Jumat, 16 Juni 2017

Puisi Kolaborasi

BIAS KASIH
By : Puji Astuti and Romy Sastra

Di ujung malam lintang tenggelam
Terbangun dan tertegun risau
Seulas kulum desauan senyum
Menggoda hati mencuit rasa
Memberi isyarat cinta sejati

Aku yang tenggelam dalam pelukan
Menangis terisak di dadamu
Tertangkup selalu ber-ujung rindu

Bias kasih berpendar lirih
Di sekeliling cahaya lilin mendidih
Memantul bayangan di remang malam
Memapah hati yang sedang runyam

Kuserap jiwamu
Dan ambil sari cintamu
Kuletakkan di kisi hati
Yang tak dimengerti yang lain
Mencoba berdamai dengan tanya
Berharap putik berbuah

Hariku tetap bergulir pasrah
Bersama detik-detik waktu berlalu
Tak akan hilang sekejap pun
Melingkarkan rasa di dada cinta
Meski kasih bias tersisih
Aku yang realiti menagih janji
Mimpi semu lenyaplah menjauh pergi

JOGJA, JAKARTA 15 Juni 2012

Puisi mengenang wafatnya Bung Karno



KEMBANG TERAKHIR 21 JUNI
Romy Sastra

layu gugur dalam kebisuan
sang fajar di ujung senja redup
perisai negara nestapa dalam takdir usia
sakit, sakit aku ya Allah
lirih dari racun politik itu

empat setengah dekade telah berlalu
kau sang proklamator,
bertemu dengan sejawat Bung Hatta
duet kembang wijaya kusuma
haru mendesah hiba
tak terlerai air mata tertumpah

saksi terakhir putra bangsa kesakitan
seakan menadah derita rakyat di pundak sendiri
memang, perjuangan ini belumlah usai
di dada patriot-patriot generasi
berjuang, revolusi datang silih berganti
berjuang dari kebiri kapitalis kolonialis

history dalam pertemuan di wisma yaso
jadi tahanan politik
bertempat di bilik kumuh tak terurus
dalam genggaman mengharukan
berbisik lirih berbahasa Belanda
hoe gaat het met jou?

sejarah mencatat, putra sang fajar
menghembuskan napas terakhir
dalam suasana tahanan politik dikhianati hipokrit politik kiri dan kanan
politik itu ironis, homo homini lupus
manusia adalah srigala bagi manusia lainnya

pupus sudah setangkai kembang sejarah
kuncup redup tenggelam dimakan usia
dari kepal komandonya negeri ini merdeka
gugur dalam racun politik di masa tua
penyambung lidah rakyat berduka
dalam sejarah 21 Juni 1970
Bung Karno tiada

HR RoS
Jakarta, 21-6-2016, 16:06

Sabtu, 10 Juni 2017

Puisi Kolaborasi

#Puisi_Kolaborasi

MENANTI YANG TAK TERNANTI
By Azizah Pelangi Senja and Romy Sastra II

Sepanjang jalan
Bulan mengekoriku tiada henti
Terkadang rindu berlindung di balik kabut
Bersembunyi di balik awan

Namun, seketika terlihat lagi, merupa
Resah tatapan di minda tanya
Kulemparkan saja senyuman pada langit
Melambai bulan di perbatasan angan
Ternyata dunia ini bulat

Sayangnya, ia tenggelam silih berganti siang dan malam
Pasang dan surut kehidupan
Adalah lumrah pada tiap bergelar insan

"Ooh... bulan, ke mana bintang yang memagari galaxi
Nanti kucuri rindu dikau simpan di hati
Adakah kau sudi candra bernyanyi

"Ooh... candra, aku pergi saja
Nanti malam atau esok lusa kita ketemu lagi
Walau hanya kulihat dikau di langit tinggi
Tak mengapa, aku rela menantimu di sini
Di perbatasan hati yang cemas ini

Selangor Jakarta, 10,06,17

Jumat, 09 Juni 2017

Cerpen kolaborasi

#Repost
Cerpen_Kolaborasi

KETIKA CINTA TAK DIRESTUI
Penulis: Romy Sastra bersama
               Fe Chrizta

#1
Mentari telah meninggi, di balik pentilasi jendela. Perlahan kusibak tirai pembatas dingin dari siklus hawa tak menentu menerebos jiwa nan lara.
Sedangkan hati ini masih resah, menatap jalanan yang diguyuri hujan semalam.

Tok..tok...tok....

Terdengar suara ketukkan pintu
dari luar kamar, seperti ada yang mau membangunkanku.

"Hai... Ridwan, bangun! Hari sudah siang.
Apakah kamu gak kerja hari ini? Sahut suara itu.

Sepertinya ibuku memanggil ini, bisikku dalam hati.

"Yaa... ibu, aku sudah bangun ini,
ibu berlalu mendengar jawabanku yang telah bangun.

Lama tatapan kosong
kala memandang satu pigura di dinding kamar terpampang.

Ia Anetta, kekasihku.
Bergumam, bertanya dalam bisu?"

"Netta?"
Kenapa dikau hadir mengisi hidupku,
abang mencintaimu Netta
sedangkan akidah kita berbeda
diriku ingin memilikimu.
Tapi, "ahh... lamunan, kau usik jiwaku.

"Anetta, kita yang pernah mengikat janji tuk saling mencintai selamanya, apapun itu rintangan kita nanti, akan dihadapi berdua.
Bak merpati tak ingin ingkari janji sampai mati.
Setengah dekade jalinan cinta bersamamu, orang tuaku belum diberi tahu sama sekali tentang hubungan kita.
Laman yang membuat resah pagi itu.

Pagi telah merambat pergi, aku Ridwan masih saja di atas tilam lusuh berbantal jemari letih.
Dengan rasa malas tiba-tiba, aku putuskan tak masuk kerja hari ini.

Lalu, ibuku mengetuk pintu kedua kalinya.

Tok..tok...tok....

"Ridwan..., haii, nak?"
kenapa belum bangun juga kau ini?"

Tak sabar ibuku membuka pintu, kreekk...
memang pintu tak terkunci dari semalam.

"Walah... kau ini Ridwan!"
Ada apa sih kamu kok melamun begitu, hari sudah siang, apa kamu cuti hari ini?
tanya ibuku dengan nada penasaran.

(Aku masih saja diam menatap
foto Anetta di dinding kamarku)

Spontan ibuku mengambil bingkai yang terpampang di dinding, ia sudah lama potret itu menghias relung-relung asmara, di kala kurindu dengan Anetta.

*******

Coba kamu terangkan Ridwan!"
Ada apa dengan foto ini?

Kutatap wajah ibu dengan rasa pesimis dan malu.

"Ibu..., maafkan Ridwan, ya bu.

Foto itu adalah Anetta kekasihku bu,"
terus!" tanya ibu lagi.

Ia Anetta, sudah lama kupacari, Netta minta menikah denganku ibu.
"Lho... baguslah itu Ridwan, Nietta kan cantik, wanita karir lagi,
dan kalian saling mencintai kok.
Ibu juga tak sabar menimang cucu kesayangan dari pernikahan kalian nanti.

Ia ibu, tapi.
Tapi kenapa Ridwan?"

"Ibu... Anetta itu beragama Kristiani lho ibu.

"Walah... sahut ibu.

Tidakk, tidak Ridwan....

Ibu tidak merestui kamu menikah dengan Anetta itu. Dengar Ridwan!"
Apa kata dunia, jikalau ibu punya menantu orang Kristiani.
Mau ditarok di mana muka ibu, semua saudara mencelamu nanti Ridwan.

"Buu... yang menikah itu aku bu,
bukan mereka.

"Ia... ibu tahu itu Ridwan, tapi bagaimana pertanggungjawaban di akhirat kelak, sedangkan tuntunan agama kita jelas melarang menikah beda agama.

"Yaa... ibu, cinta itu butuh perjuangan serta pengorbanan.

Pengorbanan apa? Tidakk Ridwan.
Kamu tidak boleh menikah dengan Anetta itu, titik....

Ibuku keluar dari dalam kamar, membawa ekspresi gundah gulana.

Sedangkan aku larut dalam pikir, bak buah simalakama menjadi menu pagiku.

