"Ia... ibu tahu itu Ridwan, tapi bagaimana pertanggungjawaban di akhirat kelak, sedangkan tuntunan agama kita jelas melarang menikah beda agama.
"Yaa... ibu, cinta itu butuh perjuangan serta pengorbanan.
Pengorbanan apa? Tidakk Ridwan.
Kamu tidak boleh menikah dengan Anetta itu, titik....
Ibuku keluar dari dalam kamar, membawa ekspresi gundah gulana.
Sedangkan aku larut dalam pikir, bak buah simalakama menjadi menu pagiku.
Kutuliskan sepucuk surat
kukirimkan pada Anetta.
Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang....
*******
#2
Sementara itu di tempat lain...
Anetta termangu..
Matanya menatap jauh ke arah jendela kantornya yang berhadapan dengan laut...
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang..... atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"
Kutipan ayat yang disampaikan pendeta dalam khotbah ibadah minggu masih saja terngiang dalam telinganya. Hati Anetta benar-benar kacau balau.
"Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Aku bingung Tuhan... di sisi lain aku begitu mencintai Ridwan... tapiiii....." batin Anetta.
Hanya butiran bening yang menetes di pelupuk mata Netta.
_________________
__________________
Suatu siang...
Sepucuk surat dari Ridwan datang.
Dengan tergesa-gesa Anetta pun segera membukanya.
"Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang.."
Anetta terhenyak ketika membaca surat dari Ridwan. Ada pemberontakan yang begitu hebat di hatinya.
"Tidak... jangan sekarang Bang.. aku belum siap bila harus berpisah dengan abang!" jerit Netta sambil meremas surat dari Ridwan.
Ia pun bergegas mencoba menghubungi Ridwan di handphonenya, namun sia-sia saja. Nomor milik Ridwan tidak aktif.
Ahkirnya ia pun memutuskan mencari Ridwan ke Jakarta.
Bukan hal yang mudah untuk mencari alamat Ridwan di Jakarta. Namun dengan sedikit bantuan dari seorang teman, Anetta berhasil menemukan rumah Ridwan.
"Tok... tok... tok... permisi..." ucap Netta sambil mengetuk pintu rumah Ridwan.
"iya sebentar" sahut suara dari dalam.
Tidak berapa lama terdengar pintu dibuka, kreekkk....
"Netta???" ucap Ridwan terkejut. "Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
Ridwan setengah tidak percaya jika yang dihadapinya adalah Anetta, kekasih hatinya, lima tahun lamanya ia menjalin cinta.
"Eh.. anu.. itu.. eh... silahkan duduk Netta" kata Ridwan sambil tergagap-gagap.
Anetta pun duduk berhadapan dengan Ridwan. Untuk sementara waktu mereka hanya saling terdiam. Hingga pertanyaan Ridwan pun memecah keheningan di antara mereka.
"Kapan kau sampai di Jakarta?" tanya Ridwan.
"Kemarin siang saya sampai abang, aku menginap di rumah Maria. Dia yang membantuku mencari alamat abang." ucap Netta getir.
Lagi-lagi mereka berdua pun kembali terdiam.
Netta membuka pembicaraan
"Kenapa Bang? Tidak adakah jalan keluar yang terbaik buat kita? Apakah memang semua harus berakhir seperti ini?" kata Anetta terisak.
"Entah Net.. tapi mungkin ini yang terbaik." ujar Ridwan.
"Tapi Netta mencintai abang...." sanggah Anetta.
"Begitu pula dengan abang Netta... abang juga mencintai Netta tapi perbedaan kita sungguh tidak bisa disatukan Net..." sahut Ridwan. "Apa kamu mau berpindah keyakinan demi aku supaya kita bersatu?" lanjutnya.
Anetta terdiam dan tenggelam dalam isak tangisnya.
"Jawab Net.. apa Netta mau?" desak Ridwan. "Maaf bang... Netta tidak bisa membohongi kata hati Netta... Netta tidak bisa ikut keyakinan yang abang anut..." ucap Anetta.
"Begitu pula dengan abang Net... bila kamu mengajukan pertanyaan yang sama, abang pun tidak sanggup untuk ikut keyakinan yang kamu anut..." sahut Ridwan. "Dan lagi... apakah kita mau menyakiti hati orangtua kita bila bersikukuh meneruskan hubungan ini?"
Anetta menggeleng.
"Bagaimana pula dengan anak-anak kita kelak? Tidak mungkin dalam satu kapal akan dikendalikan dua nahkoda dan akidah... kapal tersebut tentu akan kesulitan menemukan arah dan tujuannya... Kamu paham kan Net?" ucap Ridwan.
Anetta pun menyeka air matanya.
"Netta paham bang... Maaf bila Netta terlalu egois ingin memaksakan hubungan ini...
Dengan hati yang kecewa, gayung tak bersambut, bak pucuk dicinta ulam layu sudah.
"Oya, bang, Netta pamit pulang aja ke Semarang bang... Netta ikhlas... Netta legowo dengan keputusan yang abang ambil... Semoga abang menemukan wanita solehah untuk mendampingi hidup abang... doa Netta menyertai abang. Dan Netta tidak pernah menyesal jatuh cinta pada bang Ridwan" ucap Netta sambil tersenyum.
"Abang pun juga begitu Net.. Abang tidak pernah menyesal jatuh cinta pada Netta dan abang doakan Netta pun segera menemukan pendamping yang lebih baik dari abang" jawab Ridwan.
(Hingga Ridwan berpisah secara baik-baik dengan kekasihnya Anetta)
Selesai
Jakarta, Semarang, 24/01/2017
KETIKA CINTA TAK DIRESTUI
Penulis: Romy Sastra bersama
Fe Chrizta
#1
Mentari telah meninggi, di balik pentilasi jendela. Perlahan kusibak tirai pembatas dingin dari siklus hawa tak menentu menerebos jiwa nan lara.
Sedangkan hati ini masih resah, menatap jalanan yang diguyuri hujan semalam.
Tok..tok...tok....
Terdengar suara ketukkan pintu
dari luar kamar, seperti ada yang mau membangunkanku.
"Hai... Ridwan, bangun! hari sudah siang.
Apakah kamu gak kerja hari ini? Sahut suara itu.
Sepertinya ibuku memanggil ini, bisikku dalam hati.
"Ya... ibu, aku sudah bangun ini,
ibu berlalu mendengar jawabanku telah bangun.
Lama tatapan kosong
kala memandang satu pigura di dinding kamar terpampang.
Ia Anetta, kekasihku.
Bergumam, bertanya dalam bisu?"
"Netta?"
Kenapa dikau hadir mengisi hidupku,
abang mencintaimu Netta
sedangkan akidah kita berbeda
diriku ingin memilikimu.
Tapi, "ahh... lamunan, kau usik jiwaku.
Anetta, kita yang pernah mengikat janji tuk saling mencintai selamanya, apapun itu rintangan kita nanti, akan dihadapi berdua.
Bak merpati tak ingin ingkari janji sampai mati.
Setengah dekade jalinan cinta bersamamu, orang tuaku belum diberi tahu sama sekali tentang hubungan kita.
Pagi telah merambat pergi, aku Ridwan masih saja di atas tilam lusuh berbantal jemari letih.
Dengan rasa malas tiba-tiba, aku putuskan tak masuk kerja hari ini.
Lalu, ibuku mengetuk pintu kedua kalinya.
Tok..tok...tok....
"Ridwan..., haii, nak?"
kenapa belum bangun juga kau ini?"
Tak sabar ibuku membuka pintu, kreekk...
memang pintu tak terkunci dari semalam.
"Walah... kau ini Ridwan!"
Ada apa sih kamu kok melamun begitu, hari sudah siang, apa kamu cuti hari ini?
tanya ibuku dengan nada penasaran.
(Aku masih saja diam menatap
foto Anetta di dinding kamarku)
Spontan ibuku mengambil bingkai yang terpampang di dinding, ia sudah lama potret itu menghias relung-relung asmara, di kala kurindu dengan Anetta.
*******
Coba kamu terangkan Ridwan!"
Ada apa dengan foto ini?
Kutatap wajah ibu dengan rasa pesimis dan malu.
"Ibu..., maafkan Ridwan ya bu.
Foto ini adalah Anetta kekasihku bu,"
terus!" tanya ibu lagi.
Ia Anetta, sudah lama kupacari, Netta minta menikah denganku ibu.
"Lho... baguslah itu Ridwan, Nietta kan cantik, wanita karir lagi,
dan kalian saling mencintai kok.
Ibu juga tak sabar menimang cucu kesayangan dari pernikahan kalian nanti.
Ia ibu, tapi.
Tapi kenapa Ridwan?"
"Ibu... Anetta itu beragama Kristiani lho ibu.
"Walah... sahut ibu.
Tidakk, tidak Ridwan....
Ibu tidak merestui kamu menikah dengan Anetta itu. Dengar Ridwan!"
Apa kata dunia, jikalau ibu punya menantu orang Kristiani.
Mau ditarok di mana muka ibu, semua saudara mencelamu nanti Ridwan.
"Buu... yang menikah itu aku bu,
bukan mereka.
"Ia... ibu tahu itu Ridwan, tapi bagaimana pertanggungjawaban di akhirat kelak, sedangkan tuntunan agama kita jelas melarang menikah beda agama.
"Yaa... ibu, cinta itu butuh perjuangan serta pengorbanan.
Pengorbanan apa? Tidakk Ridwan.
Kamu tidak boleh menikah dengan Anetta itu, titik....
Ibuku keluar dari dalam kamar, membawa ekspresi gundah gulana.
Sedangkan aku larut dalam pikir, bak buah simalakama menjadi menu pagiku.
Kutuliskan sepucuk surat
kukirimkan pada Anetta.
Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang....
*******
#2
Sementara itu di tempat lain...
Anetta termangu..
Matanya menatap jauh ke arah jendela kantornya yang berhadapan dengan laut...
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang..... atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"
Kutipan ayat yang disampaikan pendeta dalam khotbah ibadah minggu masih saja terngiang dalam telinganya. Hati Anetta benar-benar kacau balau.
"Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Aku bingung Tuhan... di sisi lain aku begitu mencintai Ridwan... tapiiii....." batin Anetta.
Hanya butiran bening yang menetes di pelupuk mata Netta.
_________________
__________________
Suatu siang...
Sepucuk surat dari Ridwan datang.
Dengan tergesa-gesa Anetta pun segera membukanya.
"Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang.."
Anetta terhenyak ketika membaca surat dari Ridwan. Ada pemberontakan yang begitu hebat di hatinya.
"Tidak... jangan sekarang Bang.. aku belum siap bila harus berpisah dengan abang!" jerit Netta sambil meremas surat dari Ridwan.
Ia pun bergegas mencoba menghubungi Ridwan di handphonenya, namun sia-sia saja. Nomor milik Ridwan tidak aktif.
Ahkirnya ia pun memutuskan mencari Ridwan ke Jakarta.
Bukan hal yang mudah untuk mencari alamat Ridwan di Jakarta. Namun dengan sedikit bantuan dari seorang teman, Anetta berhasil menemukan rumah Ridwan.
"Tok... tok... tok... permisi..." ucap Netta sambil mengetuk pintu rumah Ridwan.
"iya sebentar" sahut suara dari dalam.
Tidak berapa lama terdengar pintu dibuka, kreekkk....
"Netta???" ucap Ridwan terkejut. "Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
Ridwan setengah tidak percaya jika yang dihadapinya adalah Anetta, kekasih hatinya, lima tahun lamanya ia menjalin cinta.
"Eh.. anu.. itu.. eh... silahkan duduk Netta" kata Ridwan sambil tergagap-gagap.
Anetta pun duduk berhadapan dengan Ridwan. Untuk sementara waktu mereka hanya saling terdiam. Hingga pertanyaan Ridwan pun memecah keheningan di antara mereka.
"Kapan kau sampai di Jakarta?" tanya Ridwan.
"Kemarin siang saya sampai abang, aku menginap di rumah Maria. Dia yang membantuku mencari alamat abang." ucap Netta getir.
Lagi-lagi mereka berdua pun kembali terdiam.
Netta membuka pembicaraan
"Kenapa Bang? Tidak adakah jalan keluar yang terbaik buat kita? Apakah memang semua harus berakhir seperti ini?" kata Anetta terisak.
"Entah Net.. tapi mungkin ini yang terbaik." ujar Ridwan.
"Tapi Netta mencintai abang...." sanggah Anetta.
"Begitu pula dengan abang Netta... abang juga mencintai Netta tapi perbedaan kita sungguh tidak bisa disatukan Net..." sahut Ridwan. "Apa kamu mau berpindah keyakinan demi aku supaya kita bersatu?" lanjutnya.
Anetta terdiam dan tenggelam dalam isak tangisnya.
"Jawab Net.. apa Netta mau?" desak Ridwan. "Maaf bang... Netta tidak bisa membohongi kata hati Netta... Netta tidak bisa ikut keyakinan yang abang anut..." ucap Anetta.
"Begitu pula dengan abang Net... bila kamu mengajukan pertanyaan yang sama, abang pun tidak sanggup untuk ikut keyakinan yang kamu anut..." sahut Ridwan. "Dan lagi... apakah kita mau menyakiti hati orangtua kita bila bersikukuh meneruskan hubungan ini?"
Anetta menggeleng.
"Bagaimana pula dengan anak-anak kita kelak? Tidak mungkin dalam satu kapal akan dikendalikan dua nahkoda dan akidah... kapal tersebut tentu akan kesulitan menemukan arah dan tujuannya... Kamu paham kan Net?" ucap Ridwan.
Anetta pun menyeka air matanya.
"Netta paham bang... Maaf bila Netta terlalu egois ingin memaksakan hubungan ini...
Dengan hati yang kecewa, gayung tak bersambut, bak pucuk dicinta ulam layu sudah.
"Oya, bang, Netta pamit pulang aja ke Semarang bang... Netta ikhlas... Netta legowo dengan keputusan yang abang ambil... Semoga abang menemukan wanita solehah untuk mendampingi hidup abang... doa Netta menyertai abang. Dan Netta tidak pernah menyesal jatuh cinta pada bang Ridwan" ucap Netta sambil tersenyum.
"Abang pun juga begitu Net.. Abang tidak pernah menyesal jatuh cinta pada Netta dan abang doakan Netta pun segera menemukan pendamping yang lebih baik dari abang" jawab Ridwan.
(Hingga Ridwan berpisah secara baik-baik dengan kekasihnya Anetta)
Selesai
Jakarta, Semarang, 24/01/2017
Puisi Kolaborasi Kidung Tiga Gita
#Puisi_Prosais_Kolaborasi
KIDUNG TIGA GITA
Penulis: Romy Sastra bersama
Fe Chrizta
Puji Astuti
#i
Bersamamu gita
kidung hening dendangkan rasa
jari-jemari menari titipkan aksara hati
langit jingga pelangi kata bermadah
bersemi bunga dipupuk lewat diksi.
Gita tinta gugurkan resah
kenapa dunia dihiasi lara
sedangkan bayu tiupkan sepoi merayu
pada tetesan malam tak hujan
ciptakan embun,
rengkuh dada rindu
berkaca diri pada imaji
bernyanyilah!
Biar sepi berlalu pergi.
Pengabdian Srikandi dan Sembodro
leraikan jerih panah Arjuna di medan laga
rona kalbu menyentuh relung-relung pilu
bahwa rindu tak beristana megah
bermahkota nawacita cinta
tuk keseburan hati merenda setia.
Kidung tiga gita talenta sastra
antara petikan, dawai dan syair bernyanyi
bersamamu kita bisa menyulam history
cerita luka, tersenyum, canda, tawa, dan hahahahaaa....
Berbahagia seiring menempuh senja
di pantai maya ini,
jejakkan kaki melangkah yang kian menepi
meski terantuk kerikil-kerikil tirani mencibir
Aahh, tak apalah....
****
#ii
Senandung lirih terdengar perlahan
di antara desir angin
meniupkan nyanyian rindu menyayat pilu.
"Di mana engkau sayang?" Gumam bisu.
Bayanganmu semakin lekat di netra berdebu
ingin kutepis rindu
namun semakin kuat mencengkram
jejak-jejak langkah kaki berlari di sekeliling rasa
riuh berbisik di telinga teriakkan kata-kata manis
namun kau tak sekalipun tampakkan raga
buatku semakin deras teteskan butiran bening.
"Hentikan...!" bentakku sembari bersedih,
kau hujamkan belati pada pikiran nan lelah.
"Bebaskan aku..." ucapan nan lirih.
"Ya ...bebaskan aku dari rindu tak sudah.
Bawalah kisah kita dari keterpasungan ini
hingga jiwa beroleh kedamaian
bersatu dan abadi....
****
#iii
Perlahan telapak kaki ini
menyusuri tepian pantai pasir putih
menjemput riak air laut yang datang
aku tertegun memandang senja
ke mana mega yang berarak
berlalu pergi tak rinaikan awan.
Kemarin masih kita rajut asmara
begitu sempurna aku kau bawa
meniti perjalanan kasih suci
di senja itu kau bernyanyi mengucapkan janji
begitu manisnya.
Masih terlintas senyum bahagiamu
mengecup lembut bibirku
melambung tinggi lenakan rasa kala itu,
kita berjanji tuk arungi perjalanan
dalam lelah tak dirasa
eratkan jemari memintal benang kasih
setia sampai mati.
Kau yang pergi....
Akankah kembali lagi padaku?
Sedangkan di sini menanti rindu
penantian itu jangan sia-sia
meski dunia kita sudah berbeda
namun cinta ini tak akan pernah sirna
hanya dikaulah belahan seluruh jiwa
Mengertilah Arjunaku....
Jakarta, Semarang, Jogja, 29/01/2017
KIDUNG TIGA GITA
Penulis: Romy Sastra bersama
Fe Chrizta
Puji Astuti
#i
Bersamamu gita
kidung hening dendangkan rasa
jari-jemari menari titipkan aksara hati
langit jingga pelangi kata bermadah
bersemi bunga dipupuk lewat diksi.
Gita tinta gugurkan resah
kenapa dunia dihiasi lara
sedangkan bayu tiupkan sepoi merayu
pada tetesan malam tak hujan
ciptakan embun,
rengkuh dada rindu
berkaca diri pada imaji
bernyanyilah!
Biar sepi berlalu pergi.
Pengabdian Srikandi dan Sembodro
leraikan jerih panah Arjuna di medan laga
rona kalbu menyentuh relung-relung pilu
bahwa rindu tak beristana megah
bermahkota nawacita cinta
tuk keseburan hati merenda setia.
Kidung tiga gita talenta sastra
antara petikan, dawai dan syair bernyanyi
bersamamu kita bisa menyulam history
cerita luka, tersenyum, canda, tawa, dan hahahahaaa....
Berbahagia seiring menempuh senja
di pantai maya ini,
jejakkan kaki melangkah yang kian menepi
meski terantuk kerikil-kerikil tirani mencibir
Aahh, tak apalah....
****
#ii
Senandung lirih terdengar perlahan
di antara desir angin
meniupkan nyanyian rindu menyayat pilu.
"Di mana engkau sayang?" Gumam bisu.
Bayanganmu semakin lekat di netra berdebu
ingin kutepis rindu
namun semakin kuat mencengkram
jejak-jejak langkah kaki berlari di sekeliling rasa
riuh berbisik di telinga teriakkan kata-kata manis
namun kau tak sekalipun tampakkan raga
buatku semakin deras teteskan butiran bening.
