Senin, 05 Juni 2017

Cerpen religi

#Cerpen

SI DUNGU DAN SABDA TUAN GURU
Romy Sastra II

 __untuk menempuh ujung jalan

haruslah melalui pangkal jalan

pangkal jalan yang terdekat itu

adalah diri sendiri__

Di sudut ruang di belakang pintu
santri dungu belajar bodoh.
Saking dungunya, menatap sang tuan guru.... Ia malu tertunduk kaku seakan menatap bisu, entah apa yang akan diperbuatnya tak tahu. Hanya sesekali mengangkat kepala, melirik sekeliling deretan duduk santri,
siapa-siapa saja yang hadir datang memetik hikmah di malam-malam indah di gubuk sepuh yang tak dikenal oleh kalangan santri modern.

Seakan sepuh ini, tak kelihatan berdiri di tempat yang terang,
dilengahkan begitu saja oleh glamournya dunia.
Anehnya, aksara jiwa yang di-eja-wantahkan sang guru,
sang dungu nyambung dengan bimbingan rasa yang diasah melalui kedisplinan olah batin sang santri patuh.

Sang dungu belajar bodoh,
dungu tak mengerti sama sekali
jalan-jalan santri di kitab fikih.

Duduk diam santun menyulam bisu
hening memahami pituduh meneliti makna-makna jiwa, dan merenungi sejarah kolosal agama
pada jejak-jejak wali di peradaban tanah Jawa serta nusantara, bahkan kisah para wali di dunia ke-islaman itu sendiri, yang dikupas di setiap malam purnama.
Sang dungu, asyik bersandar di tiang kerlipnya lampu-lampu menara di ruang sukma, seperti kejora bertaburan di arasy tertinggi, padahal hanya di titik batin ia bersembunyi.

Dungu adalah aku, si murid yang patuh. Hanyalah patuh pada perintah sabda-sabda cinta, menerangkan tentang kemulian akhlak Rasulullah dan lelaku para wali-wali Allah. Wejangan sang guru yang paripurna
seakan jiwa ini terbang melayang ke bait-bait Baithullah.

"Wahai... murid-muridku yang dalam perjalanan menuju cahaya ruh yang mulia. Sahut sang guru pada pertanyaan hakikat kepada santri yang memahami siloka guru yang mengandung makna.

"Di mana berdirinya Alif di dalam dirimu wahai santriku?
Para sang murid terdiam, selepas sang guru memberi isyarat pertanyaan yang sulit terjawab bagi santri yang belum tahu jalan kematian fardu 'ain.

Sedangkan sang guru memerhati sangat gelagat si dungu, tentang kebodohannya, dari pertanyaan tuan guru itu.

Ia dungu, tetap diam dan terpejam seakan menggali sendiri makna pertanyaan baru saja terlintas dari gurunya.

Sang guru, tak ada rafalan mantera dan kalimat sakti yang dititipkannya sebagai perisai diri kepada para murid-muridnya.
Hanya nasehat-nasehat dan cerita kolosal yang guru kiaskan melalui duduk yang rapi di hadapan santri-santrinya itu.

Sembilan puluh enam malam purnama, dungu bertapa di gua ketawadu'an sebagai santri muda di hadapan guru. Tak pernah sama sekali dititipkan amalan dan diperintahkan melafaz kalam,
dan membungkus rafalan di bawah pulang kepada peraduan hari-harinya. Si dungu tak merasa menadah bingkisan uluran hikmah dari setiap pertemuan sembilan puluh enam purnama berjalan.
Melainkan hanya pasrah pada kebodohannya. Bahwa ia si dungu memasrahkan saja perjalanan santri jiwanya pada kehendak Ilahi, di mana saja ia berada.

Pasrah pada takdir, ruh "DIN" yang ia yakini, sesungguhnya Alif berdiri pada rasa batin yang jujur tak ternoda barang sedikitpun.
Alif berdiri di Ka'bahtullah, dititipkan sang Khalik dari azali berdiri, hingga pada pemberhentian napas terhenti di ujung sesak pada rongga dicabut misteri.

Aku sang dungu, percaya pada keyakinan tutur sang guru. Ketika telepati sang guru memadah sukma
menitip pesan pada telik sandi sang dungu, di ruang-ruang batin nan sunyi. Si dungu tersenyum menerima rentetan jawaban dari aksara batin sang guru pada kedunguannya tentang duniawi. Ia selalu diam dan menyimak saja tutur-tutur rasa yang tak berwujud tuk dimengerti di antara ilmu jiwa dan cinta, asyik berkomunikasi memaparkan rahsa rahasia batin antara sang guru dan si dungu.

Pada malam kesekiannya, sang guru menjabarkan kedudukan si dungu. "Ketika kau dungu, kau yang selalu setia memandu perguruan ini.
aku akan menyambangimu setiap hari, dan selalu ada di sampingmu meski kau berkelana ke ujung dunia, tersadar dikau atau pun tidak, aku selalu menuntunmu. Dan kau berada di lobang semut sempit sekalipun, aku mengikuti langkahmu ke mana pun kau pergi.

Dan itu terbukti,
ketika sang dungu menanyakan perihal tabir tebal tertutup gaib silsilah keturunan dari azali hingga peradaban sesudah ia tiada nanti.
Bahkan menjabarkan history dunia seiring konflik zaman di mayapada ini.

Ia sang guru,
memaparkan sangat tepat sekali.
Dungu semakin bodoh pada linuwih batin sang guru sepuh.

Santri mengejar bodoh mengikuti jejak sufi
berjubah cinta yang rela.
Mewaspadai noda-noda jas roh memandu langkah selama sembilan puluh enam purnama, bertapa di malam-malam buta, dengan segelas jamuan kopi penahan kantuk, hingga fajar menyingsing di balik jendela rumah tua.

Pada masa keniscayaan hari, selama mondok di gubuk reyot guru sepuh. Si dungu mengikuti jalan realiti kehidupan telah berbuah prediket bodoh. Di perantara nyata dan gaib, tanpa berkomat-kamit titah itu tersingkap. Si dungu diuji dengan sebuah opera kakek si peminta-minta. Si dungu semakin awas lan waspada akan sebuah ujian dari opera titik akhir pengabdian sang murid yang setia akan titah pituduh aksara tutur sang guru, selama sembilan puluh enam purnama menempa jalan-jalan sunah.

 "Aahhh... senyum sang dungu semakin merekah pada telik sandi rahasia sepuh. Matanya semakin mendelik, rasa batinnya semakin halus, budinya semakin dipekerti, jiwanya semakin cinta,
ruhaninya semakin diasah,
jeli pada telik sandi rahsa sebagai santri. Yang ia hanya mengejar prediket bodoh, ya bodoh, pada kalimat; lahaula walakuata illa billahil aliyil adzim.

Memahami ujian jangan sampai lupa pada kegagalan insan yang sempurna.

Antara tutur tinular aksara sang sabda tuan guru dan murid yang didamba.
Ia adalah rahasia menyambut amanah, di sanalah estapet tercurah.

HR RoS
Dinukilkan dalam history
HR Romy Sastra
Jakarta, 26-5-2016. 16:56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar