TASBIH CINTAKU LARA
Romy Sastra II
malam-malam indah memandu tasbih
dalam mihrab cinta
bersanding dengan bayangan diri
hakikat wujud nafsu bertamu
larung saja ke dalam doa
dalam gelap mencari cinta
dalam terang bercumbu mesra
tasbih cinta bergetar di segala nadi
bergetar ke dinding misykat hati
terlena, megahnya payet-payet istana Ilahi
tengelam ke telaga cahaya
telaga warna-warni nafsu diri
menggoda perjalanan sufi
menuju destinasi hakiki
kibaskan saja warna-warna pelangi
ya Rabbi,
hamba bertamu ke pintu istana-Mu
Engkau tutup apakah akan dibuka pintunya
hamba gelisah dihimpit tanya
ohh, maha cintaku
jangan Engkau palingkan wajah-Mu
aku menunduk malu menghitung dosa
ampunilah hamba ya Rabbi
dari segala dosa yang kulakukan
tersenyumlah walau sekejap saja
meski dosaku seperti buih di lautan
wahai sang pemilik malam
malam ini tak disambut tasbihku
izinkan umurku ada esoknya
tuk mengetuk mihrab-Mu kembali
bertamu di malam-malam berikutnya
berharap,
tampakkan wajah-Mu wahai kekasih
walau sekejap saja, tak lama menatap-Mu
sebab, hadir-Mu membakar matahari
menyalakan mata hati
jangan biarkan tasbih cintaku lara
merugi sujud tak diterima
karena wajah-Mu tak merupa
wajah nan teragung tiada duanya
ia adalah awas bukan cahaya
HR RoS
Jakarta, 30,04,17
Minggu, 30 April 2017
Puisi religi
#Repost
AWAS ITU
by Romy Sastra II
tak berujung
tak berawal
tak berakhir
tak bertempat
tak berbentuk
ia ada dan nyata ada
tak terlihat tapi termusyahadah
awas itu seperti bias teraba tak tersentuh
bukan angin
bening bak siluet embun
tak berwujud
bukan warna
ia, awas itu
menyelimuti seantero yang ada
dan tiada sekalipun ia ada
suci, teramat suci
ia adalah awas dzat laisa kamiselihi
maha kesucian itu
HR RoS
Jakarta, 05092016
AWAS ITU
by Romy Sastra II
tak berujung
tak berawal
tak berakhir
tak bertempat
tak berbentuk
ia ada dan nyata ada
tak terlihat tapi termusyahadah
awas itu seperti bias teraba tak tersentuh
bukan angin
bening bak siluet embun
tak berwujud
bukan warna
ia, awas itu
menyelimuti seantero yang ada
dan tiada sekalipun ia ada
suci, teramat suci
ia adalah awas dzat laisa kamiselihi
maha kesucian itu
HR RoS
Jakarta, 05092016
Puisi Ibu
#Repost_Puisi
AKU RINDU IBUKU
Karya: Romy Sastra
SUSUN SEPULUH JARI DI ATAS KEPALA
SEBAK RONGGA DI DADA MENGIRIS RASA
TERPAKU BISU RINDU PADA IBU
KUPETIK BUNGA SENJA
BIANGLALA KE DADA CINTA
ALIRAN JIWA MENUJU MUARA RINDU
TERINGAT MASA KECIL
LENA DI PANGKUANMU OH, IBU
DUA DEKADE MENGHILANG
DARI BELAIAN KASIH SAYANG
KINI,
KERETAKU HAMPIR SAMPAI KE STASIUN
LAJUNYA MASIH LURUS
PADA REL YANG TERBENTANG
BERHARAP SAMPAI DI STASIUN ITU
DUDUK BERSUJUD DI TELAPAK KAKIMU, IBU
RINDUKU SEPANJANG ANGAN
RINDUMU SEPANJANG JALAN
ANANDA MENYAPA DARI RANAH MAYA
SEHATKAH DIRIMU DI SANA OH, BUNDA
AKU DI TANAH JAWA
BUNDA DI TANAH SUMATERA
BANGUNLAH DARI DUDUK PILU ITU
JANGAN UNDANG BULIR BENING DI MATAKU
ANANDA SEHAT SELALU DI SINI
BEGITU JUGA HENDAKNYA IBUNDA DI SANA
TUNGGULAH AKU KEMBALI
TUK BAWA SEBONGKAH SENYUM
KE DALAM DEKAPANMU NANTI
HR RoS
Jakarta, 07092016
AKU RINDU IBUKU
Karya: Romy Sastra
SUSUN SEPULUH JARI DI ATAS KEPALA
SEBAK RONGGA DI DADA MENGIRIS RASA
TERPAKU BISU RINDU PADA IBU
KUPETIK BUNGA SENJA
BIANGLALA KE DADA CINTA
ALIRAN JIWA MENUJU MUARA RINDU
TERINGAT MASA KECIL
LENA DI PANGKUANMU OH, IBU
DUA DEKADE MENGHILANG
DARI BELAIAN KASIH SAYANG
KINI,
KERETAKU HAMPIR SAMPAI KE STASIUN
LAJUNYA MASIH LURUS
PADA REL YANG TERBENTANG
BERHARAP SAMPAI DI STASIUN ITU
DUDUK BERSUJUD DI TELAPAK KAKIMU, IBU
RINDUKU SEPANJANG ANGAN
RINDUMU SEPANJANG JALAN
ANANDA MENYAPA DARI RANAH MAYA
SEHATKAH DIRIMU DI SANA OH, BUNDA
AKU DI TANAH JAWA
BUNDA DI TANAH SUMATERA
BANGUNLAH DARI DUDUK PILU ITU
JANGAN UNDANG BULIR BENING DI MATAKU
ANANDA SEHAT SELALU DI SINI
BEGITU JUGA HENDAKNYA IBUNDA DI SANA
TUNGGULAH AKU KEMBALI
TUK BAWA SEBONGKAH SENYUM
KE DALAM DEKAPANMU NANTI
HR RoS
Jakarta, 07092016
Sajaklara
sajaklara
MUJAHADDAH CINTA BERKABUT
Romy Sastra II
jalan terjal berliku dan berkabut
tertatih di jejak mendaki
mengiringi langkah kaki
tapaki pasir kerikil berduri terus dilalui
dahaga yang parah
pemberhentian itu tak jua ditemui
brrrrr ...