"Hentikan...!" bentakku sembari bersedih,
kau hujamkan belati pada pikiran nan lelah.
"Bebaskan aku..." ucapan nan lirih.
"Ya ...bebaskan aku dari rindu tak sudah.
Bawalah kisah kita dari keterpasungan ini
hingga jiwa beroleh kedamaian
bersatu dan abadi....
****
#iii
Perlahan telapak kaki ini
menyusuri tepian pantai pasir putih
menjemput riak air laut yang datang
aku tertegun memandang senja
ke mana mega yang berarak
berlalu pergi tak rinaikan awan.
Kemarin masih kita rajut asmara
begitu sempurna aku kau bawa
meniti perjalanan kasih suci
di senja itu kau bernyanyi mengucapkan janji
begitu manisnya.
Masih terlintas senyum bahagiamu
mengecup lembut bibirku
melambung tinggi lenakan rasa kala itu,
kita berjanji tuk arungi perjalanan
dalam lelah tak dirasa
eratkan jemari memintal benang kasih
setia sampai mati.
Kau yang pergi....
Akankah kembali lagi padaku?
Sedangkan di sini menanti rindu
penantian itu jangan sia-sia
meski dunia kita sudah berbeda
namun cinta ini tak akan pernah sirna
hanya dikaulah belahan seluruh jiwa
Mengertilah Arjunaku....
Jakarta, Semarang, Jogja, 29/01/2017
Puisi Prosais, Harakiri Janji
#puisi_prosais
Harakiri Janji
Romy Sastra
angin menitipkan warta pada merpati, bawalah setangkai rinduku ke beranda nona
berharap bunga-bunga kasih mekar, meski tak tersirami
seringkali kujanjikan merpati pulang
ingin berkasih sayang
sayangnya, sayap merpatiku patah ditingkah duri melukai
"nona....
tabir gelap memori kita semakin menutup lembaran kisah di antara dua hati
janji yang dulu terpatri, kuingkari saja
daku yang tak mampu cabari
sepoinya angin bernyanyi misteri
si pungguk mati diterpa mamiri malam
sang putri malam tenggelam di balik awan
bukan merpati tak mau pulang menepati janji
duri-duri di hatimu nona, semakin tajam menusuk jantungku
matamu tak lagi sayu merona pelangi
menunggu kehadiran rinai di senja hari
rindu-rindu yang dulu telah berdebu
bungamu kian gersang layu sudah,
kita yang tak tertakdir bahagia, pasrah
kubunuh saja ikrar itu,
bangkainya kujadikan sinopsis memori
rela cacianmu,
jadi selimut mimpi-mimpi malamku
HR RoS
Jkt, 23/07/17
Harakiri Janji
Romy Sastra
angin menitipkan warta pada merpati, bawalah setangkai rinduku ke beranda nona
berharap bunga-bunga kasih mekar, meski tak tersirami
seringkali kujanjikan merpati pulang
ingin berkasih sayang
sayangnya, sayap merpatiku patah ditingkah duri melukai
"nona....
tabir gelap memori kita semakin menutup lembaran kisah di antara dua hati
janji yang dulu terpatri, kuingkari saja
daku yang tak mampu cabari
sepoinya angin bernyanyi misteri
si pungguk mati diterpa mamiri malam
sang putri malam tenggelam di balik awan
bukan merpati tak mau pulang menepati janji
duri-duri di hatimu nona, semakin tajam menusuk jantungku
matamu tak lagi sayu merona pelangi
menunggu kehadiran rinai di senja hari
rindu-rindu yang dulu telah berdebu
bungamu kian gersang layu sudah,
kita yang tak tertakdir bahagia, pasrah
kubunuh saja ikrar itu,
bangkainya kujadikan sinopsis memori
rela cacianmu,
jadi selimut mimpi-mimpi malamku
HR RoS
Jkt, 23/07/17
Selasa, 18 Juli 2017
Cerpen Tangis Perpisahan
#cerpen
Tangis Perpisahan
Penulis: Romy Sastra
Tak terbayang sebelumnya dalam hidup ini, jika layaran harus tenggelam, dermaga rapuh untuk dituju, dian pun padam.
Nakhoda seperti kehilangan arah menempuh riak di tengah samudera. Sekoci pun terhempas batu karang, tali sauh rapuh mengikat tambang, malang.
Harapan pada suatu noktah adalah kebahagian dan damai, meski hidup terkungkung derita, cabaran pun silih berganti datang melanda. Di sana dan di sini memanglah tak sama irama nyanyian kisah dalam dendang kepayang, bukan irama sinopsis hidup semata, melainkan realiti yang terjadi pada kisah hidup insani nan dilalui.
Rinai mulai menyapa di ujung genteng, sayup-sayup suara azan berkumandang dari corong pengeras suara, waktu magrib tiba.
"Ros, usah lagi kita begaduh macam ni, malulah sama anak, mereka sudah mulai remaja. Abang mencintaimu, menyayangi anak-anak dan menyayangimu juga Ros.
Persetan dengan rayuan manismu abang.
Aku sudah bosan mendengarkan kata-kata cinta dan sayang darimu selama ini, bang Reza. Semenjak kita mula berpacaran aku mengenalimu kau memang playboy, sampai saat ini perangai kau tetap playboy tengik!
"Pertengkaran senja itu mulai menyapa"
Kreekkk... gubrakkk....
Daun pintu dibanting seketika oleh Ros, berlalu ke bilik anaknya meninggalkan suasana risau di dada suaminya.
Kawatir akan terjadi sesuatu di dalam bilik anaknya, lalu Reza menghampiri istrinya di dalam bilik.
Ternyata Ros sudah memeluk anak-anaknya. Kebetulan anak mereka belumlah tidur, masih saja menonton televisi drama kartun serial Upin dan Ipin. Ros menangis di pelukan anak-anak mereka.
"Papa, ada apa gerangan ini mama ya, papa? Mama kok menangis pilu macam ni?" Sahut salah satu anak Reza yang sulung.
Senja mulai menyelimuti kota, di luar rumah hujan pun turun, kota berwajah temaram, menandakan hari mulai malam.
"Nak, kenapa tak belajar soalan sekolahmu, bukankah ada perintah pekerjaan sekolah tadi siang dari gurumu?" Tanya Papanya kepada si sulung, sedangkan yang bungsu diam dan ikut menangis di pangkuan mamanya.
"Papa, soalan dari sekolah sudah saya kerjakan dari petang tadi pa, "jawab si anak sulungnya.
Seketika Ros bangkit menengadah menatap suaminya, Reza. Suasana di bilik pada malam itu, tak lagi nyaman di mata anak-anaknya, yang seharusnya tak elok pertengkaran kedua orang tua disaksikan oleh anak-anak. Tapi, karena keadaan orang tualah yang tak bijak dengan mengontrol emosi di dalam berumah tangga membuat suasana runyam terlebih lagi pada si buah hati yang mulai mengerti arti hidup dari potret kehidupan orang tua.
"Abang!" Pergi dari bilik ini, Pergiii....!!"
Aku sudah muak dengan sifatmu abang, kau punya selingkuhan taunya ya?!" Bentak Ros pada Reza, suaminya.
"Tidak, Ros, tidak. Kau salah paham terhadap abang tu.
"Apanya yang tidak abang Reza?"
Kau tengoklah di dalam meseg dan koment-komentmu di facebook fonmu itu! Aku membacanya di facebook fonku sendiri.
"Ya, ampun mama?! Mama salah paham itu. Jawab Reza pada Ros istrinya.
Abang kan seorang pergurau, banyak rakan-rakan abang bersenda gurau pada abang, itu wajar, bukan berarti abang selingkuh, mama. "Alaahh... masih saja berkilah, gombal!! Dasar buaya. Makian Ros pada suaminya.
Tanpa ampun, Ros mengusir Reza suaminya keluar rumah, dengan rasa emosi kecewa dan tak ingin melawan istrinya, Reza berlalu dari hadapan anak dan istri. Air matanya tumpah di derasnya hujan. Tangisan perpisahan pecah bercampur makian tak terbendung antara Reza dengan istrinya. Disaksikan oleh anak-anak mereka, di suasana hujan pada malam hari, dingin menusuk tulang, Reza terus berlalu. Entah ke mana tujuannya yang ia ingini, hatinya gaduh, antara pulang ke orang tuanya atau ke mana ya!? Gumamnya dalam hati dalam perjalanan di lorong-lorong kota ia berjalan.
Ia tak ingin pertengkaran itu semakin panas di depan anak-anaknya. Makanya Reza mengalah pergi sementara tinggalkan anak dan istri tercinta.
Pada suatu pilihan, Reza memutuskan tuk menuju salah satu mesjid di kota itu. Reza yang basah kuyup tak membawa bekal apapun dan salinan tuk mengganti pakaiannya yang basah.
"Kenapa kau ini, anak muda? Hari sudah malam, di mana alamat rumahmu?" Ataukah kau hendak mencari alamat seseorang di kota ini ya?"
Reza yang disambut oleh penjaga mesjid tempat ia berteduh, menjawab pertanyaan penjaga mesjid itu dengan rasa gugup.
"Iii.. ii... iya pak ustadz, saya hendak mencari alamat saudara saya di kota ini, dan saya kemalaman.
"Oo, kalau begitu, istirahatlah di mesjid ini anak muda!" Sahut pak usadz penjaga mesjid itu.
"Terima kasih saya pak ustadz, atas kebaikannya.
"Iya, sama-sama anak muda.
Reza diberikan kain sarung dan baju seadanya untuk mengganti pakaiannya yang basah itu.
Pada malam itu, selepas solat. Reza berdoa memohon petunjuk pada Allah, akan problem rumah tangganya yang ia hadapi, mendapatkan jalan dengan sebaik-baiknya. Ia ingin menjelaskan kembali kesalahpahaman dengan istri tercinta.
Reza menyesali diri, kenapa ada pertengkaran dengan istri yang kucintai itu, ya Allah.
Di sisi lain, Ros pun tak larut dalam kesedihan dan kegundahan hatinya dengan suaminya. Ros berdoa pada yang kuasa memohon petunjuk juga. Semoga suaminya kembali pulang dan ia ingin berdamai dengan keegoannya dan kekhilafan suaminya.
**********
Sesungguhya mereka saling MENCINTAI....
Tapi karena telah kebawa ego dan emosi masing-masing, hingga pertengkaran terjadi yang gak sepatutnya disaksikan oleh anak-anaknya.
Esok harinya, setelah habis solat subuh di mesjid itu.
Ada sebuah kekuatan rasa memanggilnya ia pulang, menemui anak dan istrinya kembali.
Reza akhirnya pamit kepada ustadz di pagi itu, tuk melanjutkan perjalanannya. Iya terpaksa berbohong karena malu menceritakan problem yang terjadi di dalam rumah tangganya pada pak ustadz.
Reza dengan rasa optimis melangkah pulang kembali ke rumahnya, dengan jalan kaki ia berdoa dalam hati, semoga anak dan istrinya menyambutnya dengan baik kembali, bila sampai di rumah nanti. Dalam perjalanan menuju rumah, Reza menempuh dua jam lebih dari mesjid yang ia singgahi semalam, jarak dari rumahnya.
Sesampai di halamn rumahnya,
hari sudah mulai siang.
Reza mengetuk pintu....
Tok tokk tokkk... "Asalamualaikum??"
Reza dengan hati yang berdebar-debar berharap ada sahutan dari dalam rumahnya.
"Waalaikumsalam"
Jawab suara dari dalam
"Kreekk... daun pintu dibuka.
Dengan mata melotot, Ros menatap suami sedikit marah, mungkin dari rasa sisa pertengkaran kemaren petang.
"Mama, maafkan abang ya ma?"
Ros tak memperdulikan ungkapan Reza, suaminya. Istrinya diam dan berlalu pergi tinggalkan suami yang mematung di depan pintu.
Padahal di hati Ros, ia tersenyum menatap suami telah pulang kembali.
Tanpa basa-basi, Reza menyerobot saja masuk menghadang istrinya.
"Mama!?" Maafkan abang mama!!
Jika abang salah bergurau di dunia maya. Hingga membuat mama cemburu dan marah-marah tanpa ada penjelasan dari abang terlebih dahulu.
Ros mulai tersenyum dengan kata-kata suaminya, Reza.
"Iya, abangku saya maafkan dirimu" Tapi....
"Tapi apa mama?
"Abang jangan selingkuh tau.
"Hai ...siapa yang selingkuh ma?!"
"Hehe, gelak senyum Ros, pada suaminya.
"Jangan marah-marah lagi ya mam"
Rayu Reza pada istrinya, dan mama itu salah paham sama abang petang kemaren itu, lo.
Dan Ros pun meminta maaf pada suaminya, karena telah mengusir suami tercintanya dari rumah pada saat hujan
Akhirnya mereka berdamai, saling berjabat tangan dan saling berpelukan.
"Ma, abang mencintaimu mama.
Iya, abang. Mama pun sama.
Anak-anaknya sedari tadi menyaksikan kedua orang tuanya berdamai, anak-anak mereka berteput tangan.
"Horee... papa dan mama sudah baikan ni.
Alhamdulillah ya Allah, orang tuaku sudah akur kembali.
Spontan saja, anak-anak mereka ikut berpelukan bersama kedua orang tuanya.
"Mama-mama, jangan bertengkar lagi ya!?" Sama papa, kasihan papa, mama. "Tidurnya entah di mana semalam tu.
Reza dan Ros saling bertatapan mendengarkan penuturan kedua anaknya.
Hingga mereka tertawa bersama-sama sambil memeluk anak-anaknya.
Selesai
HR RoS
Jakarta, 18-Juli-2017
Tangis Perpisahan
Penulis: Romy Sastra
Tak terbayang sebelumnya dalam hidup ini, jika layaran harus tenggelam, dermaga rapuh untuk dituju, dian pun padam.
Nakhoda seperti kehilangan arah menempuh riak di tengah samudera. Sekoci pun terhempas batu karang, tali sauh rapuh mengikat tambang, malang.
Harapan pada suatu noktah adalah kebahagian dan damai, meski hidup terkungkung derita, cabaran pun silih berganti datang melanda. Di sana dan di sini memanglah tak sama irama nyanyian kisah dalam dendang kepayang, bukan irama sinopsis hidup semata, melainkan realiti yang terjadi pada kisah hidup insani nan dilalui.
Rinai mulai menyapa di ujung genteng, sayup-sayup suara azan berkumandang dari corong pengeras suara, waktu magrib tiba.
"Ros, usah lagi kita begaduh macam ni, malulah sama anak, mereka sudah mulai remaja. Abang mencintaimu, menyayangi anak-anak dan menyayangimu juga Ros.
Persetan dengan rayuan manismu abang.
Aku sudah bosan mendengarkan kata-kata cinta dan sayang darimu selama ini, bang Reza. Semenjak kita mula berpacaran aku mengenalimu kau memang playboy, sampai saat ini perangai kau tetap playboy tengik!
"Pertengkaran senja itu mulai menyapa"
Kreekkk... gubrakkk....
Daun pintu dibanting seketika oleh Ros, berlalu ke bilik anaknya meninggalkan suasana risau di dada suaminya.
Kawatir akan terjadi sesuatu di dalam bilik anaknya, lalu Reza menghampiri istrinya di dalam bilik.
Ternyata Ros sudah memeluk anak-anaknya. Kebetulan anak mereka belumlah tidur, masih saja menonton televisi drama kartun serial Upin dan Ipin. Ros menangis di pelukan anak-anak mereka.
"Papa, ada apa gerangan ini mama ya, papa? Mama kok menangis pilu macam ni?" Sahut salah satu anak Reza yang sulung.
Senja mulai menyelimuti kota, di luar rumah hujan pun turun, kota berwajah temaram, menandakan hari mulai malam.
"Nak, kenapa tak belajar soalan sekolahmu, bukankah ada perintah pekerjaan sekolah tadi siang dari gurumu?" Tanya Papanya kepada si sulung, sedangkan yang bungsu diam dan ikut menangis di pangkuan mamanya.
"Papa, soalan dari sekolah sudah saya kerjakan dari petang tadi pa, "jawab si anak sulungnya.
Seketika Ros bangkit menengadah menatap suaminya, Reza. Suasana di bilik pada malam itu, tak lagi nyaman di mata anak-anaknya, yang seharusnya tak elok pertengkaran kedua orang tua disaksikan oleh anak-anak. Tapi, karena keadaan orang tualah yang tak bijak dengan mengontrol emosi di dalam berumah tangga membuat suasana runyam terlebih lagi pada si buah hati yang mulai mengerti arti hidup dari potret kehidupan orang tua.
"Abang!" Pergi dari bilik ini, Pergiii....!!"
Aku sudah muak dengan sifatmu abang, kau punya selingkuhan taunya ya?!" Bentak Ros pada Reza, suaminya.
"Tidak, Ros, tidak. Kau salah paham terhadap abang tu.
"Apanya yang tidak abang Reza?"
Kau tengoklah di dalam meseg dan koment-komentmu di facebook fonmu itu! Aku membacanya di facebook fonku sendiri.
"Ya, ampun mama?! Mama salah paham itu. Jawab Reza pada Ros istrinya.
Abang kan seorang pergurau, banyak rakan-rakan abang bersenda gurau pada abang, itu wajar, bukan berarti abang selingkuh, mama. "Alaahh... masih saja berkilah, gombal!! Dasar buaya. Makian Ros pada suaminya.
Tanpa ampun, Ros mengusir Reza suaminya keluar rumah, dengan rasa emosi kecewa dan tak ingin melawan istrinya, Reza berlalu dari hadapan anak dan istri. Air matanya tumpah di derasnya hujan. Tangisan perpisahan pecah bercampur makian tak terbendung antara Reza dengan istrinya. Disaksikan oleh anak-anak mereka, di suasana hujan pada malam hari, dingin menusuk tulang, Reza terus berlalu. Entah ke mana tujuannya yang ia ingini, hatinya gaduh, antara pulang ke orang tuanya atau ke mana ya!? Gumamnya dalam hati dalam perjalanan di lorong-lorong kota ia berjalan.
Ia tak ingin pertengkaran itu semakin panas di depan anak-anaknya. Makanya Reza mengalah pergi sementara tinggalkan anak dan istri tercinta.
Pada suatu pilihan, Reza memutuskan tuk menuju salah satu mesjid di kota itu. Reza yang basah kuyup tak membawa bekal apapun dan salinan tuk mengganti pakaiannya yang basah.
"Kenapa kau ini, anak muda? Hari sudah malam, di mana alamat rumahmu?" Ataukah kau hendak mencari alamat seseorang di kota ini ya?"
Reza yang disambut oleh penjaga mesjid tempat ia berteduh, menjawab pertanyaan penjaga mesjid itu dengan rasa gugup.
"Iii.. ii... iya pak ustadz, saya hendak mencari alamat saudara saya di kota ini, dan saya kemalaman.
"Oo, kalau begitu, istirahatlah di mesjid ini anak muda!" Sahut pak usadz penjaga mesjid itu.
"Terima kasih saya pak ustadz, atas kebaikannya.
"Iya, sama-sama anak muda.
Reza diberikan kain sarung dan baju seadanya untuk mengganti pakaiannya yang basah itu.