Kutuliskan sepucuk surat
kukirimkan pada Anetta.

Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang....

*******

#2
Sementara itu di tempat lain...
Anetta termangu..
Matanya menatap jauh ke arah jendela kantornya yang berhadapan dengan laut...
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang, atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"
Kutipan ayat yang disampaikan pendeta dalam khotbah ibadah minggu masih saja terngiang dalam telinganya. Hati Anetta benar-benar kacau balau.
"Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Aku bingung Tuhan.... di sisi lain aku begitu mencintai Ridwan... tapiiii....." batin Anetta.
Hanya butiran bening yang menetes di pelupuk mata Netta.
_________________
                      __________________
Suatu siang...
Sepucuk surat dari Ridwan datang.
Dengan tergesa-gesa Anetta pun segera membukanya.

 "Netta kusayang,
Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua abang sayang,
maafkan abang ya Netta, bila kita tak berjodoh.
Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti.
Sekali lagi, maafkan abang ya sayang.."

Anetta terhenyak ketika membaca surat dari Ridwan. Ada pemberontakan yang begitu hebat di hatinya.
"Tidak... jangan sekarang Bang.. aku belum siap bila harus berpisah dengan abang!" jerit Netta sambil meremas surat dari Ridwan.
Ia pun bergegas mencoba menghubungi Ridwan di handphonenya, namun sia-sia saja. Nomor milik Ridwan tidak aktif.
Akhirnya ia pun memutuskan mencari Ridwan ke Jakarta.

Bukan hal yang mudah untuk mencari alamat Ridwan di Jakarta. Namun dengan sedikit bantuan dari seorang teman, Anetta berhasil menemukan rumah Ridwan.
"Tok... tok... tok... permisi... "ucap Netta sambil mengetuk pintu rumah Ridwan.
"iya sebentar" sahut suara dari dalam.
Tidak berapa lama terdengar pintu dibuka, kreekkk....
"Netta???" ucap Ridwan terkejut. "Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
Ridwan setengah tidak percaya jika yang dihadapinya adalah Anetta, kekasih hatinya, lima tahun lamanya ia menjalin cinta.

"Eh.. anu.. itu.. eh... silakan duduk Netta" kata Ridwan sambil tergagap-gagap.
Anetta pun duduk berhadapan dengan Ridwan. Untuk sementara waktu mereka hanya saling terdiam. Hingga pertanyaan Ridwan pun memecah keheningan di antara mereka.
"Kapan kau sampai di Jakarta?" tanya Ridwan.
"Kemarin siang saya sampai dari Semarang abang, dengan kereta api cepat, dan saya menginap dulu di rumah Maria. Dia yang membantuku mencari alamat rumahmu abang. "Ucap Netta dengan rasa getir.
Lagi-lagi mereka berdua pun kembali terdiam.

"Netta membuka pembicaraan"

"Kenapa Bang? Tidak adakah jalan keluar yang terbaik buat kita? Apakah memang semua harus berakhir seperti ini?" Yang tertulis di sepucuk surat yang abang kirimkan, kata Anetta terisak.
"Entah Net... tapi mungkin ini yang terbaik." ujar Ridwan.
"Tapi Netta mencintai abang...." sanggah Anetta.
"Begitu pula dengan abang Netta... abang juga mencintaimu Netta. Tapi, perbedaan kita sungguh tidak bisa disatukan Net..." sahut Ridwan. "Apa kamu mau berpindah keyakinan demi aku supaya kita bersatu?" lanjutnya.
Anetta terdiam dan tenggelam dalam isak tangisnya.
"Jawab Net.. apa Netta mau?" desak Ridwan. "Maaf bang... Netta tidak bisa membohongi kata hati Netta... Netta tidak bisa ikut keyakinan yang abang anut..." ucap Anetta.
"Begitu pula dengan abang Net... bila kamu mengajukan pertanyaan yang sama, abang pun tidak sanggup untuk ikut keyakinan yang kamu anut..." sahut Ridwan.
Dalam percakapan Netta dan Ridwan kekasihnya itu.