pagi ini dingin sekali
mendung menyapa hari
bianglala malu bersembunyi
ronanya berhias kabut
dari petualangan cinta berselimut mimpi
penantian usai
janji palsu melupakan memori
memori telah menjadi mimpi-mimpi sunyi
bunga bahagia yang didamba-dambakan
layu sudah dikebiri
mawar cinta berguguran
terhempas lara di pertengahan jalan
ahh... lebih baik memilih
memetik melati putih
suci mewangi di dalam hati
jadikan aroma iman
pengikat tongkat menuju mihrab Ilahi Rabbi
payahnya perjalanan
seperti musafir di savana lara
berbalik arah tak mungkin kulakukan
arah pulang pun tersesat jalan
degup jantung meletup
denyut nadi kian terjepit
lara asa cinta semakin terjajah
membuat nyali ciut kehilangan semangat
mujahaddah cinta berkabut
kutinggalkan sajalah
berlari sekuat mungkin meraih hakiki
jalan itu tak jua ditemui
sadar seketika,
yang dicari sudah berada di dalam diri
HR RoS
Jakarta, 08092016
MUJAHADDAH CINTA BERKABUT
Romy Sastra II
jalan terjal berliku dan berkabut
tertatih di jejak mendaki
mengiringi langkah kaki
tapaki pasir kerikil berduri terus dilalui
dahaga yang parah
pemberhentian itu tak jua ditemui
brrrrr ...
pagi ini dingin sekali
mendung menyapa hari
bianglala malu bersembunyi
ronanya berhias kabut
dari petualangan cinta berselimut mimpi
penantian usai
janji palsu melupakan memori
memori telah menjadi mimpi-mimpi sunyi
bunga bahagia yang didamba-dambakan
layu sudah dikebiri
mawar cinta berguguran
terhempas lara di pertengahan jalan
ahh... lebih baik memilih
memetik melati putih
suci mewangi di dalam hati
jadikan aroma iman
pengikat tongkat menuju mihrab Ilahi Rabbi
payahnya perjalanan
seperti musafir di savana lara
berbalik arah tak mungkin kulakukan
arah pulang pun tersesat jalan
degup jantung meletup
denyut nadi kian terjepit
lara asa cinta semakin terjajah
membuat nyali ciut kehilangan semangat
mujahaddah cinta berkabut
kutinggalkan sajalah
berlari sekuat mungkin meraih hakiki
jalan itu tak jua ditemui
sadar seketika,
yang dicari sudah berada di dalam diri
HR RoS
Jakarta, 08092016
Jumat, 28 April 2017
Puisi pelacur
PELACUR-PELACUR NEGERIKU
Karya Romy Sastra II
kembang kantil bersolek di ujung mantera
kemenyan mengebul di bibir dukun
terurai asap di atas ubun
wangi menyeruak di sekujur tubuh
bila malam menyapa mistik
mantra asmaradana menggoda arjuna
arjuna liar di kota metropolis
mucikari-mucikari bak selebritis
berdandan cantik berkawan iblis
pecandu malam pulang malam
wahai pelacur-pelacur negeriku
kau perusak generasi bangsa ini
tubuhmu yang sintal berambut emas
mewangi bak kembang melati
lenggak-lenggok gemulai di trotoar jalanan
senyum menggoda mencari mangsa
memikat si hidung belang di dalam mercy
kau pelacur negeriku
negeri ini gersang
bak ilalang di tengah padang
generasi tak lagi punya pegangan
iman zaman tergadai oleh kemolekan
di diskotik night club kau asyik
malammu berfantasi ekstasi
disorot lampu disco seantero pesta
pesta malam bergoyang erotis
kau lunglai menjelang pagi
berkawan whisky tak sadar diri
memanglah kau tak tahu diri
HR RoS
Jakarta, 28,04,17
Karya Romy Sastra II
kembang kantil bersolek di ujung mantera
kemenyan mengebul di bibir dukun
terurai asap di atas ubun
wangi menyeruak di sekujur tubuh
bila malam menyapa mistik
mantra asmaradana menggoda arjuna
arjuna liar di kota metropolis
mucikari-mucikari bak selebritis
berdandan cantik berkawan iblis
pecandu malam pulang malam
wahai pelacur-pelacur negeriku
kau perusak generasi bangsa ini
tubuhmu yang sintal berambut emas
mewangi bak kembang melati
lenggak-lenggok gemulai di trotoar jalanan
senyum menggoda mencari mangsa
memikat si hidung belang di dalam mercy
kau pelacur negeriku
negeri ini gersang
bak ilalang di tengah padang
generasi tak lagi punya pegangan
iman zaman tergadai oleh kemolekan
di diskotik night club kau asyik
malammu berfantasi ekstasi
disorot lampu disco seantero pesta
pesta malam bergoyang erotis
kau lunglai menjelang pagi
berkawan whisky tak sadar diri
memanglah kau tak tahu diri
HR RoS
Jakarta, 28,04,17
Puisi kematian
KEMATIAN KIAN MENDEKAT
Romy Sastra II
tamu itu pasti terjadi
menyapa raga dan jiwa ini
mengakhiri semua cerita
menutup gita
ketika ruh akan pergi
tubuh terbujur kaku
jangan ada derai air mata
untuk menempuh jalan kematian
digiring el-maut
dalam ketakutan yang tak terkira
duhh, diri
tamu misteri yang tak kenal waktu
ia bertamu
mencabut ruh dari badan
menghantar ruh ke jalan keabadian
ke telaga siksa ataukah cinta
jasad terbalut kain kafan
bangkai tertanam dalam lumpur
semua para pengiring keranda kan berlalu
pengap di dinding papan
jasad menunggu siksaan
Hancur bias ditelan waktu
nisan-nisan berdebu
padang ilalang kerontang
kamboja pun berguguran jatuh ke bumi
sepi
tiada gelap yang lebih gelap dari gelap
dalam kuburan itu
tiada sunyi yang lebih sunyi dari sunyi
di bawah nisan itu
pusara kan menjadi saksi
di lintasan dunia seperti lembah mimpi
dari hidup yang berpesta pora
lengah pada kematian abadi
mmm ...
bila ruh pergi
Tuhan meridhoi memanggil kematian
kunanti dikau amal rinduku
di telaga cinta
di singgasana jannah
adakah dikau tersisa amalku
ataukah hampa
entahlah, rahasia
HR RoS
Jakarta, 28,04,17
Romy Sastra II
tamu itu pasti terjadi
menyapa raga dan jiwa ini
mengakhiri semua cerita
menutup gita
ketika ruh akan pergi
tubuh terbujur kaku
jangan ada derai air mata
untuk menempuh jalan kematian
digiring el-maut
dalam ketakutan yang tak terkira
duhh, diri
tamu misteri yang tak kenal waktu
ia bertamu
mencabut ruh dari badan
menghantar ruh ke jalan keabadian
ke telaga siksa ataukah cinta
jasad terbalut kain kafan
bangkai tertanam dalam lumpur
semua para pengiring keranda kan berlalu
pengap di dinding papan
jasad menunggu siksaan
Hancur bias ditelan waktu
nisan-nisan berdebu
padang ilalang kerontang
kamboja pun berguguran jatuh ke bumi
sepi
tiada gelap yang lebih gelap dari gelap
dalam kuburan itu
tiada sunyi yang lebih sunyi dari sunyi
di bawah nisan itu
pusara kan menjadi saksi
di lintasan dunia seperti lembah mimpi
dari hidup yang berpesta pora
lengah pada kematian abadi
mmm ...
bila ruh pergi
Tuhan meridhoi memanggil kematian
kunanti dikau amal rinduku
di telaga cinta
di singgasana jannah
adakah dikau tersisa amalku
ataukah hampa
entahlah, rahasia
HR RoS
Jakarta, 28,04,17
Kamis, 27 April 2017
Prosa
PROSA PERIHNYA NOKTAH
Karya Romy Sastra II
Suamiku,
telah kau tinggalkan aku
pada noktah yang kau buat rapuh
yang dulu pernah membaja
masa di awal pernikahan kita
ketika tubuhku masih muda.
Kini kau pergi tak pernah kembali lagi
benih cinta yang kau titipkan di rahimku
telah tumbuh dewasa, belia sudah.
Ia menamparku dalam celoteh pilu.
"Ibu?" ke mana ayah tiada lagi bersama kita?
Aku rindu ayah, Ibu. Pertanyaan lirih dari gadis kecil memilukan segala nadi.
"Ahh, anakku..." sapaanmu, buah hatiku.
Desah rasa ini, luruh tuntutan rindu seorang anak nan lugu, sebak menikam jantung.
kenapa kau bangunkan lara Ibu yang telah terkurung sunyi, oh, anakku?"
Kugumam isak berlari ke kamar kecil meninggalkan si mungil lepas dari pangkuan. Diam menyendiri sedih dengan tatapan kosong, seperti dendam tak berkesudahan kepada noktah yang ternoda.
Tatapan gadis kecilku, jauh lebih pilu lagi merindui Ayah yang tak pernah pulang, Ayah yang pernah titipkan pesan belikan boneka lucu buat teman tidurnya, di kala kepergian alasan sesaat saja, nyatanya, ahh....
Oh, anakku
aku tak ingin engkau tahu, ada hal yang telah berlaku antara Ibu dan Ayahmu, anakku.
"Tangis pecah tak tertahankan"
"Ibu ..., katakan!!"
di mana ayah kini berada?!
aku rindu ayah Ibu!"
Dengan muka yang tertutup malu terhadap buah hati sendiri, kupejam mata ini dalam-dalam, berharap pemberontakan dari si buah hatiku redam.
Pada kenyataan aku dan ayahnya,
pernah berulangkali terjadi pertengkaran tanpa sebab yang tak habis pikir,
entah apa kekuranganku oh, suamiku.
Lara teramat lara dalam bunga-bunga noktah tak berbuah bahagia bersamamu.
Kuremas-remas dada ini, sakit ..."
sakit begitu sakitnya noktah dinodai.
Aku peluk si gadis kecilku kembali, memohon kepada Ilahi Rabbi, jangan hukum anakku Tuhan dengan tirani karma dosa-dosa orang tuannya sendiri.
Kristal-kristal bening berkoloni di pipi, kuusap dan terus kuusap ia terus mengalir sendiri.
"Wahai, Suamiku?!
Aku ingin kita intropeksi diri
di mana letak runyamnya noktah kita. Pengabdianku teramat indah kepadamu selama ini.
Evaluasilah janji dulu lebih baik lagi, jangan ada dusta di antara kita
jika dikau ingin kembali lagi padaku,
sedangkan aku masih mencintaimu.
Daku berharap, pada madah prosa luka ini kau baca!
Anakmu menunggumu di rumah.
Seringkali kala senja, ia mengkhayalkan sesuatu yang tak kumengerti, entah apa yang ia lamunkan. Seakan ia merasa sesuatu yang berbeda gejolak rumah tangga saban hari, antara kau dan aku suamiku, tatapannya kosong pada cakrawala yang hampir tenggelam, seperti bermain pada bayangan Ayahnya, paranoid sudah.
Ia sambil memegang sebuah buku di beranda rumah, menulis tentang rindu,
pulanglah Ayah! Aku rindu Ayah.
"Kembalilah pulang suamiku!" Bangunlah kembali istana yang telah runtuh oleh badai ego di antara kita.
Maafku padamu, sekiranya kesilapan pernah terjadi dalam proses keutuhan noktah cinta kita, dan aku juga telah memaafkanmu, pada tragedi hati yang pernah terkoyak oleh waktu yang berlalu.
Lupakanlah godaan kilauan suasa yang menggoda rasa, ia bukan emas permata kepergianmu, mencari kesenangan sesaat dalam persembunyian sepimu,
yang belum tentu emas kau dulang pada bayangan kasih hinamu di sana.
Aku masih mencintaimu dalam doa, kusujudkan tubuh ini memanggil namamu, tuk kembali.
meski tubuh ini sudah tua dan layu,
aku masih menyimpan kilauan permata pada cinta yang setia
tak akan mencari penggantimu lagi, kembalilah pulang, oh, suamiku
aku dan anakmu menunggumu di rumah.
HR RoS
Jakarta, 04092016
Prosaliris
#Repost
SI MISKIN JATUH CINTA
By Romy Sastra II
sketsa cinta sudah terbingkai kaca
kupandang ia tak teraba
lorong waktu menikam pilu, aksara yang kutinta dalam bayangan rindu, kala sepi, mengkhayal tentang masa lalu, melukis seraut wajah di ujung jalan itu
dekade cinta yang kujumpai di rambang senja, ketika kau menatapku, tatapanmu menyeruak ke dalam dada
bunga-bunga berputik di taman hati, bahagianya aku
tak berapa lama bunga merayu, berputik seketika layu jatuh ke bumi, kau tergoda warna pelangi di taman nirwana si kumbang jati, seketika wibawaku runtuh
kau dan aku memang strata yang jauh berbeda, dikau permata istana dari keluarga berada, sedangkan aku orang yang tak punya, ingin memiliki putri mayang, terhalang dinding pemisah, semua keluargamu menghinaku, tertuduh tak tahu diri, kututup seraut wajah menyimpan malu, ahh... malu
mmm....
sengketa rasa tercabik tak berdarah, bak kolosal kisah bratayuda mencintaimu, yang tega merobek sutra yang kuberi, dianggap perca yang tak berharga, kuterima dengan hiba meski pahit dirasa, ia adalah penghinaan terhadap kasta sudra hidupku
lara... berapa lama aku tercabar maruah, wahai tangis hati,
kau lukis bulir di pipi
kekasih yang pergi memilih jalan permadani
tinggalkan memori luka teramat pedih,
ah... cinta,
kau buaian mimpi-mimpi indah saja
pada selaksa kisi-kisi malam berselimut sepi menyendiri, dikawani kunang-kunang tak menerangi, sedangkan rembulan pun enggan titipkan senyuman
mengintip malu di balik awan
"aahh..., angan, buah khayalan
jangan bermain harapan
sadarlah, kau si miskin bermukim di tepi mimpi
tak tahu diri, memikat sebuah hati dengan bayang-bayang malu mencintai kekasih, bertepuk sebelah tangan
ketika malam sadarku bersemayam, akankah realiti cinta terjamah ke sebuah noktah, lama sudah harapan didamba, tak menjadi kenyataan sia-sia saja si miskin mencintai, tak sadar diri dan tak tahu diri
wahai seraut mimpi yang di sana
jangan bermain bayangan kasih, jikalau jemari indahmu kau hiasi ke lain hati, jauh sangat kaki ini melangkah mengejarmu, kau bermain sayang di ujung bibir cinta sejati kau buang, kau berkasih mesra bersama yang baru, rasa ini teriming-imingi opera hati, kini aku terluka
miris terjajah lara dalam opera cinta, terhina oleh kepalsuan janji
ke manakah arah jalan kan kutempuh, semuanya jalan itu buntu
ya, aku si miskin orang yang tak punya, mencintai anak yang berada
modalku hanya ..."
bingkai-bingkai cinta yang rela
tetap juga tak berarti bagimu dan keluargamu
aku pasrah,
jika nasib tak berpihak pada sudra
yakinku, mentari esok masih menyinari
mencoba tuk menata hati kembali
mencintai kekasih yang biasa-biasa saja
kenangan pahit,
janganlah terulang lagi
HR RoS
Jakarta 01-09-2016
SI MISKIN JATUH CINTA
By Romy Sastra II
sketsa cinta sudah terbingkai kaca
kupandang ia tak teraba
lorong waktu menikam pilu, aksara yang kutinta dalam bayangan rindu, kala sepi, mengkhayal tentang masa lalu, melukis seraut wajah di ujung jalan itu
dekade cinta yang kujumpai di rambang senja, ketika kau menatapku, tatapanmu menyeruak ke dalam dada
bunga-bunga berputik di taman hati, bahagianya aku
tak berapa lama bunga merayu, berputik seketika layu jatuh ke bumi, kau tergoda warna pelangi di taman nirwana si kumbang jati, seketika wibawaku runtuh
kau dan aku memang strata yang jauh berbeda, dikau permata istana dari keluarga berada, sedangkan aku orang yang tak punya, ingin memiliki putri mayang, terhalang dinding pemisah, semua keluargamu menghinaku, tertuduh tak tahu diri, kututup seraut wajah menyimpan malu, ahh... malu
mmm....