Pada malam itu, selepas solat. Reza berdoa memohon petunjuk pada Allah, akan problem rumah tangganya yang ia hadapi, mendapatkan jalan dengan sebaik-baiknya. Ia ingin menjelaskan kembali kesalahpahaman dengan istri tercinta.
Reza menyesali diri, kenapa ada pertengkaran dengan istri yang kucintai itu, ya Allah.
Di sisi lain, Ros pun tak larut dalam kesedihan dan kegundahan hatinya dengan suaminya. Ros berdoa pada yang kuasa memohon petunjuk juga. Semoga suaminya kembali pulang dan ia ingin berdamai dengan keegoannya dan kekhilafan suaminya.
**********
Sesungguhya mereka saling MENCINTAI....
Tapi karena telah kebawa ego dan emosi masing-masing, hingga pertengkaran terjadi yang gak sepatutnya disaksikan oleh anak-anaknya.
Esok harinya, setelah habis solat subuh di mesjid itu.
Ada sebuah kekuatan rasa memanggilnya ia pulang, menemui anak dan istrinya kembali.
Reza akhirnya pamit kepada ustadz di pagi itu, tuk melanjutkan perjalanannya. Iya terpaksa berbohong karena malu menceritakan problem yang terjadi di dalam rumah tangganya pada pak ustadz.
Reza dengan rasa optimis melangkah pulang kembali ke rumahnya, dengan jalan kaki ia berdoa dalam hati, semoga anak dan istrinya menyambutnya dengan baik kembali, bila sampai di rumah nanti. Dalam perjalanan menuju rumah, Reza menempuh dua jam lebih dari mesjid yang ia singgahi semalam, jarak dari rumahnya.
Sesampai di halamn rumahnya,
hari sudah mulai siang.
Reza mengetuk pintu....
Tok tokk tokkk... "Asalamualaikum??"
Reza dengan hati yang berdebar-debar berharap ada sahutan dari dalam rumahnya.
"Waalaikumsalam"
Jawab suara dari dalam
"Kreekk... daun pintu dibuka.
Dengan mata melotot, Ros menatap suami sedikit marah, mungkin dari rasa sisa pertengkaran kemaren petang.
"Mama, maafkan abang ya ma?"
Ros tak memperdulikan ungkapan Reza, suaminya. Istrinya diam dan berlalu pergi tinggalkan suami yang mematung di depan pintu.
Padahal di hati Ros, ia tersenyum menatap suami telah pulang kembali.
Tanpa basa-basi, Reza menyerobot saja masuk menghadang istrinya.
"Mama!?" Maafkan abang mama!!
Jika abang salah bergurau di dunia maya. Hingga membuat mama cemburu dan marah-marah tanpa ada penjelasan dari abang terlebih dahulu.
Ros mulai tersenyum dengan kata-kata suaminya, Reza.
"Iya, abangku saya maafkan dirimu" Tapi....
"Tapi apa mama?
"Abang jangan selingkuh tau.
"Hai ...siapa yang selingkuh ma?!"
"Hehe, gelak senyum Ros, pada suaminya.
"Jangan marah-marah lagi ya mam"
Rayu Reza pada istrinya, dan mama itu salah paham sama abang petang kemaren itu, lo.
Dan Ros pun meminta maaf pada suaminya, karena telah mengusir suami tercintanya dari rumah pada saat hujan
Akhirnya mereka berdamai, saling berjabat tangan dan saling berpelukan.
"Ma, abang mencintaimu mama.
Iya, abang. Mama pun sama.
Anak-anaknya sedari tadi menyaksikan kedua orang tuanya berdamai, anak-anak mereka berteput tangan.
"Horee... papa dan mama sudah baikan ni.
Alhamdulillah ya Allah, orang tuaku sudah akur kembali.
Spontan saja, anak-anak mereka ikut berpelukan bersama kedua orang tuanya.
"Mama-mama, jangan bertengkar lagi ya!?" Sama papa, kasihan papa, mama. "Tidurnya entah di mana semalam tu.
Reza dan Ros saling bertatapan mendengarkan penuturan kedua anaknya.
Hingga mereka tertawa bersama-sama sambil memeluk anak-anaknya.
Selesai
HR RoS
Jakarta, 18-Juli-2017
Jumat, 14 Juli 2017
Puisi Ayah
PELANGI DI DADA AYAH
Karya: Romy Sastra II
"Ayah, sudahlah bermain lumpur
hari sudah petang, matahari hampir tenggelam,
kodok dan jangkrik mulai bernyanyi
"Wahai anakku...
meski tubuh ayah terkubur lumpur, cangkul ini masih bisa memacul,
ayah akan pulang bila azan berkumandang,
biarkan magrib ini ayah sujud di pematang
ayah menunggu pelangi tiba
karena hujan mulai reda
di mata ayah tadi, ada rupamu menjelma
menjadi sosok ksatria di hari tuaku
"Ayah, darahmu mengalir di nadiku,
pelitamu menyinari hati ini
aku akan tetap berbakti
doakan ksatriamu memetik bintang
jika pelangi tak jua datang senja hari
pulanglah ayah!" Niscayaku tetap mengabdi
akulah darahmu, nan mengalir di sanubari
pada peluh itu, mengucur membesarkan anak-anakmu
HR RoS
Jakarta, 090717
Karya: Romy Sastra II
"Ayah, sudahlah bermain lumpur
hari sudah petang, matahari hampir tenggelam,
kodok dan jangkrik mulai bernyanyi
"Wahai anakku...
meski tubuh ayah terkubur lumpur, cangkul ini masih bisa memacul,
ayah akan pulang bila azan berkumandang,
biarkan magrib ini ayah sujud di pematang
ayah menunggu pelangi tiba
karena hujan mulai reda
di mata ayah tadi, ada rupamu menjelma
menjadi sosok ksatria di hari tuaku
"Ayah, darahmu mengalir di nadiku,
pelitamu menyinari hati ini
aku akan tetap berbakti
doakan ksatriamu memetik bintang
jika pelangi tak jua datang senja hari
pulanglah ayah!" Niscayaku tetap mengabdi
akulah darahmu, nan mengalir di sanubari
pada peluh itu, mengucur membesarkan anak-anakmu
HR RoS
Jakarta, 090717
Puisi tentang Ayah
KUNCI SURGA ITU
Karya: Romy Sastra II
ayah....
ragamu bagaikan otot kawat bertulang besi
kasih sayangmu menetes di sekujur tubuh
jatuh menyirami
suburkan tanah tunaskan cinta
di dadamu pelita, di pundak jua amanah
di jejakmu kami melangkah
meski surga tak berada di telapak kakimu
dikau ayah, sosok imam di dalam keluarga
engkaulah kunci pintu-pintu surga itu
ayah....
pada tongkat petuah-petuah cinta
engkau tuntun kami ke jannah
dengan belaianmu,
seperti terlindungi berada di tangan raja
raja yang menyayangi, mencintai rakyatnya
bangga kami padamu ayah
seperti bangga pada ibu juga
engkau sosok langit memayungi mayapada
dan ibu sosok bumi melahirkan cinta
HR RoS
Jakarta, 070717
Karya: Romy Sastra II
ayah....
ragamu bagaikan otot kawat bertulang besi
kasih sayangmu menetes di sekujur tubuh
jatuh menyirami
suburkan tanah tunaskan cinta
di dadamu pelita, di pundak jua amanah
di jejakmu kami melangkah
meski surga tak berada di telapak kakimu
dikau ayah, sosok imam di dalam keluarga
engkaulah kunci pintu-pintu surga itu
ayah....
pada tongkat petuah-petuah cinta
engkau tuntun kami ke jannah
dengan belaianmu,
seperti terlindungi berada di tangan raja
raja yang menyayangi, mencintai rakyatnya
bangga kami padamu ayah
seperti bangga pada ibu juga
engkau sosok langit memayungi mayapada
dan ibu sosok bumi melahirkan cinta
HR RoS
Jakarta, 070717
Puisi persatuan
KEPAL TANGAN INI
Karya Romy Sastra
di tanah ini kita berdiri
dilahirkan dari rahim ibu pertiwi
negeri ini surga yang turun ke dunia
kita jaga kelestarian dalam kasih
meski berbeda prinsip keyakinan yang ada
usah dibentangkan perbedaan
kawal perbedaan itu menuju kebersamaan
pada janji di tiang merah putih kita berbakti
satu cinta kepada cinta saling berbagi
menjaga perdamaian jadikan kekasih
seperti jari-jemari mengikat temali
putra putri bangsa bersatu
walau berbeda suku beda kayakinan
kita sama-sama satu tujuan, bertuhan
kepal tangan ini mari berjanji
satu hati dalam kasih
meski kiblat kita berdiri tak sama
dalam pijakan beriring jalan
berpelukan di dada yang terbina
menjaga kerukunan di antara kita
HR RoS
Jakarta, 100717
Karya Romy Sastra
di tanah ini kita berdiri
dilahirkan dari rahim ibu pertiwi
negeri ini surga yang turun ke dunia
kita jaga kelestarian dalam kasih
meski berbeda prinsip keyakinan yang ada
usah dibentangkan perbedaan
kawal perbedaan itu menuju kebersamaan
pada janji di tiang merah putih kita berbakti
satu cinta kepada cinta saling berbagi
menjaga perdamaian jadikan kekasih
seperti jari-jemari mengikat temali
putra putri bangsa bersatu
walau berbeda suku beda kayakinan
kita sama-sama satu tujuan, bertuhan
kepal tangan ini mari berjanji
satu hati dalam kasih
meski kiblat kita berdiri tak sama
dalam pijakan beriring jalan
berpelukan di dada yang terbina
menjaga kerukunan di antara kita
HR RoS
Jakarta, 100717
Rabu, 12 Juli 2017
Puisi Sufi
MENCARI MAHA KEKASIH
By Romy Sastra
Tapa lingga yoni ning hening
lebur terkubur bermandi peluh
mencari cinta sepanjang permana
memuji menempuh kematian di dalam hidup
dalam gulungan ombak beriak tak bertepi
mencariMu
Bilangan napas di tubuh gemuruh
bertanya pada sami' lonceng berbunyi
membuka pada tabir bashir
sepasukan kerlip bertamu
jubah Jibril menyelimuti dunia
gigil terpana diri diam tak berucap
Rasa bisu menyentuh kalam
bawalah daku mursyid ke langit tertinggi
kasta-kasta mewah ditempuh
pada tujuh pintu neraka kau tutup
membuka tujuh pintu nirwana
terbuka tirai maha kerlip
menyentuh segala sukma
tauhid berdiri di Baitullah
Salaamun qaulam mir rabir rahiim
salam sejahtera untukmu wahai pendaki
di sini pintu rahmat maha raja bermula
daun-daun berguguran
netra dunia padam netra batin menikam
Memang pendakian ini
belumlah sampai jejak langkah kau daki
ini masih alam cahaya
leburkan saja kerlip jingga itu
jangan bermain rona
itupun masih rupa nafsu
matikan dirimu hingga fana
kan kau temui yang kau rindu
HR RoS
Jakarta, 15/2/17
By Romy Sastra
Tapa lingga yoni ning hening
lebur terkubur bermandi peluh
mencari cinta sepanjang permana
memuji menempuh kematian di dalam hidup
dalam gulungan ombak beriak tak bertepi
mencariMu
Bilangan napas di tubuh gemuruh
bertanya pada sami' lonceng berbunyi
membuka pada tabir bashir
sepasukan kerlip bertamu
jubah Jibril menyelimuti dunia
gigil terpana diri diam tak berucap
Rasa bisu menyentuh kalam
bawalah daku mursyid ke langit tertinggi
kasta-kasta mewah ditempuh
pada tujuh pintu neraka kau tutup
membuka tujuh pintu nirwana
terbuka tirai maha kerlip
menyentuh segala sukma
tauhid berdiri di Baitullah
Salaamun qaulam mir rabir rahiim
salam sejahtera untukmu wahai pendaki
di sini pintu rahmat maha raja bermula
daun-daun berguguran
netra dunia padam netra batin menikam
Memang pendakian ini
belumlah sampai jejak langkah kau daki
ini masih alam cahaya
leburkan saja kerlip jingga itu
jangan bermain rona
itupun masih rupa nafsu
matikan dirimu hingga fana
kan kau temui yang kau rindu
HR RoS
Jakarta, 15/2/17
Puisi Kolaborasi
#Puisi_Kolaborasi
ANA DAN KAKA
Ana dan Kaka
sentuhan jemari belaian rindu
kiambang bertaut sisakan senyumanmu.
Ana dan Kaka
biarkan teratai layu di tasik madu
akar berenang menelan pahit
benang-benang kehidupan
cabaran merajut kilauan.
Kelopakmu tersusun rapi
meliuklentok mengejar bayangan
jangan layu tersentuh bak mimosa pudica.
Ana dan Kaka
sayapmu patah di kiri dan kanan
menganyam rindu di bibir malam
tadahkan tangan dalam sujud
raih mahabbah maha kekasih.
Jangan mengharap kasih
yang tak kunjung datang
bicara tentang mama dan papa
iringi dengan doa
yang terkubur di pusara
sirami dengan kembang setaman
berbahagialah hendaknya nama yang tertulis di batu nisan
di samping pohon kemboja.
Ana dan Kaka
tersenyumlah menatap mentari pagi
di sana kehidupan masih berlanjut
senja belumlah tiba
persiapkan amal ibadah
untuk bekal bersemayam nanti
bersama mama dan papa, ya, di sana.
ANA DAN KAKA adalah
(kisah dua anak yatim)
puisi kolaborasi, Nur Mutiara, PELITA TRENGGANU ( Norhaizan Mahussin)
bersama Romy Sastra
Jakarta, Malaysia 18/2/17
ANA DAN KAKA
Ana dan Kaka
sentuhan jemari belaian rindu
kiambang bertaut sisakan senyumanmu.
Ana dan Kaka
biarkan teratai layu di tasik madu
akar berenang menelan pahit
benang-benang kehidupan
cabaran merajut kilauan.
Kelopakmu tersusun rapi
meliuklentok mengejar bayangan
jangan layu tersentuh bak mimosa pudica.
Ana dan Kaka
sayapmu patah di kiri dan kanan
menganyam rindu di bibir malam
tadahkan tangan dalam sujud
raih mahabbah maha kekasih.
Jangan mengharap kasih
yang tak kunjung datang
bicara tentang mama dan papa
iringi dengan doa
yang terkubur di pusara
sirami dengan kembang setaman
berbahagialah hendaknya nama yang tertulis di batu nisan
di samping pohon kemboja.
Ana dan Kaka
tersenyumlah menatap mentari pagi
di sana kehidupan masih berlanjut
senja belumlah tiba
persiapkan amal ibadah
untuk bekal bersemayam nanti
bersama mama dan papa, ya, di sana.
ANA DAN KAKA adalah
(kisah dua anak yatim)
puisi kolaborasi, Nur Mutiara, PELITA TRENGGANU ( Norhaizan Mahussin)
bersama Romy Sastra
Jakarta, Malaysia 18/2/17
Puisi Optimis
OPTIMIS
By Romy Sastra
Dalam lamunan
kukhayalkan tentang diri
berteriak dalam ruangan kosong
desahku lirih mencibir bayangan semu
teriakin kebodohan
Dalam sadar kubuka pikiran
pikirkan tentang jalan hidup
untuk menerobos onak belukar
kegundahan diri selama ini
gundah dalam bayang-bayang ilusi
Tersadar diri
memegang teguh jalan hidup
menjalani realita hidup dari-Nya
napas napas optimis kuiringi memandu
mengabdi ke jalan Ilahi gapai ridho-Nya
Canda tawa selama ini tak seindah kubayangkan
tak lagi menghibur lara
banyak sudah kebenaran Ilahi dilalaikan
pecundang sudah bersama lelah
Pagi bersama terik tatap masa depan
menutup bayangan semalam
jemari menyusun pertanyaan sastra
menulis dalam syair
walau terkurung dalam tanda tanya
di ruang penuh misteri
tetap jawabannya
aku akan menganyam realiti
untuk meraih impian
membentuk kepribadian
Tak selamanya malam itu kelam
bersujud dalam kesunyian di keremangan
mengadu kesilapan diri
menghalau kegundahan
semoga gelisah berlalu pergi
Dalam doa
menengadah mencari cinta-Nya
mencoba memacu semangat mencintai-Nya
berharap dicintai-Nya
dan mencintai yang di sampingku juga
mendekap tanpa melukai kasih sayang
hidup indah bersama cinta
Dalam goresan optimis ini
semoga maha karya puisi
tak sia-sia memaknakan cinta
oh, diri. Mengertilah!
HR RoS
Jkt,19/2/17
By Romy Sastra
Dalam lamunan
kukhayalkan tentang diri
berteriak dalam ruangan kosong
desahku lirih mencibir bayangan semu
teriakin kebodohan
Dalam sadar kubuka pikiran
pikirkan tentang jalan hidup
untuk menerobos onak belukar
kegundahan diri selama ini
gundah dalam bayang-bayang ilusi
Tersadar diri
memegang teguh jalan hidup
menjalani realita hidup dari-Nya
napas napas optimis kuiringi memandu
mengabdi ke jalan Ilahi gapai ridho-Nya
Canda tawa selama ini tak seindah kubayangkan
tak lagi menghibur lara
banyak sudah kebenaran Ilahi dilalaikan
pecundang sudah bersama lelah
Pagi bersama terik tatap masa depan
menutup bayangan semalam
jemari menyusun pertanyaan sastra
menulis dalam syair
walau terkurung dalam tanda tanya
di ruang penuh misteri
tetap jawabannya
aku akan menganyam realiti
untuk meraih impian
membentuk kepribadian
Tak selamanya malam itu kelam
bersujud dalam kesunyian di keremangan
mengadu kesilapan diri
menghalau kegundahan
semoga gelisah berlalu pergi
Dalam doa
menengadah mencari cinta-Nya
mencoba memacu semangat mencintai-Nya
berharap dicintai-Nya
dan mencintai yang di sampingku juga
mendekap tanpa melukai kasih sayang
hidup indah bersama cinta
Dalam goresan optimis ini
semoga maha karya puisi
tak sia-sia memaknakan cinta
oh, diri. Mengertilah!
HR RoS
Jkt,19/2/17
SABDA AZALI
SABDA AZALI
By Romy Sastra
Empat anasir berpadu
menjadi koloni buat tubuh
Nur Muhammad telah dulu bersaksi
Hu Dzatullah
Asyhadu alla ilaha illallah
Segalanya bermula dari alam kosong
yang ada DzatNya
Nur Qun Hu Dzullah
di dalam kandungan Qun Nur Muhammad dari pada DzatNya
Berkuasanya Dzat kepada sifat
tidak Aku jadikan engkau wahai Muhammad
melainkan rahmat untuk sekalian alam
Berfirman Rabbani pada sifatullah,
teteskan air nuktahmu wahai NurKu!