"Dan lagi... apakah kita mau menyakiti hati orangtua kita bila bersikukuh meneruskan hubungan ini?"
Anetta menggeleng.
"Bagaimana pula dengan anak-anak kita kelak? Tidak mungkin dalam satu kapal akan dikendalikan dua nahkoda dan akidah... kapal tersebut tentu akan kesulitan menemukan arah dan tujuannya... Kamu paham kan Net?" ucap Ridwan.
Anetta pun menyeka air matanya.
"Netta paham bang... Maaf bila Netta terlalu egois ingin memaksakan hubungan ini...

Dengan hati yang kecewa, gayung tak bersambut, bak pucuk dicinta ulam layu sudah.

"Oya, bang, Netta pamit pulang aja ke Semarang bang... Netta ikhlas... Netta legowo dengan keputusan yang abang ambil... Semoga abang menemukan wanita solehah untuk mendampingi hidup abang... doa Netta menyertai abang. Dan Netta tidak pernah menyesal jatuh cinta pada bang Ridwan" ucap Netta sambil tersenyum.
"Abang pun juga begitu Net.. Abang tidak pernah menyesal jatuh cinta pada Netta dan abang doakan Netta pun segera menemukan pendamping yang lebih baik dari abang" jawab Ridwan.

Akhirnya Anetta pulang pada hari itu, diantar ke stasiun kereta oleh Ridwan menuju Semarang.
Dalam perpisahan yang menyedihkan sepasang kekasih kisah yang tak sampai mereka berdua melambaikan tangan dengan linangan air mata yang membuncah di sela-sela jendela kereta, kereta yang perlahan-lahan melaju, hingga kencang hilang di tikungan di balik gedung-gedung kota Jakarta, hilang sebagai tanda pemisah. Telah berlalunya sebuah cerita cinta dibawa angin resah dalam history cinta yang tak direstui oleh orang tua.

(Hingga Ridwan berpisah secara baik-baik dengan kekasihnya Anetta)

Selesai

HR RoS and Fe
Jakarta, Semarang, 24/01/2017

Senin, 05 Juni 2017

Cerpen religi

#Cerpen

SI DUNGU DAN SABDA TUAN GURU
Romy Sastra II

 __untuk menempuh ujung jalan

haruslah melalui pangkal jalan

pangkal jalan yang terdekat itu

adalah diri sendiri__

Di sudut ruang di belakang pintu
santri dungu belajar bodoh.
Saking dungunya, menatap sang tuan guru.... Ia malu tertunduk kaku seakan menatap bisu, entah apa yang akan diperbuatnya tak tahu. Hanya sesekali mengangkat kepala, melirik sekeliling deretan duduk santri,
siapa-siapa saja yang hadir datang memetik hikmah di malam-malam indah di gubuk sepuh yang tak dikenal oleh kalangan santri modern.

Seakan sepuh ini, tak kelihatan berdiri di tempat yang terang,
dilengahkan begitu saja oleh glamournya dunia.
Anehnya, aksara jiwa yang di-eja-wantahkan sang guru,
sang dungu nyambung dengan bimbingan rasa yang diasah melalui kedisplinan olah batin sang santri patuh.

Sang dungu belajar bodoh,
dungu tak mengerti sama sekali
jalan-jalan santri di kitab fikih.

Duduk diam santun menyulam bisu
hening memahami pituduh meneliti makna-makna jiwa, dan merenungi sejarah kolosal agama
pada jejak-jejak wali di peradaban tanah Jawa serta nusantara, bahkan kisah para wali di dunia ke-islaman itu sendiri, yang dikupas di setiap malam purnama.
Sang dungu, asyik bersandar di tiang kerlipnya lampu-lampu menara di ruang sukma, seperti kejora bertaburan di arasy tertinggi, padahal hanya di titik batin ia bersembunyi.

Dungu adalah aku, si murid yang patuh. Hanyalah patuh pada perintah sabda-sabda cinta, menerangkan tentang kemulian akhlak Rasulullah dan lelaku para wali-wali Allah. Wejangan sang guru yang paripurna
seakan jiwa ini terbang melayang ke bait-bait Baithullah.