sengketa rasa tercabik tak berdarah, bak kolosal kisah bratayuda mencintaimu, yang tega merobek sutra yang kuberi, dianggap perca yang tak berharga, kuterima dengan hiba meski pahit dirasa, ia adalah penghinaan terhadap kasta sudra hidupku
lara... berapa lama aku tercabar maruah, wahai tangis hati,
kau lukis bulir di pipi
kekasih yang pergi memilih jalan permadani
tinggalkan memori luka teramat pedih,
ah... cinta,
kau buaian mimpi-mimpi indah saja
pada selaksa kisi-kisi malam berselimut sepi menyendiri, dikawani kunang-kunang tak menerangi, sedangkan rembulan pun enggan titipkan senyuman
mengintip malu di balik awan
"aahh..., angan, buah khayalan
jangan bermain harapan
sadarlah, kau si miskin bermukim di tepi mimpi
tak tahu diri, memikat sebuah hati dengan bayang-bayang malu mencintai kekasih, bertepuk sebelah tangan
ketika malam sadarku bersemayam, akankah realiti cinta terjamah ke sebuah noktah, lama sudah harapan didamba, tak menjadi kenyataan sia-sia saja si miskin mencintai, tak sadar diri dan tak tahu diri
wahai seraut mimpi yang di sana
jangan bermain bayangan kasih, jikalau jemari indahmu kau hiasi ke lain hati, jauh sangat kaki ini melangkah mengejarmu, kau bermain sayang di ujung bibir cinta sejati kau buang, kau berkasih mesra bersama yang baru, rasa ini teriming-imingi opera hati, kini aku terluka
miris terjajah lara dalam opera cinta, terhina oleh kepalsuan janji
ke manakah arah jalan kan kutempuh, semuanya jalan itu buntu
ya, aku si miskin orang yang tak punya, mencintai anak yang berada
modalku hanya ..."
bingkai-bingkai cinta yang rela
tetap juga tak berarti bagimu dan keluargamu
aku pasrah,
jika nasib tak berpihak pada sudra
yakinku, mentari esok masih menyinari
mencoba tuk menata hati kembali
mencintai kekasih yang biasa-biasa saja
kenangan pahit,
janganlah terulang lagi
HR RoS
Jakarta 01-09-2016
Selasa, 25 April 2017
Prosa
#Repost Prosa
KEMBALILAH ANAKKU
Karya: Romy Sastra II
"Umi...??" anakku.
Kalau kau pergi merantau ke tanah seberang, sukses tidak suksesnya jangan lupa pesan Ibu ya?!
Pesan itu, adalah pesan Ibu kandung Umi, semasa ia hendak merantau ke tanah Jawa.
jagalah sholat dan kesehatanmu,
pandai-pandailah bergaul dan baik-baik saja di negeri orang ya, nak?!
Kelak ibumu sudah tua, hiduplah di kampung halaman. Bawa anak-anak dan suamimu nanti pulang ke rumah kembali.
Ibu akan selalu berdoa untukmu.
Walau kau tak membawa emas berlian dari rantau, kampung halaman tetaplah intan permata, oh, anakku.
Dan surga itu, berada di bawah telapak kaki Ibumu ini, Umi.
******
Sedangkan Abi, adalah suami dari Umi.
Mereka telah dikaruniai tiga orang anak, dua orang anak perempuan yang cantik, dan satunya lagi lelaki yang tampan.
"Abi bertanya kepada umi"
"Umi? Hidup ini tidak sekedar makan dan mencari kekayaan semata.
Akan tetapi di sisi lain, akidah memanggil umat untuk menegakkan panji-panji khilaffah yang telah berdiri di Irak dan Syiria sana, Umi.
Umi terdiam,
perlahan suaranya bangkit menengadah ke wajah sang suami dengan pasti.
Ya, Abi..."
ketika panggilan jihad datang terhadapmu, wahai Abi.
Abi akan pergi membela panji ISIS, Umi merelakan Abi mati syahid di tengah pertempuran.
Walaupun aroma darah kematian telah Umi rasakan, dari keringat Abi, bagi Umi itu adalah wangi kesturi surgawi.
Keyakinan sang jihadah yang teguh dari pengaruh ISIS selama ini, ia telah terdoktrin aliran Islam ekstrim dalam kelompok pengajiannya.
"Mmmm..." ironis.
Paham ekstrim itu merasuki jiwa sang syahidah di negeri sendiri.
Seakan tekad baja, keyakinan yang telah terdoktrin pemahaman propaganda itu adalah khilaffah yang benar-benar berada di jalan Allah.
"Na'uzubillah minzalik"
Bagi mereka itu adalah jalan yang mulia.
Sang jihadis akhirnya pergi ke medan tempur, tak berapa lama, Abi dikabarkan tewas ke tanah air.
Selang beberapa bulan, akhirnya Umi dan ketiga anak-anaknya menyusul ke Syiria, secara diam-diam. Ia diajak oleh kelompok ISIS yang lainnya menuju Syiria. Dan telah berada di salah satu sudut kota negeri rampasan ISIS.
Padahal, Umi berniaga di pusat grosir Tanah Abang, yang cukup menjanjikan masa depan buat ia dan anak-anaknya kelak dewasa.
******
Ya, Umi. Sapa Aminah dalam tanya? yang belum sepenuhnya mengerti akan sepak terjang Abinya selama ini.
Aminah adalah anak kedua dari Umi, Ibu kandungnya sendiri.
Sedangkan yang lelaki si sulung hanya asyik membaca buku-buku peninggalan Abinya, dan yang bungsu belum tau apa-apa akan persoalan demi persoalan hidup orang tuanya, karena sibuk mengaji dan mengaji.
Aminah bertanya lagi,
"Umi? Kita berada di Jakarta berniaga cukuplah sukses, sebagai agen/grosir pakaian di pertokoan Tanah Abang, telah dicukupi segala kebutuhan kita, Umi. Serta keperluan lainnya.
Kenapa kita harus ada di sini di negeri yang penuh gejolak ini, Aminah takut Umi?"
Anakku?" dengarkan Umi ya!"
Kita ada di negeri yang diberkahi ini nak.
Abi kita gugur di sini, dan kita akan menyusul Abi sewaktu-waktu anakku.
Soal keperluan kita sehari-hari
bahkan kematian kita nanti di sini adalah surga, dan surga itu pun dijanjikan oleh pakem khilafah jihadah ini. Berdasarkan hukum-hukum khilafah jihad, dan harapan masa-depan hidup kita ada di tangan penguasa ISIS, janjinya nak.
Tapi, Aminah rindu akan tanah air kita Umi, serasa batin Aminah ingin pulang saja menemui nenek yang jauh di Indonesia.
Abi dan Umi berniaga yang lumayan sukses.
Kenapa Abi pergi menumpahkan darah yang sia-sia saja, kini Abi telah tiada, entah di surga mana Abi berada kini, oh, Umi?"
Uminya terdiam, sesekali ia melirik jauh ke halaman barak-barak jihad yang berpasir, seperti menutup rahasia yang penuh misteri dari doktrin jejak dakwah Abinya selama ini. "Ahh... kau terlalu polos nak, terlalu suci untuk korban di sini, berlabel mati syahid. Air mata Uminya deras mengalir.
Air mata seorang Ibu yang penuh kebimbangan hidup dan akidah yang mulia, gundah oleh pertanyaan Aminah anak kedua mereka yang sangat cerdas itu.
Jauh di sudut rasa, gejolak bak anak singa maju ke hutan belantara, berburu rusa demi harga diri sebagai penguasa rimba alam raya. Tepatnya di gurun padang pasir, yang dia tak tahu sesungguhnya medan yang ia tempuh, untuk berjihad di kelompok ISIS sendiri.
Abinya telah dulu pergi meninggalkan keluarga anak dan istri tercinta semenjak anak dan istrinya di tanah air.
******
"Flashback"
( sebelum kepergian Umi ke Syiria)
Dengan ucapan takbir, Allahu akbar!!!
Abinya pergi dari Indonesia menuju Syiria.
Selang berapa lama, warta mengudara dari Timur Tengah.
Abi tewas di medan tempur sebagai jihad mati syahid.
"Mmmm... berita itu menggemparkan keluarga Abi.
Semua sanak saudara menangisi kematian Abi,
Umi datang dengan suara perlahan, jangan tangisi suamiku wahai familyku semua.
Abi telah berada di surga Allah, telah bertemu dengan ruh-ruh jihadis lainnya, dan telah bersama bidadari-bidadari surga, ikhlaskanlah kematiannya, Abiku itu!
Sedangkan Umi, istri dari Abi yang gugur itu tak sama sekali meneteskan air matanya, menampakkan ketegeran keyakinan akan kematian Abinya yang telah mulia sebagai syahid.
Semua keluarga dalam berkabung terdiam dengan keteguhan isteri tercinta Abi. Si istri jihadis, Umi.
Sedangkan anak-anaknya hanya sesesungukkan di sudut rumah karena kematian Abinya.
Selang berapa bulan kemudian
Umi menghilang dari kabar,
sanak saudara pada bertanya-tanya.
Kalau Umi telah meninggalkan semua kehidupannya di kota Jakarta, termasuk perniagaan yang ia rintis dari jerih payahnya selama ini.
Bak ditelan bumi, Umi pergi di kegelapaan malam bergabung ke markas kelompok ISIS.
Testimoni Umi, dalam akun yang kami simak. Mereka berbahagia di sebuah negeri yang diberkahi katanya.
Ironis,
Ibu yang di kampung halamannya sendiri tak lagi dia rindukan, bahkan air mata sang ibu tak berhenti menetes akan keberadaan nasib sang anak dan ketiga cucunya yang ia risaukan selama ini.
Badan sudah kurus kering wajah keriput menua merindukan si anak tak pernah kembali semenjak kabar kematian si Abi suaminya.
Ibumu, berbalut selendang usang yang dia sandang di bahunya, telah lusuh membasuh luka yang tak berdarah, dalam keringat berurai air mata, menatap potret anak tersayang di dinding rumah.
Anakku, pelitamu hampir padam
senja telah di tepi ngarai nak.
Pulanglah sayang!!!
Ahh..."
Aku di sini, sebagai penulis bersama keluargamu Umi, menukilkan hiba pada sanak saudara di sana,
pelajarilah dengan seksama konsep organisasi yang jelas-jelas terhakimi oleh dunia sebagai teroris!! Negara kita dan dunia Islamnya bukan thagut dan bodoh.
Dan kelompok Islam menilai bahwa ISIS adalah bentukkan propaganda untuk mengambil kesempatan kekisruhan antara Suni dan Syiah di Timur-Tengah, dan merampas ladang-ladang minyak, yang ia gunakan untuk proyek kehidupannya serta biaya ongkos perang berkoloni dengan para sekutu-sekutunya, analisisku.
Aku suluh asap, bukan maksud membakar jerami di ladang singa berdiri.
Tapi hanya sekedar menyampaikan rintihan ibunda Umi di sini, di kampungmu. Kalau ibundamu sudah tua, tak berhenti-berhenti menangis,
pilu akan nasib permata yang diharapkan dari kecil itu.
Kembalilah Umi, ke Indonesia!!
Ibu cemas menantimu bersama ayahmu.
Kami ingin memelukmu kembali meski Abimu telah tiada.
pulanglah nak" bersama cucu-cucuku.
Bahwasanya rumahmu dan di telapak kaki ibumu kau mengabdi, adalah surga yang sesungguhnya di dunia ini.
Ingatlah pesan ibundamu dulu, ketika kau akan pergi merantau.