Nur mani menjadikan cahaya putih,
kepada air
Nur madi menjadikan cahaya hitam,
kepada bumi
Nur wadi menjadikan cahaya merah,
kepada api
Nur maningkem menjadikan cahaya kuning,
kepada angin
Tiada kosong telah terisi wajibul wujud
Bersabda sifatullah:
iyakun kun jadi, jadilah engkau Jibril
penguasa bumi
Bersabda sifatullah:
iyakun payakun jadi, jadilah engkau Mikail
penguasa air
Bersabda sifatullah:
iyakun payakun jadi, jadilah engkau Israfil
penguasa angin
Bersabda sifatullah:
iyakun payakun jadi, jadilah engkau Izrail
penguasa api
Kepada Adam tercipta sebagai insan kamil
khalifah di muka bumi,
tiada upaya semua tercipta mengabdi
Adam papah tak memiliki daya
sabda Rabbani titipkan karsani kepada Jibril
karsani ditiupkan ke tubuh Adam
Adam berdaya,
apa yang ada di dunia menyerah
Idajil tak terima
Daya keimanan Adam pada keinginan
menjadikan rasa mecumbui nafsu duniawi
Karsani tertancap di ubun
tembus ke dubur jadi abu
berjalan di bumi Allah
gelisah tak berpenamping
dari keinginan tercipta Hawa
tempat bermanja dan terlena
sesungguhnya surga dan neraka itu
nyata ada di dunia dan di jiwa ini
HR RoS
Jakarta, 21/2/17
By Romy Sastra
Empat anasir berpadu
menjadi koloni buat tubuh
Nur Muhammad telah dulu bersaksi
Hu Dzatullah
Asyhadu alla ilaha illallah
Segalanya bermula dari alam kosong
yang ada DzatNya
Nur Qun Hu Dzullah
di dalam kandungan Qun Nur Muhammad dari pada DzatNya
Berkuasanya Dzat kepada sifat
tidak Aku jadikan engkau wahai Muhammad
melainkan rahmat untuk sekalian alam
Berfirman Rabbani pada sifatullah,
teteskan air nuktahmu wahai NurKu!
Nur mani menjadikan cahaya putih,
kepada air
Nur madi menjadikan cahaya hitam,
kepada bumi
Nur wadi menjadikan cahaya merah,
kepada api
Nur maningkem menjadikan cahaya kuning,
kepada angin
Tiada kosong telah terisi wajibul wujud
Bersabda sifatullah:
iyakun kun jadi, jadilah engkau Jibril
penguasa bumi
Bersabda sifatullah:
iyakun payakun jadi, jadilah engkau Mikail
penguasa air
Bersabda sifatullah:
iyakun payakun jadi, jadilah engkau Israfil
penguasa angin
Bersabda sifatullah:
iyakun payakun jadi, jadilah engkau Izrail
penguasa api
Kepada Adam tercipta sebagai insan kamil
khalifah di muka bumi,
tiada upaya semua tercipta mengabdi
Adam papah tak memiliki daya
sabda Rabbani titipkan karsani kepada Jibril
karsani ditiupkan ke tubuh Adam
Adam berdaya,
apa yang ada di dunia menyerah
Idajil tak terima
Daya keimanan Adam pada keinginan
menjadikan rasa mecumbui nafsu duniawi
Karsani tertancap di ubun
tembus ke dubur jadi abu
berjalan di bumi Allah
gelisah tak berpenamping
dari keinginan tercipta Hawa
tempat bermanja dan terlena
sesungguhnya surga dan neraka itu
nyata ada di dunia dan di jiwa ini
HR RoS
Jakarta, 21/2/17
Puisi Sufi
RENUNGAN MUSYAFIR
By Romy Sastra
Debu tak mesti bernoda padahal ia nirmala
sauk saja jadikan tirta tak basah
adakala ia pembersih yang dihalalkan
pergi bertamu ke Baitullah
jalan sang musyafir seribu langkah tak lelah
Sedangkan peluh meluruh di tubuh
bercampur debu bernoda tak mengapa
Kenapa banyu melimpah tak disentuh
tuk bersihkan wajah pada religi
sedangkan matahari di hati
tak pernah redup menyinari
puji-pujian pun di rongga
tak lekang memandu ruh di nadi
Ah, malulah pada hayat
tak lelah menghidangkan nafsu duniawi
kenapa tak disyukuri pemberian yang ada
bulan masih purnama
kejora masih kerlipkan cahaya
matahari belumlah terbit dari barat
berbenahlah sebelum terlambat
Ah, malulah pada ruh
ia masih bermain riang tak berbaju
bercumbu sunyi dalam kelambu rindu
ketika tamu tak diundang datang
jangan sesali tarian jiwa terhenti tak lagi berirama
penyesalan alang kepalang tiada guna
kembalilah wahai diri pada-Nya
dunia tak pernah indah
meski disulam dengan emas permata
HR RoS
Jakarta, 230217
By Romy Sastra
Debu tak mesti bernoda padahal ia nirmala
sauk saja jadikan tirta tak basah
adakala ia pembersih yang dihalalkan
pergi bertamu ke Baitullah
jalan sang musyafir seribu langkah tak lelah
Sedangkan peluh meluruh di tubuh
bercampur debu bernoda tak mengapa
Kenapa banyu melimpah tak disentuh
tuk bersihkan wajah pada religi
sedangkan matahari di hati
tak pernah redup menyinari
puji-pujian pun di rongga
tak lekang memandu ruh di nadi
Ah, malulah pada hayat
tak lelah menghidangkan nafsu duniawi
kenapa tak disyukuri pemberian yang ada
bulan masih purnama
kejora masih kerlipkan cahaya
matahari belumlah terbit dari barat
berbenahlah sebelum terlambat
Ah, malulah pada ruh
ia masih bermain riang tak berbaju
bercumbu sunyi dalam kelambu rindu
ketika tamu tak diundang datang
jangan sesali tarian jiwa terhenti tak lagi berirama
penyesalan alang kepalang tiada guna
kembalilah wahai diri pada-Nya
dunia tak pernah indah
meski disulam dengan emas permata
HR RoS
Jakarta, 230217
Jumat, 16 Juni 2017
Puisi Kolaborasi
BIAS KASIH
By : Puji Astuti and Romy Sastra
Di ujung malam lintang tenggelam
Terbangun dan tertegun risau
Seulas kulum desauan senyum
Menggoda hati mencuit rasa
Memberi isyarat cinta sejati
Aku yang tenggelam dalam pelukan
Menangis terisak di dadamu
Tertangkup selalu ber-ujung rindu
Bias kasih berpendar lirih
Di sekeliling cahaya lilin mendidih
Memantul bayangan di remang malam
Memapah hati yang sedang runyam
Kuserap jiwamu
Dan ambil sari cintamu
Kuletakkan di kisi hati
Yang tak dimengerti yang lain
Mencoba berdamai dengan tanya
Berharap putik berbuah
Hariku tetap bergulir pasrah
Bersama detik-detik waktu berlalu
Tak akan hilang sekejap pun
Melingkarkan rasa di dada cinta
Meski kasih bias tersisih
Aku yang realiti menagih janji
Mimpi semu lenyaplah menjauh pergi
JOGJA, JAKARTA 15 Juni 2012
By : Puji Astuti and Romy Sastra
Di ujung malam lintang tenggelam
Terbangun dan tertegun risau
Seulas kulum desauan senyum
Menggoda hati mencuit rasa
Memberi isyarat cinta sejati
Aku yang tenggelam dalam pelukan
Menangis terisak di dadamu
Tertangkup selalu ber-ujung rindu
Bias kasih berpendar lirih
Di sekeliling cahaya lilin mendidih
Memantul bayangan di remang malam
Memapah hati yang sedang runyam
Kuserap jiwamu
Dan ambil sari cintamu
Kuletakkan di kisi hati
Yang tak dimengerti yang lain
Mencoba berdamai dengan tanya
Berharap putik berbuah
Hariku tetap bergulir pasrah
Bersama detik-detik waktu berlalu
Tak akan hilang sekejap pun
Melingkarkan rasa di dada cinta
Meski kasih bias tersisih
Aku yang realiti menagih janji
Mimpi semu lenyaplah menjauh pergi
JOGJA, JAKARTA 15 Juni 2012
Puisi mengenang wafatnya Bung Karno
KEMBANG TERAKHIR 21 JUNI
Romy Sastra
layu gugur dalam kebisuan
sang fajar di ujung senja redup
perisai negara nestapa dalam takdir usia
sakit, sakit aku ya Allah
lirih dari racun politik itu
empat setengah dekade telah berlalu
kau sang proklamator,
bertemu dengan sejawat Bung Hatta
duet kembang wijaya kusuma
haru mendesah hiba
tak terlerai air mata tertumpah
saksi terakhir putra bangsa kesakitan
seakan menadah derita rakyat di pundak sendiri
memang, perjuangan ini belumlah usai
di dada patriot-patriot generasi
berjuang, revolusi datang silih berganti
berjuang dari kebiri kapitalis kolonialis
history dalam pertemuan di wisma yaso
jadi tahanan politik
bertempat di bilik kumuh tak terurus
dalam genggaman mengharukan
berbisik lirih berbahasa Belanda
hoe gaat het met jou?
sejarah mencatat, putra sang fajar
menghembuskan napas terakhir
dalam suasana tahanan politik dikhianati hipokrit politik kiri dan kanan
politik itu ironis, homo homini lupus
manusia adalah srigala bagi manusia lainnya
pupus sudah setangkai kembang sejarah
kuncup redup tenggelam dimakan usia
dari kepal komandonya negeri ini merdeka
gugur dalam racun politik di masa tua
penyambung lidah rakyat berduka
dalam sejarah 21 Juni 1970
Bung Karno tiada
HR RoS
Jakarta, 21-6-2016, 16:06
Sabtu, 10 Juni 2017
Puisi Kolaborasi
#Puisi_Kolaborasi
MENANTI YANG TAK TERNANTI
By Azizah Pelangi Senja and Romy Sastra II
Sepanjang jalan
Bulan mengekoriku tiada henti
Terkadang rindu berlindung di balik kabut
Bersembunyi di balik awan
Namun, seketika terlihat lagi, merupa
Resah tatapan di minda tanya
Kulemparkan saja senyuman pada langit
Melambai bulan di perbatasan angan
Ternyata dunia ini bulat
Sayangnya, ia tenggelam silih berganti siang dan malam
Pasang dan surut kehidupan
Adalah lumrah pada tiap bergelar insan
"Ooh... bulan, ke mana bintang yang memagari galaxi
Nanti kucuri rindu dikau simpan di hati
Adakah kau sudi candra bernyanyi
"Ooh... candra, aku pergi saja
Nanti malam atau esok lusa kita ketemu lagi
Walau hanya kulihat dikau di langit tinggi
Tak mengapa, aku rela menantimu di sini
Di perbatasan hati yang cemas ini
Selangor Jakarta, 10,06,17
MENANTI YANG TAK TERNANTI
By Azizah Pelangi Senja and Romy Sastra II
Sepanjang jalan
Bulan mengekoriku tiada henti
Terkadang rindu berlindung di balik kabut
Bersembunyi di balik awan
Namun, seketika terlihat lagi, merupa
Resah tatapan di minda tanya
Kulemparkan saja senyuman pada langit
Melambai bulan di perbatasan angan
Ternyata dunia ini bulat
Sayangnya, ia tenggelam silih berganti siang dan malam
Pasang dan surut kehidupan
Adalah lumrah pada tiap bergelar insan
"Ooh... bulan, ke mana bintang yang memagari galaxi
Nanti kucuri rindu dikau simpan di hati
Adakah kau sudi candra bernyanyi
"Ooh... candra, aku pergi saja
Nanti malam atau esok lusa kita ketemu lagi
Walau hanya kulihat dikau di langit tinggi
Tak mengapa, aku rela menantimu di sini
Di perbatasan hati yang cemas ini
Selangor Jakarta, 10,06,17
Jumat, 09 Juni 2017
Cerpen kolaborasi
#Repost
Cerpen_Kolaborasi
KETIKA CINTA TAK DIRESTUI
Penulis: Romy Sastra bersama
Fe Chrizta
#1
Mentari telah meninggi, di balik pentilasi jendela. Perlahan kusibak tirai pembatas dingin dari siklus hawa tak menentu menerebos jiwa nan lara.
Sedangkan hati ini masih resah, menatap jalanan yang diguyuri hujan semalam.
Tok..tok...tok....
Terdengar suara ketukkan pintu
dari luar kamar, seperti ada yang mau membangunkanku.
"Hai... Ridwan, bangun! Hari sudah siang.
Apakah kamu gak kerja hari ini? Sahut suara itu.
Sepertinya ibuku memanggil ini, bisikku dalam hati.
"Yaa... ibu, aku sudah bangun ini,
ibu berlalu mendengar jawabanku yang telah bangun.
Lama tatapan kosong
kala memandang satu pigura di dinding kamar terpampang.
Ia Anetta, kekasihku.
Bergumam, bertanya dalam bisu?"
"Netta?"
Kenapa dikau hadir mengisi hidupku,
abang mencintaimu Netta
sedangkan akidah kita berbeda
diriku ingin memilikimu.
Tapi, "ahh... lamunan, kau usik jiwaku.
"Anetta, kita yang pernah mengikat janji tuk saling mencintai selamanya, apapun itu rintangan kita nanti, akan dihadapi berdua.
Bak merpati tak ingin ingkari janji sampai mati.
Setengah dekade jalinan cinta bersamamu, orang tuaku belum diberi tahu sama sekali tentang hubungan kita.
Laman yang membuat resah pagi itu.
Pagi telah merambat pergi, aku Ridwan masih saja di atas tilam lusuh berbantal jemari letih.
Dengan rasa malas tiba-tiba, aku putuskan tak masuk kerja hari ini.
Lalu, ibuku mengetuk pintu kedua kalinya.
Tok..tok...tok....
"Ridwan..., haii, nak?"
kenapa belum bangun juga kau ini?"
Tak sabar ibuku membuka pintu, kreekk...
memang pintu tak terkunci dari semalam.
"Walah... kau ini Ridwan!"
Ada apa sih kamu kok melamun begitu, hari sudah siang, apa kamu cuti hari ini?
tanya ibuku dengan nada penasaran.
(Aku masih saja diam menatap
foto Anetta di dinding kamarku)
Spontan ibuku mengambil bingkai yang terpampang di dinding, ia sudah lama potret itu menghias relung-relung asmara, di kala kurindu dengan Anetta.
*******
Coba kamu terangkan Ridwan!"
Ada apa dengan foto ini?
Kutatap wajah ibu dengan rasa pesimis dan malu.
"Ibu..., maafkan Ridwan, ya bu.
Foto itu adalah Anetta kekasihku bu,"
terus!" tanya ibu lagi.
Ia Anetta, sudah lama kupacari, Netta minta menikah denganku ibu.
"Lho... baguslah itu Ridwan, Nietta kan cantik, wanita karir lagi,
dan kalian saling mencintai kok.
Ibu juga tak sabar menimang cucu kesayangan dari pernikahan kalian nanti.
Ia ibu, tapi.
Tapi kenapa Ridwan?"
"Ibu... Anetta itu beragama Kristiani lho ibu.
"Walah... sahut ibu.
Tidakk, tidak Ridwan....
Ibu tidak merestui kamu menikah dengan Anetta itu. Dengar Ridwan!"
Apa kata dunia, jikalau ibu punya menantu orang Kristiani.
Mau ditarok di mana muka ibu, semua saudara mencelamu nanti Ridwan.
"Buu... yang menikah itu aku bu,
bukan mereka.
"Ia... ibu tahu itu Ridwan, tapi bagaimana pertanggungjawaban di akhirat kelak, sedangkan tuntunan agama kita jelas melarang menikah beda agama.
"Yaa... ibu, cinta itu butuh perjuangan serta pengorbanan.
Pengorbanan apa? Tidakk Ridwan.
Kamu tidak boleh menikah dengan Anetta itu, titik....
Ibuku keluar dari dalam kamar, membawa ekspresi gundah gulana.
Sedangkan aku larut dalam pikir, bak buah simalakama menjadi menu pagiku.
Kutuliskan sepucuk surat
kukirimkan pada Anetta.
Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang....
*******
#2
Sementara itu di tempat lain...
Anetta termangu..
Matanya menatap jauh ke arah jendela kantornya yang berhadapan dengan laut...
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang, atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"
Kutipan ayat yang disampaikan pendeta dalam khotbah ibadah minggu masih saja terngiang dalam telinganya. Hati Anetta benar-benar kacau balau.
"Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Aku bingung Tuhan.... di sisi lain aku begitu mencintai Ridwan... tapiiii....." batin Anetta.
Hanya butiran bening yang menetes di pelupuk mata Netta.
_________________
__________________
Suatu siang...
Sepucuk surat dari Ridwan datang.
Dengan tergesa-gesa Anetta pun segera membukanya.
"Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang.."
Anetta terhenyak ketika membaca surat dari Ridwan. Ada pemberontakan yang begitu hebat di hatinya.
"Tidak... jangan sekarang Bang.. aku belum siap bila harus berpisah dengan abang!" jerit Netta sambil meremas surat dari Ridwan.
Ia pun bergegas mencoba menghubungi Ridwan di handphonenya, namun sia-sia saja. Nomor milik Ridwan tidak aktif.
Akhirnya ia pun memutuskan mencari Ridwan ke Jakarta.
Bukan hal yang mudah untuk mencari alamat Ridwan di Jakarta. Namun dengan sedikit bantuan dari seorang teman, Anetta berhasil menemukan rumah Ridwan.
"Tok... tok... tok... permisi... "ucap Netta sambil mengetuk pintu rumah Ridwan.
"iya sebentar" sahut suara dari dalam.
Tidak berapa lama terdengar pintu dibuka, kreekkk....
"Netta???" ucap Ridwan terkejut. "Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
Ridwan setengah tidak percaya jika yang dihadapinya adalah Anetta, kekasih hatinya, lima tahun lamanya ia menjalin cinta.
"Eh.. anu.. itu.. eh... silakan duduk Netta" kata Ridwan sambil tergagap-gagap.
Anetta pun duduk berhadapan dengan Ridwan. Untuk sementara waktu mereka hanya saling terdiam. Hingga pertanyaan Ridwan pun memecah keheningan di antara mereka.
"Kapan kau sampai di Jakarta?" tanya Ridwan.
"Kemarin siang saya sampai dari Semarang abang, dengan kereta api cepat, dan saya menginap dulu di rumah Maria. Dia yang membantuku mencari alamat rumahmu abang. "Ucap Netta dengan rasa getir.
Lagi-lagi mereka berdua pun kembali terdiam.
"Netta membuka pembicaraan"
"Kenapa Bang? Tidak adakah jalan keluar yang terbaik buat kita? Apakah memang semua harus berakhir seperti ini?" Yang tertulis di sepucuk surat yang abang kirimkan, kata Anetta terisak.
"Entah Net... tapi mungkin ini yang terbaik." ujar Ridwan.
"Tapi Netta mencintai abang...." sanggah Anetta.
"Begitu pula dengan abang Netta... abang juga mencintaimu Netta. Tapi, perbedaan kita sungguh tidak bisa disatukan Net..." sahut Ridwan. "Apa kamu mau berpindah keyakinan demi aku supaya kita bersatu?" lanjutnya.
Anetta terdiam dan tenggelam dalam isak tangisnya.
"Jawab Net.. apa Netta mau?" desak Ridwan. "Maaf bang... Netta tidak bisa membohongi kata hati Netta... Netta tidak bisa ikut keyakinan yang abang anut..." ucap Anetta.
"Begitu pula dengan abang Net... bila kamu mengajukan pertanyaan yang sama, abang pun tidak sanggup untuk ikut keyakinan yang kamu anut..." sahut Ridwan.