"Wahai... murid-muridku yang dalam perjalanan menuju cahaya ruh yang mulia. Sahut sang guru pada pertanyaan hakikat kepada santri yang memahami siloka guru yang mengandung makna.

"Di mana berdirinya Alif di dalam dirimu wahai santriku?
Para sang murid terdiam, selepas sang guru memberi isyarat pertanyaan yang sulit terjawab bagi santri yang belum tahu jalan kematian fardu 'ain.

Sedangkan sang guru memerhati sangat gelagat si dungu, tentang kebodohannya, dari pertanyaan tuan guru itu.

Ia dungu, tetap diam dan terpejam seakan menggali sendiri makna pertanyaan baru saja terlintas dari gurunya.

Sang guru, tak ada rafalan mantera dan kalimat sakti yang dititipkannya sebagai perisai diri kepada para murid-muridnya.
Hanya nasehat-nasehat dan cerita kolosal yang guru kiaskan melalui duduk yang rapi di hadapan santri-santrinya itu.

Sembilan puluh enam malam purnama, dungu bertapa di gua ketawadu'an sebagai santri muda di hadapan guru. Tak pernah sama sekali dititipkan amalan dan diperintahkan melafaz kalam,
dan membungkus rafalan di bawah pulang kepada peraduan hari-harinya. Si dungu tak merasa menadah bingkisan uluran hikmah dari setiap pertemuan sembilan puluh enam purnama berjalan.
Melainkan hanya pasrah pada kebodohannya. Bahwa ia si dungu memasrahkan saja perjalanan santri jiwanya pada kehendak Ilahi, di mana saja ia berada.

Pasrah pada takdir, ruh "DIN" yang ia yakini, sesungguhnya Alif berdiri pada rasa batin yang jujur tak ternoda barang sedikitpun.
Alif berdiri di Ka'bahtullah, dititipkan sang Khalik dari azali berdiri, hingga pada pemberhentian napas terhenti di ujung sesak pada rongga dicabut misteri.

Aku sang dungu, percaya pada keyakinan tutur sang guru. Ketika telepati sang guru memadah sukma
menitip pesan pada telik sandi sang dungu, di ruang-ruang batin nan sunyi. Si dungu tersenyum menerima rentetan jawaban dari aksara batin sang guru pada kedunguannya tentang duniawi. Ia selalu diam dan menyimak saja tutur-tutur rasa yang tak berwujud tuk dimengerti di antara ilmu jiwa dan cinta, asyik berkomunikasi memaparkan rahsa rahasia batin antara sang guru dan si dungu.

Pada malam kesekiannya, sang guru menjabarkan kedudukan si dungu. "Ketika kau dungu, kau yang selalu setia memandu perguruan ini.
aku akan menyambangimu setiap hari, dan selalu ada di sampingmu meski kau berkelana ke ujung dunia, tersadar dikau atau pun tidak, aku selalu menuntunmu. Dan kau berada di lobang semut sempit sekalipun, aku mengikuti langkahmu ke mana pun kau pergi.

Dan itu terbukti,
ketika sang dungu menanyakan perihal tabir tebal tertutup gaib silsilah keturunan dari azali hingga peradaban sesudah ia tiada nanti.
Bahkan menjabarkan history dunia seiring konflik zaman di mayapada ini.

Ia sang guru,
memaparkan sangat tepat sekali.
Dungu semakin bodoh pada linuwih batin sang guru sepuh.

Santri mengejar bodoh mengikuti jejak sufi
berjubah cinta yang rela.
Mewaspadai noda-noda jas roh memandu langkah selama sembilan puluh enam purnama, bertapa di malam-malam buta, dengan segelas jamuan kopi penahan kantuk, hingga fajar menyingsing di balik jendela rumah tua.

Pada masa keniscayaan hari, selama mondok di gubuk reyot guru sepuh. Si dungu mengikuti jalan realiti kehidupan telah berbuah prediket bodoh. Di perantara nyata dan gaib, tanpa berkomat-kamit titah itu tersingkap. Si dungu diuji dengan sebuah opera kakek si peminta-minta. Si dungu semakin awas lan waspada akan sebuah ujian dari opera titik akhir pengabdian sang murid yang setia akan titah pituduh aksara tutur sang guru, selama sembilan puluh enam purnama menempa jalan-jalan sunah.