Bukalah nurani yang terbingkai di dadamu itu.
Kenapa tanah berpasir kau rindukan, padahal belum tentu jihadmu itu adalah surga yang kau rindui, meski tubuhmu berbalut sunah. Pahamilah nak, dengan akal pikiran serta jiwamu akan langkahmu itu. Benarkah perjalananmu jihad fisabilillah mati langsung masuk surga.
"Aaahhh...." anakku Umi?"
Lebih baik mati terhormat bernisan bernama di tanah merah
di samping ibumu nanti.
Daripada mati sia-sia di sana, tak bernisan, yang akan berselimut debu ditiup angin-angin lalu.
"Rintihan ibunda sang jihadah"
HR RoS
Jakarta, 26- Agustus 2016
"Prosa seorang Ibu merindukan anaknya tuk segera pulang di medan Jihad"
KEMBALILAH ANAKKU
Karya: Romy Sastra II
"Umi...??" anakku.
Kalau kau pergi merantau ke tanah seberang, sukses tidak suksesnya jangan lupa pesan Ibu ya?!
Pesan itu, adalah pesan Ibu kandung Umi, semasa ia hendak merantau ke tanah Jawa.
jagalah sholat dan kesehatanmu,
pandai-pandailah bergaul dan baik-baik saja di negeri orang ya, nak?!
Kelak ibumu sudah tua, hiduplah di kampung halaman. Bawa anak-anak dan suamimu nanti pulang ke rumah kembali.
Ibu akan selalu berdoa untukmu.
Walau kau tak membawa emas berlian dari rantau, kampung halaman tetaplah intan permata, oh, anakku.
Dan surga itu, berada di bawah telapak kaki Ibumu ini, Umi.
******
Sedangkan Abi, adalah suami dari Umi.
Mereka telah dikaruniai tiga orang anak, dua orang anak perempuan yang cantik, dan satunya lagi lelaki yang tampan.
"Abi bertanya kepada umi"
"Umi? Hidup ini tidak sekedar makan dan mencari kekayaan semata.
Akan tetapi di sisi lain, akidah memanggil umat untuk menegakkan panji-panji khilaffah yang telah berdiri di Irak dan Syiria sana, Umi.
Umi terdiam,
perlahan suaranya bangkit menengadah ke wajah sang suami dengan pasti.
Ya, Abi..."
ketika panggilan jihad datang terhadapmu, wahai Abi.
Abi akan pergi membela panji ISIS, Umi merelakan Abi mati syahid di tengah pertempuran.
Walaupun aroma darah kematian telah Umi rasakan, dari keringat Abi, bagi Umi itu adalah wangi kesturi surgawi.
Keyakinan sang jihadah yang teguh dari pengaruh ISIS selama ini, ia telah terdoktrin aliran Islam ekstrim dalam kelompok pengajiannya.
"Mmmm..." ironis.
Paham ekstrim itu merasuki jiwa sang syahidah di negeri sendiri.
Seakan tekad baja, keyakinan yang telah terdoktrin pemahaman propaganda itu adalah khilaffah yang benar-benar berada di jalan Allah.
"Na'uzubillah minzalik"
Bagi mereka itu adalah jalan yang mulia.
Sang jihadis akhirnya pergi ke medan tempur, tak berapa lama, Abi dikabarkan tewas ke tanah air.
Selang beberapa bulan, akhirnya Umi dan ketiga anak-anaknya menyusul ke Syiria, secara diam-diam. Ia diajak oleh kelompok ISIS yang lainnya menuju Syiria. Dan telah berada di salah satu sudut kota negeri rampasan ISIS.
Padahal, Umi berniaga di pusat grosir Tanah Abang, yang cukup menjanjikan masa depan buat ia dan anak-anaknya kelak dewasa.
******
Ya, Umi. Sapa Aminah dalam tanya? yang belum sepenuhnya mengerti akan sepak terjang Abinya selama ini.
Aminah adalah anak kedua dari Umi, Ibu kandungnya sendiri.
Sedangkan yang lelaki si sulung hanya asyik membaca buku-buku peninggalan Abinya, dan yang bungsu belum tau apa-apa akan persoalan demi persoalan hidup orang tuanya, karena sibuk mengaji dan mengaji.
Aminah bertanya lagi,
"Umi? Kita berada di Jakarta berniaga cukuplah sukses, sebagai agen/grosir pakaian di pertokoan Tanah Abang, telah dicukupi segala kebutuhan kita, Umi. Serta keperluan lainnya.
Kenapa kita harus ada di sini di negeri yang penuh gejolak ini, Aminah takut Umi?"
Anakku?" dengarkan Umi ya!"
Kita ada di negeri yang diberkahi ini nak.
Abi kita gugur di sini, dan kita akan menyusul Abi sewaktu-waktu anakku.
Soal keperluan kita sehari-hari
bahkan kematian kita nanti di sini adalah surga, dan surga itu pun dijanjikan oleh pakem khilafah jihadah ini. Berdasarkan hukum-hukum khilafah jihad, dan harapan masa-depan hidup kita ada di tangan penguasa ISIS, janjinya nak.
Tapi, Aminah rindu akan tanah air kita Umi, serasa batin Aminah ingin pulang saja menemui nenek yang jauh di Indonesia.
Abi dan Umi berniaga yang lumayan sukses.
Kenapa Abi pergi menumpahkan darah yang sia-sia saja, kini Abi telah tiada, entah di surga mana Abi berada kini, oh, Umi?"
Uminya terdiam, sesekali ia melirik jauh ke halaman barak-barak jihad yang berpasir, seperti menutup rahasia yang penuh misteri dari doktrin jejak dakwah Abinya selama ini. "Ahh... kau terlalu polos nak, terlalu suci untuk korban di sini, berlabel mati syahid. Air mata Uminya deras mengalir.