Dalam percakapan Netta dan Ridwan kekasihnya itu.
"Dan lagi... apakah kita mau menyakiti hati orangtua kita bila bersikukuh meneruskan hubungan ini?"
Anetta menggeleng.
"Bagaimana pula dengan anak-anak kita kelak? Tidak mungkin dalam satu kapal akan dikendalikan dua nahkoda dan akidah... kapal tersebut tentu akan kesulitan menemukan arah dan tujuannya... Kamu paham kan Net?" ucap Ridwan.
Anetta pun menyeka air matanya.
"Netta paham bang... Maaf bila Netta terlalu egois ingin memaksakan hubungan ini...
Dengan hati yang kecewa, gayung tak bersambut, bak pucuk dicinta ulam layu sudah.
"Oya, bang, Netta pamit pulang aja ke Semarang bang... Netta ikhlas... Netta legowo dengan keputusan yang abang ambil... Semoga abang menemukan wanita solehah untuk mendampingi hidup abang... doa Netta menyertai abang. Dan Netta tidak pernah menyesal jatuh cinta pada bang Ridwan" ucap Netta sambil tersenyum.
"Abang pun juga begitu Net.. Abang tidak pernah menyesal jatuh cinta pada Netta dan abang doakan Netta pun segera menemukan pendamping yang lebih baik dari abang" jawab Ridwan.
Akhirnya Anetta pulang pada hari itu, diantar ke stasiun kereta oleh Ridwan menuju Semarang.
Dalam perpisahan yang menyedihkan sepasang kekasih kisah yang tak sampai mereka berdua melambaikan tangan dengan linangan air mata yang membuncah di sela-sela jendela kereta, kereta yang perlahan-lahan melaju, hingga kencang hilang di tikungan di balik gedung-gedung kota Jakarta, hilang sebagai tanda pemisah. Telah berlalunya sebuah cerita cinta dibawa angin resah dalam history cinta yang tak direstui oleh orang tua.
(Hingga Ridwan berpisah secara baik-baik dengan kekasihnya Anetta)
Selesai
HR RoS and Fe
Jakarta, Semarang, 24/01/2017
Cerpen_Kolaborasi
KETIKA CINTA TAK DIRESTUI
Penulis: Romy Sastra bersama
Fe Chrizta
#1
Mentari telah meninggi, di balik pentilasi jendela. Perlahan kusibak tirai pembatas dingin dari siklus hawa tak menentu menerebos jiwa nan lara.
Sedangkan hati ini masih resah, menatap jalanan yang diguyuri hujan semalam.
Tok..tok...tok....
Terdengar suara ketukkan pintu
dari luar kamar, seperti ada yang mau membangunkanku.
"Hai... Ridwan, bangun! Hari sudah siang.
Apakah kamu gak kerja hari ini? Sahut suara itu.
Sepertinya ibuku memanggil ini, bisikku dalam hati.
"Yaa... ibu, aku sudah bangun ini,
ibu berlalu mendengar jawabanku yang telah bangun.
Lama tatapan kosong
kala memandang satu pigura di dinding kamar terpampang.
Ia Anetta, kekasihku.
Bergumam, bertanya dalam bisu?"
"Netta?"
Kenapa dikau hadir mengisi hidupku,
abang mencintaimu Netta
sedangkan akidah kita berbeda
diriku ingin memilikimu.
Tapi, "ahh... lamunan, kau usik jiwaku.
"Anetta, kita yang pernah mengikat janji tuk saling mencintai selamanya, apapun itu rintangan kita nanti, akan dihadapi berdua.
Bak merpati tak ingin ingkari janji sampai mati.
Setengah dekade jalinan cinta bersamamu, orang tuaku belum diberi tahu sama sekali tentang hubungan kita.
Laman yang membuat resah pagi itu.
Pagi telah merambat pergi, aku Ridwan masih saja di atas tilam lusuh berbantal jemari letih.
Dengan rasa malas tiba-tiba, aku putuskan tak masuk kerja hari ini.
Lalu, ibuku mengetuk pintu kedua kalinya.
Tok..tok...tok....
"Ridwan..., haii, nak?"
kenapa belum bangun juga kau ini?"
Tak sabar ibuku membuka pintu, kreekk...
memang pintu tak terkunci dari semalam.
"Walah... kau ini Ridwan!"
Ada apa sih kamu kok melamun begitu, hari sudah siang, apa kamu cuti hari ini?
tanya ibuku dengan nada penasaran.
(Aku masih saja diam menatap
foto Anetta di dinding kamarku)
Spontan ibuku mengambil bingkai yang terpampang di dinding, ia sudah lama potret itu menghias relung-relung asmara, di kala kurindu dengan Anetta.
*******
Coba kamu terangkan Ridwan!"
Ada apa dengan foto ini?
Kutatap wajah ibu dengan rasa pesimis dan malu.
"Ibu..., maafkan Ridwan, ya bu.
Foto itu adalah Anetta kekasihku bu,"
terus!" tanya ibu lagi.
Ia Anetta, sudah lama kupacari, Netta minta menikah denganku ibu.
"Lho... baguslah itu Ridwan, Nietta kan cantik, wanita karir lagi,
dan kalian saling mencintai kok.
Ibu juga tak sabar menimang cucu kesayangan dari pernikahan kalian nanti.
Ia ibu, tapi.
Tapi kenapa Ridwan?"
"Ibu... Anetta itu beragama Kristiani lho ibu.
"Walah... sahut ibu.
Tidakk, tidak Ridwan....
Ibu tidak merestui kamu menikah dengan Anetta itu. Dengar Ridwan!"
Apa kata dunia, jikalau ibu punya menantu orang Kristiani.
Mau ditarok di mana muka ibu, semua saudara mencelamu nanti Ridwan.
"Buu... yang menikah itu aku bu,
bukan mereka.
"Ia... ibu tahu itu Ridwan, tapi bagaimana pertanggungjawaban di akhirat kelak, sedangkan tuntunan agama kita jelas melarang menikah beda agama.
"Yaa... ibu, cinta itu butuh perjuangan serta pengorbanan.
Pengorbanan apa? Tidakk Ridwan.
Kamu tidak boleh menikah dengan Anetta itu, titik....
Ibuku keluar dari dalam kamar, membawa ekspresi gundah gulana.
Sedangkan aku larut dalam pikir, bak buah simalakama menjadi menu pagiku.
Kutuliskan sepucuk surat
kukirimkan pada Anetta.
Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang....
*******
#2
Sementara itu di tempat lain...
Anetta termangu..
Matanya menatap jauh ke arah jendela kantornya yang berhadapan dengan laut...
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang, atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"
Kutipan ayat yang disampaikan pendeta dalam khotbah ibadah minggu masih saja terngiang dalam telinganya. Hati Anetta benar-benar kacau balau.
"Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Aku bingung Tuhan.... di sisi lain aku begitu mencintai Ridwan... tapiiii....." batin Anetta.
Hanya butiran bening yang menetes di pelupuk mata Netta.
_________________
__________________
Suatu siang...
Sepucuk surat dari Ridwan datang.
Dengan tergesa-gesa Anetta pun segera membukanya.
"Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang.."
Anetta terhenyak ketika membaca surat dari Ridwan. Ada pemberontakan yang begitu hebat di hatinya.
"Tidak... jangan sekarang Bang.. aku belum siap bila harus berpisah dengan abang!" jerit Netta sambil meremas surat dari Ridwan.
Ia pun bergegas mencoba menghubungi Ridwan di handphonenya, namun sia-sia saja. Nomor milik Ridwan tidak aktif.
Akhirnya ia pun memutuskan mencari Ridwan ke Jakarta.
Bukan hal yang mudah untuk mencari alamat Ridwan di Jakarta. Namun dengan sedikit bantuan dari seorang teman, Anetta berhasil menemukan rumah Ridwan.
"Tok... tok... tok... permisi... "ucap Netta sambil mengetuk pintu rumah Ridwan.
"iya sebentar" sahut suara dari dalam.
Tidak berapa lama terdengar pintu dibuka, kreekkk....
"Netta???" ucap Ridwan terkejut. "Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
Ridwan setengah tidak percaya jika yang dihadapinya adalah Anetta, kekasih hatinya, lima tahun lamanya ia menjalin cinta.
"Eh.. anu.. itu.. eh... silakan duduk Netta" kata Ridwan sambil tergagap-gagap.
Anetta pun duduk berhadapan dengan Ridwan. Untuk sementara waktu mereka hanya saling terdiam. Hingga pertanyaan Ridwan pun memecah keheningan di antara mereka.
"Kapan kau sampai di Jakarta?" tanya Ridwan.
"Kemarin siang saya sampai dari Semarang abang, dengan kereta api cepat, dan saya menginap dulu di rumah Maria. Dia yang membantuku mencari alamat rumahmu abang. "Ucap Netta dengan rasa getir.
Lagi-lagi mereka berdua pun kembali terdiam.
"Netta membuka pembicaraan"
"Kenapa Bang? Tidak adakah jalan keluar yang terbaik buat kita? Apakah memang semua harus berakhir seperti ini?" Yang tertulis di sepucuk surat yang abang kirimkan, kata Anetta terisak.
"Entah Net... tapi mungkin ini yang terbaik." ujar Ridwan.
"Tapi Netta mencintai abang...." sanggah Anetta.
"Begitu pula dengan abang Netta... abang juga mencintaimu Netta. Tapi, perbedaan kita sungguh tidak bisa disatukan Net..." sahut Ridwan. "Apa kamu mau berpindah keyakinan demi aku supaya kita bersatu?" lanjutnya.
Anetta terdiam dan tenggelam dalam isak tangisnya.
"Jawab Net.. apa Netta mau?" desak Ridwan. "Maaf bang... Netta tidak bisa membohongi kata hati Netta... Netta tidak bisa ikut keyakinan yang abang anut..." ucap Anetta.
"Begitu pula dengan abang Net... bila kamu mengajukan pertanyaan yang sama, abang pun tidak sanggup untuk ikut keyakinan yang kamu anut..." sahut Ridwan.
Dalam percakapan Netta dan Ridwan kekasihnya itu.
"Dan lagi... apakah kita mau menyakiti hati orangtua kita bila bersikukuh meneruskan hubungan ini?"
Anetta menggeleng.
"Bagaimana pula dengan anak-anak kita kelak? Tidak mungkin dalam satu kapal akan dikendalikan dua nahkoda dan akidah... kapal tersebut tentu akan kesulitan menemukan arah dan tujuannya... Kamu paham kan Net?" ucap Ridwan.
Anetta pun menyeka air matanya.
"Netta paham bang... Maaf bila Netta terlalu egois ingin memaksakan hubungan ini...
Dengan hati yang kecewa, gayung tak bersambut, bak pucuk dicinta ulam layu sudah.
"Oya, bang, Netta pamit pulang aja ke Semarang bang... Netta ikhlas... Netta legowo dengan keputusan yang abang ambil... Semoga abang menemukan wanita solehah untuk mendampingi hidup abang... doa Netta menyertai abang. Dan Netta tidak pernah menyesal jatuh cinta pada bang Ridwan" ucap Netta sambil tersenyum.
"Abang pun juga begitu Net.. Abang tidak pernah menyesal jatuh cinta pada Netta dan abang doakan Netta pun segera menemukan pendamping yang lebih baik dari abang" jawab Ridwan.
Akhirnya Anetta pulang pada hari itu, diantar ke stasiun kereta oleh Ridwan menuju Semarang.
Dalam perpisahan yang menyedihkan sepasang kekasih kisah yang tak sampai mereka berdua melambaikan tangan dengan linangan air mata yang membuncah di sela-sela jendela kereta, kereta yang perlahan-lahan melaju, hingga kencang hilang di tikungan di balik gedung-gedung kota Jakarta, hilang sebagai tanda pemisah. Telah berlalunya sebuah cerita cinta dibawa angin resah dalam history cinta yang tak direstui oleh orang tua.
(Hingga Ridwan berpisah secara baik-baik dengan kekasihnya Anetta)
Selesai
HR RoS and Fe
Jakarta, Semarang, 24/01/2017
Senin, 05 Juni 2017
Cerpen religi
#Cerpen
SI DUNGU DAN SABDA TUAN GURU
Romy Sastra II
__untuk menempuh ujung jalan
haruslah melalui pangkal jalan
pangkal jalan yang terdekat itu
adalah diri sendiri__
Di sudut ruang di belakang pintu
santri dungu belajar bodoh.
Saking dungunya, menatap sang tuan guru.... Ia malu tertunduk kaku seakan menatap bisu, entah apa yang akan diperbuatnya tak tahu. Hanya sesekali mengangkat kepala, melirik sekeliling deretan duduk santri,
siapa-siapa saja yang hadir datang memetik hikmah di malam-malam indah di gubuk sepuh yang tak dikenal oleh kalangan santri modern.
Seakan sepuh ini, tak kelihatan berdiri di tempat yang terang,
dilengahkan begitu saja oleh glamournya dunia.
Anehnya, aksara jiwa yang di-eja-wantahkan sang guru,
sang dungu nyambung dengan bimbingan rasa yang diasah melalui kedisplinan olah batin sang santri patuh.
Sang dungu belajar bodoh,
dungu tak mengerti sama sekali
jalan-jalan santri di kitab fikih.
Duduk diam santun menyulam bisu
hening memahami pituduh meneliti makna-makna jiwa, dan merenungi sejarah kolosal agama
pada jejak-jejak wali di peradaban tanah Jawa serta nusantara, bahkan kisah para wali di dunia ke-islaman itu sendiri, yang dikupas di setiap malam purnama.
Sang dungu, asyik bersandar di tiang kerlipnya lampu-lampu menara di ruang sukma, seperti kejora bertaburan di arasy tertinggi, padahal hanya di titik batin ia bersembunyi.
Dungu adalah aku, si murid yang patuh. Hanyalah patuh pada perintah sabda-sabda cinta, menerangkan tentang kemulian akhlak Rasulullah dan lelaku para wali-wali Allah. Wejangan sang guru yang paripurna
seakan jiwa ini terbang melayang ke bait-bait Baithullah.
"Wahai... murid-muridku yang dalam perjalanan menuju cahaya ruh yang mulia. Sahut sang guru pada pertanyaan hakikat kepada santri yang memahami siloka guru yang mengandung makna.
"Di mana berdirinya Alif di dalam dirimu wahai santriku?
Para sang murid terdiam, selepas sang guru memberi isyarat pertanyaan yang sulit terjawab bagi santri yang belum tahu jalan kematian fardu 'ain.
Sedangkan sang guru memerhati sangat gelagat si dungu, tentang kebodohannya, dari pertanyaan tuan guru itu.
Ia dungu, tetap diam dan terpejam seakan menggali sendiri makna pertanyaan baru saja terlintas dari gurunya.
Sang guru, tak ada rafalan mantera dan kalimat sakti yang dititipkannya sebagai perisai diri kepada para murid-muridnya.
Hanya nasehat-nasehat dan cerita kolosal yang guru kiaskan melalui duduk yang rapi di hadapan santri-santrinya itu.
Sembilan puluh enam malam purnama, dungu bertapa di gua ketawadu'an sebagai santri muda di hadapan guru. Tak pernah sama sekali dititipkan amalan dan diperintahkan melafaz kalam,
dan membungkus rafalan di bawah pulang kepada peraduan hari-harinya. Si dungu tak merasa menadah bingkisan uluran hikmah dari setiap pertemuan sembilan puluh enam purnama berjalan.
Melainkan hanya pasrah pada kebodohannya. Bahwa ia si dungu memasrahkan saja perjalanan santri jiwanya pada kehendak Ilahi, di mana saja ia berada.
Pasrah pada takdir, ruh "DIN" yang ia yakini, sesungguhnya Alif berdiri pada rasa batin yang jujur tak ternoda barang sedikitpun.
Alif berdiri di Ka'bahtullah, dititipkan sang Khalik dari azali berdiri, hingga pada pemberhentian napas terhenti di ujung sesak pada rongga dicabut misteri.
Aku sang dungu, percaya pada keyakinan tutur sang guru. Ketika telepati sang guru memadah sukma
menitip pesan pada telik sandi sang dungu, di ruang-ruang batin nan sunyi. Si dungu tersenyum menerima rentetan jawaban dari aksara batin sang guru pada kedunguannya tentang duniawi. Ia selalu diam dan menyimak saja tutur-tutur rasa yang tak berwujud tuk dimengerti di antara ilmu jiwa dan cinta, asyik berkomunikasi memaparkan rahsa rahasia batin antara sang guru dan si dungu.
Pada malam kesekiannya, sang guru menjabarkan kedudukan si dungu. "Ketika kau dungu, kau yang selalu setia memandu perguruan ini.
aku akan menyambangimu setiap hari, dan selalu ada di sampingmu meski kau berkelana ke ujung dunia, tersadar dikau atau pun tidak, aku selalu menuntunmu. Dan kau berada di lobang semut sempit sekalipun, aku mengikuti langkahmu ke mana pun kau pergi.
Dan itu terbukti,
ketika sang dungu menanyakan perihal tabir tebal tertutup gaib silsilah keturunan dari azali hingga peradaban sesudah ia tiada nanti.
Bahkan menjabarkan history dunia seiring konflik zaman di mayapada ini.
Ia sang guru,
memaparkan sangat tepat sekali.
Dungu semakin bodoh pada linuwih batin sang guru sepuh.
Santri mengejar bodoh mengikuti jejak sufi
berjubah cinta yang rela.
Mewaspadai noda-noda jas roh memandu langkah selama sembilan puluh enam purnama, bertapa di malam-malam buta, dengan segelas jamuan kopi penahan kantuk, hingga fajar menyingsing di balik jendela rumah tua.
Pada masa keniscayaan hari, selama mondok di gubuk reyot guru sepuh. Si dungu mengikuti jalan realiti kehidupan telah berbuah prediket bodoh. Di perantara nyata dan gaib, tanpa berkomat-kamit titah itu tersingkap. Si dungu diuji dengan sebuah opera kakek si peminta-minta. Si dungu semakin awas lan waspada akan sebuah ujian dari opera titik akhir pengabdian sang murid yang setia akan titah pituduh aksara tutur sang guru, selama sembilan puluh enam purnama menempa jalan-jalan sunah.
"Aahhh... senyum sang dungu semakin merekah pada telik sandi rahasia sepuh. Matanya semakin mendelik, rasa batinnya semakin halus, budinya semakin dipekerti, jiwanya semakin cinta,
ruhaninya semakin diasah,
jeli pada telik sandi rahsa sebagai santri. Yang ia hanya mengejar prediket bodoh, ya bodoh, pada kalimat; lahaula walakuata illa billahil aliyil adzim.
Memahami ujian jangan sampai lupa pada kegagalan insan yang sempurna.
Antara tutur tinular aksara sang sabda tuan guru dan murid yang didamba.
Ia adalah rahasia menyambut amanah, di sanalah estapet tercurah.
HR RoS
Dinukilkan dalam history
HR Romy Sastra
Jakarta, 26-5-2016. 16:56.
SI DUNGU DAN SABDA TUAN GURU
Romy Sastra II
__untuk menempuh ujung jalan
haruslah melalui pangkal jalan
pangkal jalan yang terdekat itu
adalah diri sendiri__
Di sudut ruang di belakang pintu
santri dungu belajar bodoh.
Saking dungunya, menatap sang tuan guru.... Ia malu tertunduk kaku seakan menatap bisu, entah apa yang akan diperbuatnya tak tahu. Hanya sesekali mengangkat kepala, melirik sekeliling deretan duduk santri,
siapa-siapa saja yang hadir datang memetik hikmah di malam-malam indah di gubuk sepuh yang tak dikenal oleh kalangan santri modern.
Seakan sepuh ini, tak kelihatan berdiri di tempat yang terang,
dilengahkan begitu saja oleh glamournya dunia.
Anehnya, aksara jiwa yang di-eja-wantahkan sang guru,
sang dungu nyambung dengan bimbingan rasa yang diasah melalui kedisplinan olah batin sang santri patuh.
Sang dungu belajar bodoh,
dungu tak mengerti sama sekali
jalan-jalan santri di kitab fikih.
Duduk diam santun menyulam bisu
hening memahami pituduh meneliti makna-makna jiwa, dan merenungi sejarah kolosal agama
pada jejak-jejak wali di peradaban tanah Jawa serta nusantara, bahkan kisah para wali di dunia ke-islaman itu sendiri, yang dikupas di setiap malam purnama.
Sang dungu, asyik bersandar di tiang kerlipnya lampu-lampu menara di ruang sukma, seperti kejora bertaburan di arasy tertinggi, padahal hanya di titik batin ia bersembunyi.
Dungu adalah aku, si murid yang patuh. Hanyalah patuh pada perintah sabda-sabda cinta, menerangkan tentang kemulian akhlak Rasulullah dan lelaku para wali-wali Allah. Wejangan sang guru yang paripurna
seakan jiwa ini terbang melayang ke bait-bait Baithullah.
"Wahai... murid-muridku yang dalam perjalanan menuju cahaya ruh yang mulia. Sahut sang guru pada pertanyaan hakikat kepada santri yang memahami siloka guru yang mengandung makna.
"Di mana berdirinya Alif di dalam dirimu wahai santriku?
Para sang murid terdiam, selepas sang guru memberi isyarat pertanyaan yang sulit terjawab bagi santri yang belum tahu jalan kematian fardu 'ain.
Sedangkan sang guru memerhati sangat gelagat si dungu, tentang kebodohannya, dari pertanyaan tuan guru itu.
Ia dungu, tetap diam dan terpejam seakan menggali sendiri makna pertanyaan baru saja terlintas dari gurunya.
Sang guru, tak ada rafalan mantera dan kalimat sakti yang dititipkannya sebagai perisai diri kepada para murid-muridnya.
Hanya nasehat-nasehat dan cerita kolosal yang guru kiaskan melalui duduk yang rapi di hadapan santri-santrinya itu.
Sembilan puluh enam malam purnama, dungu bertapa di gua ketawadu'an sebagai santri muda di hadapan guru. Tak pernah sama sekali dititipkan amalan dan diperintahkan melafaz kalam,
dan membungkus rafalan di bawah pulang kepada peraduan hari-harinya. Si dungu tak merasa menadah bingkisan uluran hikmah dari setiap pertemuan sembilan puluh enam purnama berjalan.
Melainkan hanya pasrah pada kebodohannya. Bahwa ia si dungu memasrahkan saja perjalanan santri jiwanya pada kehendak Ilahi, di mana saja ia berada.
Pasrah pada takdir, ruh "DIN" yang ia yakini, sesungguhnya Alif berdiri pada rasa batin yang jujur tak ternoda barang sedikitpun.
Alif berdiri di Ka'bahtullah, dititipkan sang Khalik dari azali berdiri, hingga pada pemberhentian napas terhenti di ujung sesak pada rongga dicabut misteri.
Aku sang dungu, percaya pada keyakinan tutur sang guru. Ketika telepati sang guru memadah sukma
menitip pesan pada telik sandi sang dungu, di ruang-ruang batin nan sunyi. Si dungu tersenyum menerima rentetan jawaban dari aksara batin sang guru pada kedunguannya tentang duniawi. Ia selalu diam dan menyimak saja tutur-tutur rasa yang tak berwujud tuk dimengerti di antara ilmu jiwa dan cinta, asyik berkomunikasi memaparkan rahsa rahasia batin antara sang guru dan si dungu.
Pada malam kesekiannya, sang guru menjabarkan kedudukan si dungu. "Ketika kau dungu, kau yang selalu setia memandu perguruan ini.
aku akan menyambangimu setiap hari, dan selalu ada di sampingmu meski kau berkelana ke ujung dunia, tersadar dikau atau pun tidak, aku selalu menuntunmu. Dan kau berada di lobang semut sempit sekalipun, aku mengikuti langkahmu ke mana pun kau pergi.
Dan itu terbukti,
ketika sang dungu menanyakan perihal tabir tebal tertutup gaib silsilah keturunan dari azali hingga peradaban sesudah ia tiada nanti.
Bahkan menjabarkan history dunia seiring konflik zaman di mayapada ini.
Ia sang guru,
memaparkan sangat tepat sekali.
Dungu semakin bodoh pada linuwih batin sang guru sepuh.
Santri mengejar bodoh mengikuti jejak sufi
berjubah cinta yang rela.
Mewaspadai noda-noda jas roh memandu langkah selama sembilan puluh enam purnama, bertapa di malam-malam buta, dengan segelas jamuan kopi penahan kantuk, hingga fajar menyingsing di balik jendela rumah tua.
Pada masa keniscayaan hari, selama mondok di gubuk reyot guru sepuh. Si dungu mengikuti jalan realiti kehidupan telah berbuah prediket bodoh. Di perantara nyata dan gaib, tanpa berkomat-kamit titah itu tersingkap. Si dungu diuji dengan sebuah opera kakek si peminta-minta. Si dungu semakin awas lan waspada akan sebuah ujian dari opera titik akhir pengabdian sang murid yang setia akan titah pituduh aksara tutur sang guru, selama sembilan puluh enam purnama menempa jalan-jalan sunah.
"Aahhh... senyum sang dungu semakin merekah pada telik sandi rahasia sepuh. Matanya semakin mendelik, rasa batinnya semakin halus, budinya semakin dipekerti, jiwanya semakin cinta,
ruhaninya semakin diasah,
jeli pada telik sandi rahsa sebagai santri. Yang ia hanya mengejar prediket bodoh, ya bodoh, pada kalimat; lahaula walakuata illa billahil aliyil adzim.
Memahami ujian jangan sampai lupa pada kegagalan insan yang sempurna.
Antara tutur tinular aksara sang sabda tuan guru dan murid yang didamba.
Ia adalah rahasia menyambut amanah, di sanalah estapet tercurah.
HR RoS
Dinukilkan dalam history
HR Romy Sastra
Jakarta, 26-5-2016. 16:56.
Sabtu, 03 Juni 2017
Prosa
#Repost
"Prosa secangkir kopi untuk negeriku"
KETIKA MASA PULANG SEKOLAH
AKU DAN IKAN KECIL ITU
Oleh Romy Sastra II
Nagari Kubang Bayang
Pesisir Selatan, Sumatera Barat
memanggilku pulang, masa lebaran tahun kemaren, satu tahun telah berlalu. Kini, ia ranah itu seakan memanggil kehadiranku kembali.
Sinopsis kisah di sungai itu,
ia tetesan dari sumber berbagai mata air dari gunung, menyatu menjadi anak-anak sungai kecil. Riaknya aliran menjadi induk sungai "BATANG BAYANG" dari hulu mengalir ke hilir berlabuh ke muara.
Catatan harian, masa kecilku semasa pulang sekolah.
Aku terjun ke sungai bersama kawan-kawan setiap hari selalu kami lakukan.
Riang gembira berenang di sekitar air tenang di tempat pemandian,
air Batang Bayang membelah negeri-negeri kami sampai ke samudera.
Sungai itu, saksi sejarah alam untuk keberlangsungan berbagi kehidupan dan biota dari rahmat yang maha kuasa.
Menitipkan pesan pada kearifan alam untuk peradaban,
demi lestarinya regenerasi kehidupan negeri-negeri kami
yang terus berlanjut hingga kiamat nanti.
Kenapa aku tulis cerita secangkir kopi?"
Kukirimkan ke persada maya. Testimoni cerita masa kecilku, untuk membangunkan anak-anak negeri yang telah tertidur mengenang masa kejayaan dulu.
Negeri kami dilimpahkan anugerah yang banyak dari sang pencipta alam.
Salah satunya adalah ikan-ikan yang berenang bersamaku ketika aku mandi di siang hari.
Segerombolan ikan berbondong-bondong mencubit kulitku, seakan-akan anak ikan itu mengajak bermain petak umpet riang gembira.
Menitip pesan pada cerianya ia ke rasaku, bagaimana melanjutkan masa depannya nanti, biar ia tak punah.
Dialog rasa yang menyentakkan kearifan diri, akan kehidupan biota di telaga sungai yang kuselami.
Masa kecil itu,
adalah masa terindah yang tak terlupakan hingga kini,
dulu aku berenang di suatu lubuk di sungai itu. Ikan-ikan kecil hingga sedang menyambut kedatanganku. Aku berenang di sela bebatuan, menyaksikan ikan-ikan itu dengan kaca mata renang yang aku buat sendiri.
Ikan-ikan itu seakan berbisik pada aksara mulutnya yang lucu, dengan berbahasa batin di lorong bebatuan di dalam sungai ia menyapa?"
"Haaiii ... Sastra? Selamat siang ya!"
Sudahkah kau pulang sekolah hari ini?"
"Aku menjawab sapaannya dengan bahasa batin juga serta dengan tatapan mesra.
"Ooohhh ... lirihku dalam hati, indahnya sayap-sayapmu wahai ikan yang berenang, dan siripmu unik berkilauan di badanmu wahai ikan, kau adalah sahabat biota sungaiku.
"Ooo... ya Sas?
Ajari aku tentang makna cinta dan kasih sayang manusia terhadap kami di sungai ini, biar kami tak punah di kemudian hari nanti.
Padahal aku diciptakan untuk memenuhi konsumsi hidupmu sastra dan hajat hidup orang banyak juga.
"Aahhhh,
aku hanya diam beribu bahasa bahwa sang maha jiwa menitipkan pesan pada kelestarian alam di negeri kami.
********
Seperti biasa ketika hari mulai senja, aku terbiasa memancing di tempat pemandian itu,
menunggu pancingku mulai menyapa, dengan getaran-getaran kecil, seakan pertanda rezeki mulai ada.
Aku sempatkan menatap kunang-kunang malam menerangiku,
dengan sebuah pancing bermata kail dan secuil umpan untuk kularung ke dalam lubuk-lubuk ikan itu.
Berharap ada rezekiku pada senja ini yang akan aku bawa pulang untuk dimasak di rumah nanti.
Di keremangan malam,
aku duduk di bebatuan beberapa menit sambil menyambut sang rembulan menampakkan wajahnya di balik awan.
Tak berapa lama, umpanku di sambar ikan, aku haru harap-harap cemas semoga aku bisa mendapatkan ikan ini. Dan ternyata ikan itu memang aku dapatkan, ia menggeliatkan tubuhnya seakan ingin melepaskan diri, padahal bisiknya tadi siang, ia telah rela tubuhnya digoreng untuk dimakan, memang ia diciptakan untuk sebuah kehidupan juga.
Dekade demi dekade telah berlalu dan pada tahun yang lalu aku ke sana,
di tempat kenangan masa kecilku dulu bermandian.
Kawan-kawan kecil dulu,
aku sambangi mereka satu persatu mengajaknya ke tepian kenangan senja itu.
"Aku bertanya pada mereka?!
kenapa rona sungai ini tak seindah dulu kawan?" dan ke mana ikan-ikan kecil sebagai sahabat kita dulu tak tampak lagi kini?
Lantas mereka menjawab dengan penuh semangat, dan sedikit berbahasa diplomatis. "Ya, Sastra. Bahwa tepian mandi kita dulu ini sudah tergerus banjir bandang berkali-kali dan ikan yang berenang bersamamu dulu telah punah sudah oleh prilaku segelintir orang kampung menyentrum bahkan meracuninya juga.
"Waahhh... ironis sekali, lirihku.
Ketahuilah Sastra, mereka yang menyentrum dan meracuni biota sungai itu adalah saudara-saudaramu juga lo sastra.
Ia adalah Jonal Pendra kakak kandungmu salah satunya.
Lantas aku kaget dan tertawa sejadi-jadinya, hahahaha... karena geli,
yang aku maki ya saudaraku sendiri.
Sayangnya kemaren aku pulang, dia tak sempat aku temui.
Ingin aku melarangnya dengan bahasa indah, bahwa membunuh ikan tanpa melindungi anak-anaknya kembali adalah kenistaan yang sempurna, dan biota sungai itu sejarah kita juga.
Bertanya pada goresan maya di lembaran ini, menitip pesan kepada Pak Wali Nagari pada kesan tirani sifat di kampung yang tak mau dimengerti akan lestarinya sungai itu kembali.
Dulu, masa kejayaan periode kepemimpinan daerah, ada aturan menjaga kelestarian sungai kita secara bersama-sama.
Bahkan rekomendasinya hingga ke badan hukum dengan peraturan ke pihak yang berwajib, dan aturan hukum adat tentang konsekwensi prilaku anak negeri itu sendiri.
Kini, dengan secercah harap
tertitip doa dan salam kepada aparat setempat di Negeri Kubang dan Bayang sekitarnya.
Tolong bangun kembali sistem melestarikan perikanan di sungai itu, biar ikon kehidupan sungai tak habis ditelan masa.
Kita semua berharap, kearifan dulu lestari kembali.
Siapa,
dan mengapa sebegitu punahnya regenerasi ikan itu di negeri sendiri.
"Aahhhh ....
HR RoS
Jakarta, 23-07-2016, 19:27
"Prosa secangkir kopi untuk negeriku"
KETIKA MASA PULANG SEKOLAH
AKU DAN IKAN KECIL ITU
Oleh Romy Sastra II
Nagari Kubang Bayang
Pesisir Selatan, Sumatera Barat
memanggilku pulang, masa lebaran tahun kemaren, satu tahun telah berlalu. Kini, ia ranah itu seakan memanggil kehadiranku kembali.
Sinopsis kisah di sungai itu,
ia tetesan dari sumber berbagai mata air dari gunung, menyatu menjadi anak-anak sungai kecil. Riaknya aliran menjadi induk sungai "BATANG BAYANG" dari hulu mengalir ke hilir berlabuh ke muara.
Catatan harian, masa kecilku semasa pulang sekolah.
Aku terjun ke sungai bersama kawan-kawan setiap hari selalu kami lakukan.
Riang gembira berenang di sekitar air tenang di tempat pemandian,
air Batang Bayang membelah negeri-negeri kami sampai ke samudera.
Sungai itu, saksi sejarah alam untuk keberlangsungan berbagi kehidupan dan biota dari rahmat yang maha kuasa.
Menitipkan pesan pada kearifan alam untuk peradaban,
demi lestarinya regenerasi kehidupan negeri-negeri kami
yang terus berlanjut hingga kiamat nanti.
Kenapa aku tulis cerita secangkir kopi?"
Kukirimkan ke persada maya. Testimoni cerita masa kecilku, untuk membangunkan anak-anak negeri yang telah tertidur mengenang masa kejayaan dulu.
Negeri kami dilimpahkan anugerah yang banyak dari sang pencipta alam.
Salah satunya adalah ikan-ikan yang berenang bersamaku ketika aku mandi di siang hari.
Segerombolan ikan berbondong-bondong mencubit kulitku, seakan-akan anak ikan itu mengajak bermain petak umpet riang gembira.
Menitip pesan pada cerianya ia ke rasaku, bagaimana melanjutkan masa depannya nanti, biar ia tak punah.
Dialog rasa yang menyentakkan kearifan diri, akan kehidupan biota di telaga sungai yang kuselami.
Masa kecil itu,
adalah masa terindah yang tak terlupakan hingga kini,
dulu aku berenang di suatu lubuk di sungai itu. Ikan-ikan kecil hingga sedang menyambut kedatanganku. Aku berenang di sela bebatuan, menyaksikan ikan-ikan itu dengan kaca mata renang yang aku buat sendiri.
Ikan-ikan itu seakan berbisik pada aksara mulutnya yang lucu, dengan berbahasa batin di lorong bebatuan di dalam sungai ia menyapa?"
"Haaiii ... Sastra? Selamat siang ya!"
Sudahkah kau pulang sekolah hari ini?"
"Aku menjawab sapaannya dengan bahasa batin juga serta dengan tatapan mesra.
"Ooohhh ... lirihku dalam hati, indahnya sayap-sayapmu wahai ikan yang berenang, dan siripmu unik berkilauan di badanmu wahai ikan, kau adalah sahabat biota sungaiku.
"Ooo... ya Sas?
Ajari aku tentang makna cinta dan kasih sayang manusia terhadap kami di sungai ini, biar kami tak punah di kemudian hari nanti.
Padahal aku diciptakan untuk memenuhi konsumsi hidupmu sastra dan hajat hidup orang banyak juga.
"Aahhhh,
aku hanya diam beribu bahasa bahwa sang maha jiwa menitipkan pesan pada kelestarian alam di negeri kami.
********
Seperti biasa ketika hari mulai senja, aku terbiasa memancing di tempat pemandian itu,
menunggu pancingku mulai menyapa, dengan getaran-getaran kecil, seakan pertanda rezeki mulai ada.
Aku sempatkan menatap kunang-kunang malam menerangiku,
dengan sebuah pancing bermata kail dan secuil umpan untuk kularung ke dalam lubuk-lubuk ikan itu.
Berharap ada rezekiku pada senja ini yang akan aku bawa pulang untuk dimasak di rumah nanti.
Di keremangan malam,
aku duduk di bebatuan beberapa menit sambil menyambut sang rembulan menampakkan wajahnya di balik awan.
Tak berapa lama, umpanku di sambar ikan, aku haru harap-harap cemas semoga aku bisa mendapatkan ikan ini. Dan ternyata ikan itu memang aku dapatkan, ia menggeliatkan tubuhnya seakan ingin melepaskan diri, padahal bisiknya tadi siang, ia telah rela tubuhnya digoreng untuk dimakan, memang ia diciptakan untuk sebuah kehidupan juga.
Dekade demi dekade telah berlalu dan pada tahun yang lalu aku ke sana,
di tempat kenangan masa kecilku dulu bermandian.
Kawan-kawan kecil dulu,
aku sambangi mereka satu persatu mengajaknya ke tepian kenangan senja itu.
"Aku bertanya pada mereka?!
kenapa rona sungai ini tak seindah dulu kawan?" dan ke mana ikan-ikan kecil sebagai sahabat kita dulu tak tampak lagi kini?
Lantas mereka menjawab dengan penuh semangat, dan sedikit berbahasa diplomatis. "Ya, Sastra. Bahwa tepian mandi kita dulu ini sudah tergerus banjir bandang berkali-kali dan ikan yang berenang bersamamu dulu telah punah sudah oleh prilaku segelintir orang kampung menyentrum bahkan meracuninya juga.
"Waahhh... ironis sekali, lirihku.
Ketahuilah Sastra, mereka yang menyentrum dan meracuni biota sungai itu adalah saudara-saudaramu juga lo sastra.
Ia adalah Jonal Pendra kakak kandungmu salah satunya.
Lantas aku kaget dan tertawa sejadi-jadinya, hahahaha... karena geli,
yang aku maki ya saudaraku sendiri.