 "Aahhh... senyum sang dungu semakin merekah pada telik sandi rahasia sepuh. Matanya semakin mendelik, rasa batinnya semakin halus, budinya semakin dipekerti, jiwanya semakin cinta,
ruhaninya semakin diasah,
jeli pada telik sandi rahsa sebagai santri. Yang ia hanya mengejar prediket bodoh, ya bodoh, pada kalimat; lahaula walakuata illa billahil aliyil adzim.

Memahami ujian jangan sampai lupa pada kegagalan insan yang sempurna.

Antara tutur tinular aksara sang sabda tuan guru dan murid yang didamba.
Ia adalah rahasia menyambut amanah, di sanalah estapet tercurah.

HR RoS
Dinukilkan dalam history
HR Romy Sastra
Jakarta, 26-5-2016. 16:56.

Sabtu, 03 Juni 2017

Prosa

#Repost

"Prosa secangkir kopi untuk negeriku"

KETIKA MASA PULANG SEKOLAH
AKU DAN IKAN KECIL ITU
Oleh Romy Sastra II

Nagari Kubang Bayang
Pesisir Selatan, Sumatera Barat
memanggilku pulang, masa lebaran tahun kemaren, satu tahun telah berlalu. Kini, ia ranah itu seakan memanggil kehadiranku kembali.

Sinopsis kisah di sungai itu,
ia tetesan dari sumber berbagai mata air dari gunung, menyatu menjadi anak-anak sungai kecil. Riaknya aliran menjadi induk sungai "BATANG BAYANG" dari hulu mengalir ke hilir berlabuh ke muara.
Catatan harian, masa kecilku semasa pulang sekolah.
Aku terjun ke sungai bersama kawan-kawan setiap hari selalu kami lakukan.
Riang gembira berenang di sekitar air tenang di tempat pemandian,
air Batang Bayang membelah negeri-negeri kami sampai ke samudera.

Sungai itu, saksi sejarah alam untuk keberlangsungan berbagi kehidupan dan biota dari rahmat yang maha kuasa.
Menitipkan pesan pada kearifan alam untuk peradaban,
demi lestarinya regenerasi kehidupan negeri-negeri kami
yang terus berlanjut hingga kiamat nanti.

Kenapa aku tulis cerita secangkir kopi?"
Kukirimkan ke persada maya. Testimoni cerita masa kecilku,  untuk membangunkan anak-anak negeri yang telah tertidur mengenang masa kejayaan dulu.
Negeri kami dilimpahkan anugerah yang banyak dari sang pencipta alam.
Salah satunya adalah ikan-ikan yang berenang bersamaku ketika aku mandi di siang hari.
Segerombolan ikan berbondong-bondong mencubit kulitku, seakan-akan anak ikan itu mengajak bermain petak umpet riang gembira.
Menitip pesan pada cerianya ia ke rasaku, bagaimana melanjutkan masa depannya nanti, biar ia tak punah.
Dialog rasa yang menyentakkan kearifan diri, akan kehidupan biota di telaga sungai yang kuselami.

Masa kecil itu,
adalah masa terindah yang tak terlupakan hingga kini,
dulu aku berenang di suatu lubuk di sungai itu. Ikan-ikan kecil hingga sedang menyambut kedatanganku. Aku berenang di sela bebatuan, menyaksikan ikan-ikan itu dengan kaca mata renang yang aku buat sendiri.
Ikan-ikan itu seakan berbisik pada aksara mulutnya yang lucu, dengan berbahasa batin di lorong bebatuan di dalam sungai ia menyapa?"

"Haaiii ... Sastra? Selamat siang ya!"
Sudahkah kau pulang sekolah hari ini?"
"Aku menjawab sapaannya dengan bahasa batin juga serta dengan tatapan mesra.

"Ooohhh ... lirihku dalam hati,  indahnya sayap-sayapmu wahai ikan yang berenang, dan siripmu unik berkilauan di badanmu wahai ikan, kau adalah sahabat biota sungaiku.