Sayangnya kemaren aku pulang, dia tak sempat aku temui.
Ingin aku melarangnya dengan bahasa indah, bahwa membunuh ikan tanpa melindungi anak-anaknya kembali adalah kenistaan yang sempurna, dan biota sungai itu sejarah kita juga.
Bertanya pada goresan maya di lembaran ini, menitip pesan kepada Pak Wali Nagari pada kesan tirani sifat di kampung yang tak mau dimengerti akan lestarinya sungai itu kembali.
Dulu, masa kejayaan periode kepemimpinan daerah, ada aturan menjaga kelestarian sungai kita secara bersama-sama.
Bahkan rekomendasinya hingga ke badan hukum dengan peraturan ke pihak yang berwajib, dan aturan hukum adat tentang konsekwensi prilaku anak negeri itu sendiri.
Kini, dengan secercah harap
tertitip doa dan salam kepada aparat setempat di Negeri Kubang dan Bayang sekitarnya.
Tolong bangun kembali sistem melestarikan perikanan di sungai itu, biar ikon kehidupan sungai tak habis ditelan masa.
Kita semua berharap, kearifan dulu lestari kembali.
Siapa,
dan mengapa sebegitu punahnya regenerasi ikan itu di negeri sendiri.
"Aahhhh ....
HR RoS
Jakarta, 23-07-2016, 19:27
Senin, 29 Mei 2017
Solilokui
SOLILOKUI DIRI MENCARI DIRI
Romy Sastra II
Telah aku gelorakan nafsu mencicipi hidangan bermain di ujung lidah, dari kekangan segala ingin pada pertarungan iman dan batin di shaum siang tadi.
Ternyata nikmatmu wahai si penggoda, hanya di batas tenggorokan saja.
Diri berpayah-payah mencari diri,
di mana jamuan terlezat berada?
Aku cari di kantin-kantin, kujejaki kuliner trotoar di pinggir jalan, ternyata tak satu pun yang mampu pesona kuliner itu membuat aku terpana.
Diri mencari diri,
mengikuti jejak-jejak wali bersufi, pada kajian lelaku bershaum nafsu sepanjang ruh menyelimuti, tak mau menyentuh aroma nikmat sesaat menggoda.
Aku dicubit pedih oleh hening, tak lagi memikirkan nafsu, yang kupikirkan perjumpaan kerinduan. Betapa lezatnya rindu telah terhidang di dalam sukmaku, dan bertahtanya kemewahan tiada tara.
Aku malu pada batinku, ternyata kuliner terlezat itu adalah makrifatullah.
HR RoS
Jakarta,29,05,2017
Romy Sastra II
Telah aku gelorakan nafsu mencicipi hidangan bermain di ujung lidah, dari kekangan segala ingin pada pertarungan iman dan batin di shaum siang tadi.
Ternyata nikmatmu wahai si penggoda, hanya di batas tenggorokan saja.
Diri berpayah-payah mencari diri,
di mana jamuan terlezat berada?
Aku cari di kantin-kantin, kujejaki kuliner trotoar di pinggir jalan, ternyata tak satu pun yang mampu pesona kuliner itu membuat aku terpana.
Diri mencari diri,
mengikuti jejak-jejak wali bersufi, pada kajian lelaku bershaum nafsu sepanjang ruh menyelimuti, tak mau menyentuh aroma nikmat sesaat menggoda.
Aku dicubit pedih oleh hening, tak lagi memikirkan nafsu, yang kupikirkan perjumpaan kerinduan. Betapa lezatnya rindu telah terhidang di dalam sukmaku, dan bertahtanya kemewahan tiada tara.
Aku malu pada batinku, ternyata kuliner terlezat itu adalah makrifatullah.
HR RoS
Jakarta,29,05,2017
Minggu, 28 Mei 2017
Solilokui
SOLILOKUI
TOPENG DI BALIK RUPA
Romy Sastra II
topeng berselimut bayang, disanding rupa melati berwangi kesturi
sering berkaca pada rasa, hasrat meminjam rupa pada bulan
sedangkan kejora selalu membayangi aurora ingin berpesta di malam hari
wahai diri, sadari, takdir telah ditentukan dari azali, untuk apa bermain bayang di tangan yang kotor, bersolek seperti bidadari kesiangan
lebih baik kilaukan rupa pada tirta religi memandu relung-relung jiwa bersayap ruhani, kan terlihat jelas ekspresi ilahi pada wajah nan manis
diri yang tak pernah puas memandang pelangi, sebab hadirnya sesaat seperti imaji membayangi, kadangkala diri cemberut di depan kaca, seperti tak pernah puas pemberian dari azali, duhai diri, mengertilah
tanggalkan wajah nan bersolek di balik topeng-topeng mewah, gantilah dengan hiasan dedoa, menjadi senyuman nan berkah
HR RoS
Jakarta, 29,05,2017
TOPENG DI BALIK RUPA
Romy Sastra II
topeng berselimut bayang, disanding rupa melati berwangi kesturi
sering berkaca pada rasa, hasrat meminjam rupa pada bulan
sedangkan kejora selalu membayangi aurora ingin berpesta di malam hari
wahai diri, sadari, takdir telah ditentukan dari azali, untuk apa bermain bayang di tangan yang kotor, bersolek seperti bidadari kesiangan
lebih baik kilaukan rupa pada tirta religi memandu relung-relung jiwa bersayap ruhani, kan terlihat jelas ekspresi ilahi pada wajah nan manis
diri yang tak pernah puas memandang pelangi, sebab hadirnya sesaat seperti imaji membayangi, kadangkala diri cemberut di depan kaca, seperti tak pernah puas pemberian dari azali, duhai diri, mengertilah
tanggalkan wajah nan bersolek di balik topeng-topeng mewah, gantilah dengan hiasan dedoa, menjadi senyuman nan berkah
HR RoS
Jakarta, 29,05,2017
Puisi Sufi
JIWAKU DAN TUAN GURU ITU
Romy Sastra II
lembah-lembah diri kuselami
menurun mendaki melafaz kalam Ilahi
jalan-jalan terjal kutelusuri
memasuki alam jiwa, rongga rimba raya
aku dan nafsu itu
mengikuti jejak langkah tertatih
jerih payah tak lagi dirasai
di aliran nan tenang sesuatu bertapa bisu
di balik batu berkilau zamrud
seperti bercermin di telaga kaca rasa
sesuatu itu bersabda, ia maha jiwa
sang jiwa penunggu kasta itu berbisik
duhai yang terlena payah
jangan jauh-jauh mencari cinta
selami saja lautan terdalam
jangan takut tenggelam
di dasar jiwa itu mutiara tersimpan
duhai yang menengadah ke langit jiwa
di tingkat makam yang tinggi
makhota cinta bertahta
untuk apa engkau datang kemari
yang hanya membawa jera
padamkan pelangi melingkari galaxi diri
biar tak tergoda dengan ilusi
tuan guru nan bergelar mursyid sejati
aku datang kemari membawa cinta
izinkan aku bertanya tentang azali berdiri
ya tuan penunggu sagara alam diri
baiklah....
coba kau pegang tongkat alif, jangan dilepaskan walau sesaat
dan jangan kau berdiri di kakimu itu
jangan pula kau duduk di tilam permadani
tetapi,
berpijaklah di tempat rasamu bersembunyi
kau kan tahu rasa yang sejati
bersilalah pada embun-embun malam
pada ruang yang teramat sunyi
walau sesak menyeruak berdinding pekat
tak dapat melihat abstrak
bercumbulah dengan lafaz tasbih berbisik
kan kau dapatkan khair-khair rahsi
di sana sabda itu dibisikkan
di pertemuan pintu Ar-Rabbani
la illaha illa ana, innani anaallah
pengakuan IA.
fa subhannallazi biyadihi....
akhir kalam ayat berjanji
subhanna rabbika robbil izati....
ia adalah penutup segala doa untuk-Nya
sesungguhnya itulah sabda tuan guru
membuka jalan tajali
meminta petunjuk jalan akan azali
IA keakuan kesucian-Nya yang segala maha
nyata tak terbantah
mursyid memanggil pulang
kembalilah turun ke mayapada wahai jiwa
pegang nukilan tauhid Ilahi
jangan dilengahkan
meski langit itu kan runtuh ke bumi
HR RoS
Jakarta, 28,05,2017
Romy Sastra II
lembah-lembah diri kuselami
menurun mendaki melafaz kalam Ilahi
jalan-jalan terjal kutelusuri
memasuki alam jiwa, rongga rimba raya
aku dan nafsu itu
mengikuti jejak langkah tertatih
jerih payah tak lagi dirasai
di aliran nan tenang sesuatu bertapa bisu
di balik batu berkilau zamrud
seperti bercermin di telaga kaca rasa
sesuatu itu bersabda, ia maha jiwa
sang jiwa penunggu kasta itu berbisik
duhai yang terlena payah
jangan jauh-jauh mencari cinta
selami saja lautan terdalam
jangan takut tenggelam
di dasar jiwa itu mutiara tersimpan
duhai yang menengadah ke langit jiwa
di tingkat makam yang tinggi
makhota cinta bertahta
untuk apa engkau datang kemari
yang hanya membawa jera
padamkan pelangi melingkari galaxi diri
biar tak tergoda dengan ilusi
tuan guru nan bergelar mursyid sejati
aku datang kemari membawa cinta
izinkan aku bertanya tentang azali berdiri
ya tuan penunggu sagara alam diri
baiklah....
coba kau pegang tongkat alif, jangan dilepaskan walau sesaat
dan jangan kau berdiri di kakimu itu
jangan pula kau duduk di tilam permadani
tetapi,
berpijaklah di tempat rasamu bersembunyi
kau kan tahu rasa yang sejati
bersilalah pada embun-embun malam
pada ruang yang teramat sunyi
walau sesak menyeruak berdinding pekat
tak dapat melihat abstrak
bercumbulah dengan lafaz tasbih berbisik
kan kau dapatkan khair-khair rahsi
di sana sabda itu dibisikkan
di pertemuan pintu Ar-Rabbani
la illaha illa ana, innani anaallah
pengakuan IA.
fa subhannallazi biyadihi....
akhir kalam ayat berjanji
subhanna rabbika robbil izati....
ia adalah penutup segala doa untuk-Nya
sesungguhnya itulah sabda tuan guru
membuka jalan tajali
meminta petunjuk jalan akan azali
IA keakuan kesucian-Nya yang segala maha
nyata tak terbantah
mursyid memanggil pulang
kembalilah turun ke mayapada wahai jiwa
pegang nukilan tauhid Ilahi
jangan dilengahkan
meski langit itu kan runtuh ke bumi
HR RoS
Jakarta, 28,05,2017
Sabtu, 27 Mei 2017
Puisi Sufi
MENATAP IA DENGAN TAFAKUR
Romy Sastra II
aku puisikan bait-bait larik jiwa
menatap sekejap ke dalam otakku
dengan jalan membunuh inderawi
duduk bersila bak budha menatap nirwana
tiada bermantera tak berkomat-kamit
yang kubawa hanya secercah rasa
seketika gumpalan pelita hadir bak kejora
menerangi alam batinku
tercipta dari keheningan sesaat
aku dan nafsu itu
berpacu mengejar tempat tertinggi
pada kasta-kasta iman menggoda diri
ialah menatap kerlip sang maha mega
di puncak fana terhenti
menyimak yang sejati
ataukah labirin menyesatkan di balik tirai ilusi
segala nafsu lelah terbakar sirna
di keheningan malam di wajah baitullah
indah kerlip cinta bertaburan cahaya
aku dan diriku
membunuh hasrat doa
tiada yang kupinta
selain ingin menatapnya saja
bahwa sesungguhnya Dia masih ada, memelukku
pada janji yang tak pernah diingkari-Nya
bahwa jiwa ini tak berjarak dengan Maha
aku haru,
dosa-dosa itu seakan berguguran
tubuh runtuh bergemetaran
pada terjawabnya asholatu daimullah
semoga itu pertanda ibadahku diterima-Nya
innallaha latukhliful mii'aad
dalam khyusu' sesaat
aku dan diriku lebur lenyap dan fana
fana menyentuh maha rasa
bersatu padu, yang ada hanya DIA
HR RoS
Jakarta, 27,05,2017
Romy Sastra II
aku puisikan bait-bait larik jiwa
menatap sekejap ke dalam otakku
dengan jalan membunuh inderawi
duduk bersila bak budha menatap nirwana
tiada bermantera tak berkomat-kamit
yang kubawa hanya secercah rasa
seketika gumpalan pelita hadir bak kejora
menerangi alam batinku
tercipta dari keheningan sesaat
aku dan nafsu itu
berpacu mengejar tempat tertinggi
pada kasta-kasta iman menggoda diri
ialah menatap kerlip sang maha mega
di puncak fana terhenti
menyimak yang sejati
ataukah labirin menyesatkan di balik tirai ilusi
segala nafsu lelah terbakar sirna
di keheningan malam di wajah baitullah
indah kerlip cinta bertaburan cahaya
aku dan diriku
membunuh hasrat doa
tiada yang kupinta
selain ingin menatapnya saja
bahwa sesungguhnya Dia masih ada, memelukku
pada janji yang tak pernah diingkari-Nya
bahwa jiwa ini tak berjarak dengan Maha
aku haru,
dosa-dosa itu seakan berguguran
tubuh runtuh bergemetaran
pada terjawabnya asholatu daimullah
semoga itu pertanda ibadahku diterima-Nya
innallaha latukhliful mii'aad
dalam khyusu' sesaat
aku dan diriku lebur lenyap dan fana
fana menyentuh maha rasa
bersatu padu, yang ada hanya DIA
HR RoS
Jakarta, 27,05,2017
Rabu, 24 Mei 2017
Puisi religi
TUHAN MAHA NYATA
Romy Sastra II
Tuhan
tidak tidur
IA melihat segala yang nyata dan ghaib
tak pernah ngantuk
sekejap IA tertidur lebur yang ada
Tuhan
tak pernah makan,
sebab IA bukan makhluk
IA lapar dan haus ingin disapa
IA Khalik, sumber nutrisi lahir dan batin
Tuhan
IA nyata dan tersembunyi
berwujud tak berwarna
tersembunyi di pikiran yang dungu
padahal IA nyata ada di hadapan kita
Tuhan
IA bukan alam mayapada
bukan benda
bukan juga cahaya
IA Dzat Awas menyelimuti segala yang ada
Maka,
sadari rasa
IA bersemayam di jiwa-jiwa yang peka
HR RoS
Jkt,240517
Romy Sastra II
Tuhan
tidak tidur
IA melihat segala yang nyata dan ghaib
tak pernah ngantuk
sekejap IA tertidur lebur yang ada
Tuhan
tak pernah makan,
sebab IA bukan makhluk
IA lapar dan haus ingin disapa
IA Khalik, sumber nutrisi lahir dan batin
Tuhan
IA nyata dan tersembunyi
berwujud tak berwarna
tersembunyi di pikiran yang dungu
padahal IA nyata ada di hadapan kita
Tuhan
IA bukan alam mayapada
bukan benda
bukan juga cahaya
IA Dzat Awas menyelimuti segala yang ada
Maka,
sadari rasa
IA bersemayam di jiwa-jiwa yang peka
HR RoS
Jkt,240517
Selasa, 16 Mei 2017
Puisi Sufi
Kupinjam Alif-Lam-Mim-Mu Semalam
Karya Romy Sastra II
Satu aksara kalam pada tiga kalimah, 3 in 1
Alif al Hak
Lam utusan
Mim terangnya
Tersembunyi dan nyata
Hening tak berniat menuju destinasi dan sampai
Tak terabai seditik pun
Tak jauh Alif yang dituju, kenapa berpayah melaju
Kokoh berpadu bulat yakin pada tauhid
Langit tak acuh, pintunya terbuka lebar, selebar arasy terbentang.
Bumi selalu tertindih tak risih pasrah di bawah langit meski ia akan runtuh seperti meteor menghujani dengan bara-bara api
Matilah sekejap dari duniawi, tenggelamkan nafsu
Pada akar terjuntai kasih sayang dalam belaian rahman rahim Tuhan
Menetes kasih tak terbilang
Tampunglah dalam pengabdian iman
Ia terjauh dan terdekat sekali, tak berjarak
Matahari keras memandang mayapada, membakari
Matahati menerangi diri tak pernah padam, menyinari selagi hayat dikandung badan
Duduklah di tilam lusuh
Berwudu' batin sucikan hati tak berdebu
Di sana dan di sini Alif berada
Di pijar-pijar batin cinta bertahta
Nun dalam pikir terpikirkan akan Mim
Penantiannya selalu menunggu kedatangan kekasih
Menyemai rindu dalam kyusuk, fanakan tahalli
Berjalan bersama takhali, ciptakan tajalli
Maka bercumbulah ruh dengan Maha Ruh
Mabuk dalam hidangan anggur cinta asyik bertasbih
Dari pencapaian peluh mendaki gunung-gunung dan lembah
Hingga berlayar di samudera terindah
Terdampar di dermaga sunah
Berjalanlah dengan Alif Lam Mim di dunia fana dan batin
Supaya tak tergoda dengan fatamorgana
Jangan tersesat jalan pulang
Tak tergoda iman dengan rayuan
Moleknya si buah kuldi di mata jalang ilusi
Hindari...!!
HR RoS
Jakarta,16,05,2017
Karya Romy Sastra II
Satu aksara kalam pada tiga kalimah, 3 in 1
Alif al Hak
Lam utusan
Mim terangnya
Tersembunyi dan nyata
Hening tak berniat menuju destinasi dan sampai
Tak terabai seditik pun
Tak jauh Alif yang dituju, kenapa berpayah melaju
Kokoh berpadu bulat yakin pada tauhid
Langit tak acuh, pintunya terbuka lebar, selebar arasy terbentang.
Bumi selalu tertindih tak risih pasrah di bawah langit meski ia akan runtuh seperti meteor menghujani dengan bara-bara api
Matilah sekejap dari duniawi, tenggelamkan nafsu
Pada akar terjuntai kasih sayang dalam belaian rahman rahim Tuhan
Menetes kasih tak terbilang
Tampunglah dalam pengabdian iman
Ia terjauh dan terdekat sekali, tak berjarak
Matahari keras memandang mayapada, membakari
Matahati menerangi diri tak pernah padam, menyinari selagi hayat dikandung badan
Duduklah di tilam lusuh
Berwudu' batin sucikan hati tak berdebu
Di sana dan di sini Alif berada
Di pijar-pijar batin cinta bertahta
Nun dalam pikir terpikirkan akan Mim
Penantiannya selalu menunggu kedatangan kekasih
Menyemai rindu dalam kyusuk, fanakan tahalli
Berjalan bersama takhali, ciptakan tajalli
Maka bercumbulah ruh dengan Maha Ruh
Mabuk dalam hidangan anggur cinta asyik bertasbih
Dari pencapaian peluh mendaki gunung-gunung dan lembah
Hingga berlayar di samudera terindah
Terdampar di dermaga sunah
Berjalanlah dengan Alif Lam Mim di dunia fana dan batin
Supaya tak tergoda dengan fatamorgana
Jangan tersesat jalan pulang
Tak tergoda iman dengan rayuan
Moleknya si buah kuldi di mata jalang ilusi
Hindari...!!
HR RoS
Jakarta,16,05,2017
Minggu, 14 Mei 2017
Kwatrin
#Kwatrin
GELORA API
Romy Sastra II
Kobaran api di hati membakar lingga diri
Waspadai denging bersiul pada sami'
Gejolak mengintai di gerbang hari
Jangan bermain api, kan terbakar nanti
Membakar unggun menghasilkan abu
Tarian panas padam menyisakan debu
Harga diri mahal bertarung tak kenal malu
Seperti kurap-kurap anjing tak berbaju
Berkacalah pada jiwa
Di sana ada cahaya nan bermegah
Sauk tirta di telaga rasa
Berjalanlah diri dengan mutmainah
I'tibari sebatang lilin mencair, terbakar rela
Rela mencair lenyap tak bersisa
Demi menerangi kelam, meski temaram
Mahkota api tersenyum dalam diam
Adakala api sahabat berguna jika terkuasai
Duhai amarah, jangan berlebih-lebihan sekali
Sadari musuh tak jauh mengintai
Jika dibiarkan sengketa tersemai, konflik tertunai
Berkawanlah dengan api kecil tak membakari
Jadikan panasnya berkah menerangi
Untuk apa bermain air membanjiri
Hidup beriak bermandi tangis tersesali
Sahabat yang tenang adalah mutmainah
Sahabat yang tersesali, ia lawwamah
Hati-hatilah sahabat setengah baik, sufiah
Jauhi sahabat yang hina membakari, amarah
HR RoS
Jakarta,14,05,17
GELORA API
Romy Sastra II
Kobaran api di hati membakar lingga diri
Waspadai denging bersiul pada sami'
Gejolak mengintai di gerbang hari
Jangan bermain api, kan terbakar nanti
Membakar unggun menghasilkan abu
Tarian panas padam menyisakan debu
Harga diri mahal bertarung tak kenal malu
Seperti kurap-kurap anjing tak berbaju
Berkacalah pada jiwa
Di sana ada cahaya nan bermegah
Sauk tirta di telaga rasa
Berjalanlah diri dengan mutmainah
I'tibari sebatang lilin mencair, terbakar rela
Rela mencair lenyap tak bersisa
Demi menerangi kelam, meski temaram
Mahkota api tersenyum dalam diam
Adakala api sahabat berguna jika terkuasai
Duhai amarah, jangan berlebih-lebihan sekali
Sadari musuh tak jauh mengintai
Jika dibiarkan sengketa tersemai, konflik tertunai
Berkawanlah dengan api kecil tak membakari
Jadikan panasnya berkah menerangi
Untuk apa bermain air membanjiri
Hidup beriak bermandi tangis tersesali
Sahabat yang tenang adalah mutmainah
Sahabat yang tersesali, ia lawwamah
Hati-hatilah sahabat setengah baik, sufiah
Jauhi sahabat yang hina membakari, amarah
HR RoS
Jakarta,14,05,17
Sabtu, 13 Mei 2017
Quotes
#Quotes
Transformasikan api menjadi cahaya, jika tak ingin terbakar oleh hujatan. Sedangkan panas silih berganti datang memanasi, kenapa terbakar?!
Tengoklah ke dalam diri!
Ada telaga jiwa yang mampu menyirami gersangnya jejak-jejak kaki berlari. Sedangkan hujan lambat sekali datang, kemaraunya hingga bertahun-tahun, sabar dan berdoalah!
Semoga gersang tersirami.
HR RoS
Jkt, 13,05,17
Transformasikan api menjadi cahaya, jika tak ingin terbakar oleh hujatan. Sedangkan panas silih berganti datang memanasi, kenapa terbakar?!
Tengoklah ke dalam diri!
Ada telaga jiwa yang mampu menyirami gersangnya jejak-jejak kaki berlari. Sedangkan hujan lambat sekali datang, kemaraunya hingga bertahun-tahun, sabar dan berdoalah!
Semoga gersang tersirami.
HR RoS
Jkt, 13,05,17
Jumat, 12 Mei 2017
Kwatrin
#KWATRIN
KEMATIAN HAK YANG KURINDU
Karya Romy Sastra II
Bias-bias pikir terkikis, pesimis
Gontai langkah diri menghalau ironis
Menggapai cinta Ilahi, mestilah optimis
Buang keraguan di dada tempat sarangnya Iblis
Dalam religi, aku pamit
Pergi berkelana ke alam yang tak sempit
Berkuda jiwa berkomat-kamit
Terbang melayang menuju langit
Aku pergi jauh dari pergulatan dunia
Meninggalkan sermonial cinta, mencari Maha cinta
Kutempa kearifan jiwa pada nafsu hina
Pergi memamah cinta dalam fananya sukma
Diri mengejar asa terkadang tersesat, menyesatkan
Pada rayuan dunia, yang sejati terlupakan
Menangis sedih mengingat kematian
Sedangkan el-maut masih dalam perjalanan
Bila malam-malam rindu duduk sendiri
Mencari kematian diri yang hakiki
Langit pat gulipat kututup rapat-rapat
Jangan ada nada-nada puji yang tersekat
Kebisingan sami' menggema, bak lonceng berbunyi
Asyik bersunyi membubung arasy lafaz terhenti
Hati berbisik bashir kututupi
Matilah aku di dalam sunyi
Alam malam dalam kegelapan
Hening menempuh kematian
Kematian di dalam kehidupan
Sungguh malam itu lebih baik dari malam seribu bulan
Berjalan bak kilat ke dinding misykat
Kupapah jiwa bersama rasa, mengikat kuat
Menyatu bersama unsurku dalam syahadat
Larut melebur ke istananing Dzat
Tak kubawa makhota mewah
Hanya menggendong sebait megah
Bergandeng tangan dengan rasulullah
berputar mengelilingi Baitullah
Tak dapat pelita di tungku perapian rasa
Tak kutemukan cahaya-Nya di sang surya
Tak menerangi lilin di milad usia
Tak pesona ceria di glamournya pesta
Pesta itu anggun tak berpenonton riuh
Sorotan lampu panggung silau menipu ruh
Karena sang opera pertunjukan dungu
Tertipu pada rindu-rindu semu
Sesungguhnya, aku menemukan cinta
Di dalam kematian rasa
Mati dalam hayat, bukan kifayah
Lenyap ke dalam fardhu 'ain, fitrah
Perjalanan sufi berakhir suci
Sebuah pertemuan realita cinta yang dicari
khair di kasyaf hati, wilayah rahmat ilmu laduni
bersama-Mu, aku bahagia sekali
HR RoS
Jakarta, 12,05,2017
KEMATIAN HAK YANG KURINDU
Karya Romy Sastra II
Bias-bias pikir terkikis, pesimis
Gontai langkah diri menghalau ironis
Menggapai cinta Ilahi, mestilah optimis
Buang keraguan di dada tempat sarangnya Iblis
Dalam religi, aku pamit
Pergi berkelana ke alam yang tak sempit
Berkuda jiwa berkomat-kamit
Terbang melayang menuju langit
Aku pergi jauh dari pergulatan dunia
Meninggalkan sermonial cinta, mencari Maha cinta
Kutempa kearifan jiwa pada nafsu hina
Pergi memamah cinta dalam fananya sukma
Diri mengejar asa terkadang tersesat, menyesatkan
Pada rayuan dunia, yang sejati terlupakan
Menangis sedih mengingat kematian
Sedangkan el-maut masih dalam perjalanan
Bila malam-malam rindu duduk sendiri
Mencari kematian diri yang hakiki
Langit pat gulipat kututup rapat-rapat
Jangan ada nada-nada puji yang tersekat
Kebisingan sami' menggema, bak lonceng berbunyi
Asyik bersunyi membubung arasy lafaz terhenti
Hati berbisik bashir kututupi
Matilah aku di dalam sunyi
Alam malam dalam kegelapan
Hening menempuh kematian
Kematian di dalam kehidupan
Sungguh malam itu lebih baik dari malam seribu bulan
Berjalan bak kilat ke dinding misykat
Kupapah jiwa bersama rasa, mengikat kuat
Menyatu bersama unsurku dalam syahadat
Larut melebur ke istananing Dzat
Tak kubawa makhota mewah
Hanya menggendong sebait megah
Bergandeng tangan dengan rasulullah
berputar mengelilingi Baitullah
Tak dapat pelita di tungku perapian rasa
Tak kutemukan cahaya-Nya di sang surya
Tak menerangi lilin di milad usia
Tak pesona ceria di glamournya pesta
Pesta itu anggun tak berpenonton riuh
Sorotan lampu panggung silau menipu ruh
Karena sang opera pertunjukan dungu
Tertipu pada rindu-rindu semu
Sesungguhnya, aku menemukan cinta
Di dalam kematian rasa
Mati dalam hayat, bukan kifayah
Lenyap ke dalam fardhu 'ain, fitrah
Perjalanan sufi berakhir suci
Sebuah pertemuan realita cinta yang dicari
khair di kasyaf hati, wilayah rahmat ilmu laduni
bersama-Mu, aku bahagia sekali
HR RoS
Jakarta, 12,05,2017
Kamis, 11 Mei 2017
KA'BAH ITU TERNYATA WAJAHKU
Karya Romy Sastra
kuhamparkan sajadah cinta
berdiri menyebut nama-Mu
menatap ke dalam fana
khusyu' berjubah takbir
memanggil yang tak tampak
bersembunyi di dalam jiwa ini
kukhusyu'kan pikiran, memandu kalbu
menutup nafsu, membuka tirai-tirai itu
pasrahkan jiwa raga,
menghantarkan wejangan rindu
pada kifayah, ibadah sholat lima waktu
ruku' sujudkan tubuh,
tak jua temukan engkau cinta
telah aku serahkan segalanya
pada sholat fardhu,
berharap engkau menerimaku,
tetap saja masih membisu
kututup nafsu,
kubuka pintu kematian,
ka'bah itu ternyata wajahku
baitullah itu tubuhku
batu hitam adalah hatiku
dalam fana kematian di dalam hidup
ternyata jiwa ini
telah diselimuti dengan cahaya bermegah
Di sanalah aku menemukan baitul makmur menara iman itu
inilah sholat yang tak tersia-siakan
datang membawah cinta,
berharap kekasih mencintai juga
"ya Rabb"
mahabbahkanlah cinta-Mu
dalam kelemahan dan kebodohan diri
pelitakanlah jubah insani yang diridhoi
ampunilah segala dosa-dosaku
terimalah kehadiranku ini
meski aku datang membawa noda
siramilah dengan madu mahabbah-Mu
aku ingin belajar menjadi pencinta sejati
dalam kelemahan takwa,
semogalah ibadahku dicintai
HR RoS
Jakarta, 11092016
Karya Romy Sastra
kuhamparkan sajadah cinta
berdiri menyebut nama-Mu
menatap ke dalam fana
khusyu' berjubah takbir
memanggil yang tak tampak
bersembunyi di dalam jiwa ini
kukhusyu'kan pikiran, memandu kalbu
menutup nafsu, membuka tirai-tirai itu
pasrahkan jiwa raga,
menghantarkan wejangan rindu
pada kifayah, ibadah sholat lima waktu
ruku' sujudkan tubuh,
tak jua temukan engkau cinta
telah aku serahkan segalanya
pada sholat fardhu,
berharap engkau menerimaku,
tetap saja masih membisu
kututup nafsu,
kubuka pintu kematian,
ka'bah itu ternyata wajahku
baitullah itu tubuhku
batu hitam adalah hatiku
dalam fana kematian di dalam hidup
ternyata jiwa ini
telah diselimuti dengan cahaya bermegah
Di sanalah aku menemukan baitul makmur menara iman itu
inilah sholat yang tak tersia-siakan
datang membawah cinta,
berharap kekasih mencintai juga
"ya Rabb"
mahabbahkanlah cinta-Mu
dalam kelemahan dan kebodohan diri
pelitakanlah jubah insani yang diridhoi
ampunilah segala dosa-dosaku
terimalah kehadiranku ini
meski aku datang membawa noda
siramilah dengan madu mahabbah-Mu
aku ingin belajar menjadi pencinta sejati
dalam kelemahan takwa,
semogalah ibadahku dicintai
HR RoS
Jakarta, 11092016
Puisi Sufi
BAYU KAU NAPAS SYURGA ITU
Karya Romy Sastra
semilir ilir mengukir syair
tatapan syahdu
dendangkan kidung bisu
siulan bernada cinta dari liang rongga
melelapkan kenari yang lagi bernyanyi
bayu, kau napas syurga itu
tercipta dari rasa taman mutmainah
bila padang gersang
akan subur dari nada nada siul senja
bertakbir menatap langit
berkumpul sujud di rumah qulhu
napas syurga itu,
dari langit-langit rongga menyeru
Ya, Hu... ya, Hu ....
seruan detak jantung dan nadi
berkoloni memompa napas hari
memandu hayat pada puji itu
melipat dunia dari nafsu tercela
hening ke mata hati
melaju ke gunung thursina
di antara dua rongga goa
di ka'bahtullah
bayu, kau napas itu
bila mamiri hadir menyejukkan hati
terlena pada hembusan kekasih,
jikalau ribut pada kabut
kau merusak alam ini
bayu napas kehidupan yang melaju pergi
bertamu silih berganti
datang dan kembali
bayu kehidupan dikawal israil dan israfil
sang pencabut yang mengigil
hancur lulu lantak menyisakan debu,
ketika sang napas sudah sampai
di penghujung jalan itu
berakhir sudah opera cinta dunia
pada amanah yang tertitipkan di rumah dunia
HR RoS
Jakarta, 11-9-2016, 14,23
Karya Romy Sastra
semilir ilir mengukir syair
tatapan syahdu
dendangkan kidung bisu
siulan bernada cinta dari liang rongga
melelapkan kenari yang lagi bernyanyi
bayu, kau napas syurga itu
tercipta dari rasa taman mutmainah
bila padang gersang
akan subur dari nada nada siul senja
bertakbir menatap langit
berkumpul sujud di rumah qulhu
napas syurga itu,
dari langit-langit rongga menyeru
Ya, Hu... ya, Hu ....
seruan detak jantung dan nadi
berkoloni memompa napas hari
memandu hayat pada puji itu
melipat dunia dari nafsu tercela
hening ke mata hati
melaju ke gunung thursina
di antara dua rongga goa
di ka'bahtullah
bayu, kau napas itu
bila mamiri hadir menyejukkan hati
terlena pada hembusan kekasih,
jikalau ribut pada kabut
kau merusak alam ini
bayu napas kehidupan yang melaju pergi
bertamu silih berganti
datang dan kembali
bayu kehidupan dikawal israil dan israfil
sang pencabut yang mengigil
hancur lulu lantak menyisakan debu,
ketika sang napas sudah sampai
di penghujung jalan itu
berakhir sudah opera cinta dunia
pada amanah yang tertitipkan di rumah dunia
HR RoS
Jakarta, 11-9-2016, 14,23
Senin, 08 Mei 2017
Puisi bisu
SEPERTI BISU BERMIMPI
By Romy Sastra
lamunan diri dibisikkan tutur bisu
dengan aksara yang tak meng-eja
berbisik seperti dalam mimpi
melekat tutur ke daun telinga
tak jua tahu makna rasa
mengartikan sendiri dengan teliti
semakin tak mengerti yang di-eja
makna aksara bisu terpana dungu
kerdip kening semakin tak menentu
berlalu tinggalkan sepi
mengayuh biduk jauh melaju
menuju samudera biru
bercerita bersama ombak
dinyanyikan sejuta bahasa riak
tak terasa pendayung patah
telah rapuh digilas waktu
ke mana arah kan dituju, bingung sudah
pasrah pada takdir
berharap pelayaran kembali ke darat
akhirnya takdir menentukan keselamatan
sesampai di tepian
telah kembali ke pantai
jejaki pasir mengitari bibir pantai
gemulai langkah bercampur aduk
dengan galian ambai-ambai
jejak langkah tergerus riak malangnya nasib tak terurai
"Aahh ... berharap,
jejak kaki kokoh melukis tarian diri
berkicaunya sriti dan camar menari bernyanyi menghalau sepi
tak jua mampu mengusir sedih
"uuuhhh ...
ombak pantai kian melabuh gemuruh
jiwa yang telah resah semakin rusuh
berteriak sejadi-jadinya
sang kicauan akhirnya terbang menjauh
berlalu jauh dan jauuuhh
ke pulau yang tak berpenunggu
menggenggam setitik riak laut
kukecup
berharap dahagaku lebur
asin itu terasa madu
mencoba menanam bunga di jambangan
disiram rintik gerimis malam
pagi kulirik
bunga di jambangan hati
layu sebelum berkembang
"aahhh ... bunga di taman hati
tanah tandus gersang bermain hari
berguru kepada tegarnya ilalang
hidup di bumi kering terbakar api
ilalang tak tersiram embun
tetap siklus tunas muda berpucuk silih berganti
aku sang pemerhati mimpi
mencoba menterjemahkan arti
akankah mawar beduri
mampu mengikrar noktah
berkawan merpati merengkuh janji
pada larik puisi ini mengetuk rasa cinta
pada sesiapa yang merasa tak bisu ....
HR RoS
Jakarta, 23-10-2015, 09,02
By Romy Sastra
lamunan diri dibisikkan tutur bisu
dengan aksara yang tak meng-eja
berbisik seperti dalam mimpi
melekat tutur ke daun telinga
tak jua tahu makna rasa
mengartikan sendiri dengan teliti
semakin tak mengerti yang di-eja
makna aksara bisu terpana dungu
kerdip kening semakin tak menentu
berlalu tinggalkan sepi
mengayuh biduk jauh melaju
menuju samudera biru
bercerita bersama ombak
dinyanyikan sejuta bahasa riak
tak terasa pendayung patah
telah rapuh digilas waktu
ke mana arah kan dituju, bingung sudah
pasrah pada takdir
berharap pelayaran kembali ke darat
akhirnya takdir menentukan keselamatan
sesampai di tepian
telah kembali ke pantai
jejaki pasir mengitari bibir pantai
gemulai langkah bercampur aduk
dengan galian ambai-ambai
jejak langkah tergerus riak malangnya nasib tak terurai
"Aahh ... berharap,
jejak kaki kokoh melukis tarian diri
berkicaunya sriti dan camar menari bernyanyi menghalau sepi
tak jua mampu mengusir sedih
"uuuhhh ...
ombak pantai kian melabuh gemuruh
jiwa yang telah resah semakin rusuh
berteriak sejadi-jadinya
sang kicauan akhirnya terbang menjauh
berlalu jauh dan jauuuhh
ke pulau yang tak berpenunggu
menggenggam setitik riak laut
kukecup
berharap dahagaku lebur
asin itu terasa madu
mencoba menanam bunga di jambangan
disiram rintik gerimis malam
pagi kulirik
bunga di jambangan hati
layu sebelum berkembang
"aahhh ... bunga di taman hati
tanah tandus gersang bermain hari
berguru kepada tegarnya ilalang
hidup di bumi kering terbakar api
ilalang tak tersiram embun
tetap siklus tunas muda berpucuk silih berganti
aku sang pemerhati mimpi
mencoba menterjemahkan arti
akankah mawar beduri
mampu mengikrar noktah
berkawan merpati merengkuh janji
pada larik puisi ini mengetuk rasa cinta
pada sesiapa yang merasa tak bisu ....
HR RoS
Jakarta, 23-10-2015, 09,02
Langganan:
Postingan (Atom)