"Ooo... ya Sas?
Ajari aku tentang makna cinta dan kasih sayang manusia terhadap kami di sungai ini, biar kami tak punah di kemudian hari nanti.
Padahal aku diciptakan untuk memenuhi konsumsi hidupmu sastra dan hajat hidup orang banyak juga.

"Aahhhh,
aku hanya diam beribu bahasa bahwa sang maha jiwa menitipkan pesan pada kelestarian alam di negeri kami.

********

Seperti biasa ketika hari mulai senja, aku terbiasa memancing di tempat pemandian itu,
menunggu pancingku mulai menyapa, dengan getaran-getaran kecil, seakan pertanda rezeki mulai ada.
Aku sempatkan menatap kunang-kunang malam menerangiku,
dengan sebuah pancing bermata kail dan secuil umpan untuk kularung ke dalam lubuk-lubuk ikan itu.
Berharap ada rezekiku pada senja ini yang akan aku bawa pulang untuk dimasak di rumah nanti.

Di keremangan malam,
aku duduk di bebatuan beberapa menit sambil menyambut sang rembulan menampakkan wajahnya di balik awan.
Tak berapa lama, umpanku di sambar ikan, aku haru harap-harap cemas semoga aku bisa mendapatkan ikan ini. Dan ternyata ikan itu memang aku dapatkan, ia menggeliatkan tubuhnya seakan ingin melepaskan diri, padahal bisiknya tadi siang, ia telah rela tubuhnya digoreng untuk dimakan, memang ia diciptakan untuk sebuah kehidupan juga.

Dekade demi dekade telah berlalu dan pada tahun yang lalu aku ke sana,
di tempat kenangan masa kecilku dulu bermandian.
Kawan-kawan kecil dulu,
aku sambangi mereka satu persatu mengajaknya ke tepian kenangan senja itu.  
"Aku bertanya pada mereka?!
kenapa rona sungai ini tak seindah dulu kawan?" dan ke mana ikan-ikan kecil sebagai sahabat kita dulu tak tampak lagi kini?
Lantas mereka menjawab dengan penuh semangat, dan sedikit berbahasa diplomatis. "Ya, Sastra. Bahwa tepian mandi kita dulu ini sudah tergerus banjir bandang berkali-kali dan ikan yang berenang bersamamu dulu telah punah sudah oleh prilaku segelintir orang kampung menyentrum bahkan meracuninya juga.

"Waahhh... ironis sekali, lirihku.

Ketahuilah Sastra, mereka yang menyentrum dan meracuni biota sungai itu adalah saudara-saudaramu juga lo sastra.
Ia adalah Jonal Pendra kakak kandungmu salah satunya.
Lantas aku kaget dan tertawa sejadi-jadinya, hahahaha... karena geli,
yang aku maki ya saudaraku sendiri.
Sayangnya kemaren aku pulang, dia tak sempat aku temui.
Ingin aku melarangnya dengan bahasa indah, bahwa membunuh ikan tanpa melindungi anak-anaknya kembali adalah kenistaan yang sempurna, dan biota sungai itu sejarah kita juga.

Bertanya pada goresan maya di lembaran ini, menitip pesan kepada Pak Wali Nagari pada kesan tirani sifat di kampung yang tak mau dimengerti akan lestarinya sungai itu kembali.

Dulu, masa kejayaan periode kepemimpinan daerah, ada aturan menjaga kelestarian sungai kita secara bersama-sama.
Bahkan rekomendasinya hingga ke badan hukum dengan peraturan ke pihak yang berwajib, dan aturan hukum adat tentang konsekwensi prilaku anak negeri itu sendiri.

Kini, dengan secercah harap
tertitip doa dan salam kepada aparat setempat di Negeri Kubang dan Bayang sekitarnya.
Tolong bangun kembali sistem melestarikan perikanan di sungai itu, biar ikon kehidupan sungai tak habis ditelan masa.

Kita semua berharap, kearifan dulu lestari kembali.

Siapa,
dan mengapa sebegitu punahnya regenerasi ikan itu di negeri sendiri.
"Aahhhh ....

HR RoS
Jakarta, 23-07-2016, 19:27