Air mata seorang Ibu yang penuh kebimbangan hidup dan akidah yang mulia, gundah oleh pertanyaan Aminah anak kedua mereka yang sangat cerdas itu.
Jauh di sudut rasa, gejolak bak anak singa maju ke hutan belantara, berburu rusa demi harga diri sebagai penguasa rimba alam raya. Tepatnya di gurun padang pasir, yang dia tak tahu sesungguhnya medan yang ia tempuh, untuk berjihad di kelompok ISIS sendiri.
Abinya telah dulu pergi meninggalkan keluarga anak dan istri tercinta semenjak anak dan istrinya di tanah air.
******
"Flashback"
( sebelum kepergian Umi ke Syiria)
Dengan ucapan takbir, Allahu akbar!!!
Abinya pergi dari Indonesia menuju Syiria.
Selang berapa lama, warta mengudara dari Timur Tengah.
Abi tewas di medan tempur sebagai jihad mati syahid.
"Mmmm... berita itu menggemparkan keluarga Abi.
Semua sanak saudara menangisi kematian Abi,
Umi datang dengan suara perlahan, jangan tangisi suamiku wahai familyku semua.
Abi telah berada di surga Allah, telah bertemu dengan ruh-ruh jihadis lainnya, dan telah bersama bidadari-bidadari surga, ikhlaskanlah kematiannya, Abiku itu!
Sedangkan Umi, istri dari Abi yang gugur itu tak sama sekali meneteskan air matanya, menampakkan ketegeran keyakinan akan kematian Abinya yang telah mulia sebagai syahid.
Semua keluarga dalam berkabung terdiam dengan keteguhan isteri tercinta Abi. Si istri jihadis, Umi.
Sedangkan anak-anaknya hanya sesesungukkan di sudut rumah karena kematian Abinya.
Selang berapa bulan kemudian
Umi menghilang dari kabar,
sanak saudara pada bertanya-tanya.
Kalau Umi telah meninggalkan semua kehidupannya di kota Jakarta, termasuk perniagaan yang ia rintis dari jerih payahnya selama ini.
Bak ditelan bumi, Umi pergi di kegelapaan malam bergabung ke markas kelompok ISIS.
Testimoni Umi, dalam akun yang kami simak. Mereka berbahagia di sebuah negeri yang diberkahi katanya.
Ironis,
Ibu yang di kampung halamannya sendiri tak lagi dia rindukan, bahkan air mata sang ibu tak berhenti menetes akan keberadaan nasib sang anak dan ketiga cucunya yang ia risaukan selama ini.
Badan sudah kurus kering wajah keriput menua merindukan si anak tak pernah kembali semenjak kabar kematian si Abi suaminya.
Ibumu, berbalut selendang usang yang dia sandang di bahunya, telah lusuh membasuh luka yang tak berdarah, dalam keringat berurai air mata, menatap potret anak tersayang di dinding rumah.
Anakku, pelitamu hampir padam
senja telah di tepi ngarai nak.
Pulanglah sayang!!!
Ahh..."
Aku di sini, sebagai penulis bersama keluargamu Umi, menukilkan hiba pada sanak saudara di sana,
pelajarilah dengan seksama konsep organisasi yang jelas-jelas terhakimi oleh dunia sebagai teroris!! Negara kita dan dunia Islamnya bukan thagut dan bodoh.
Dan kelompok Islam menilai bahwa ISIS adalah bentukkan propaganda untuk mengambil kesempatan kekisruhan antara Suni dan Syiah di Timur-Tengah, dan merampas ladang-ladang minyak, yang ia gunakan untuk proyek kehidupannya serta biaya ongkos perang berkoloni dengan para sekutu-sekutunya, analisisku.
Aku suluh asap, bukan maksud membakar jerami di ladang singa berdiri.
Tapi hanya sekedar menyampaikan rintihan ibunda Umi di sini, di kampungmu. Kalau ibundamu sudah tua, tak berhenti-berhenti menangis,
pilu akan nasib permata yang diharapkan dari kecil itu.
Kembalilah Umi, ke Indonesia!!
Ibu cemas menantimu bersama ayahmu.
Kami ingin memelukmu kembali meski Abimu telah tiada.
pulanglah nak" bersama cucu-cucuku.
Bahwasanya rumahmu dan di telapak kaki ibumu kau mengabdi, adalah surga yang sesungguhnya di dunia ini.
Ingatlah pesan ibundamu dulu, ketika kau akan pergi merantau.
Bukalah nurani yang terbingkai di dadamu itu.
Kenapa tanah berpasir kau rindukan, padahal belum tentu jihadmu itu adalah surga yang kau rindui, meski tubuhmu berbalut sunah. Pahamilah nak, dengan akal pikiran serta jiwamu akan langkahmu itu. Benarkah perjalananmu jihad fisabilillah mati langsung masuk surga.
"Aaahhh...." anakku Umi?"
Lebih baik mati terhormat bernisan bernama di tanah merah
di samping ibumu nanti.
Daripada mati sia-sia di sana, tak bernisan, yang akan berselimut debu ditiup angin-angin lalu.
"Rintihan ibunda sang jihadah"
HR RoS
Jakarta, 26- Agustus 2016
"Prosa seorang Ibu merindukan anaknya tuk segera pulang di medan Jihad"
Puisi
DESTINASI HAKIKI
Romy Sastra II
berkabut sebak, jejak luruh dalam bayangan tak terpijak
tatapan tajam menatap celah
memilah garis rasa
lurus tak tercela
aku raba doa menyingkap sukma
mati di dalam hidup
jantung bergerak nadi bergetar
alam sunyi menepi
hening bak lonceng berbunyi dalam bashiran, sami'an ilallah
fana....
tubuh halus menembus kosmik alam diri
menatap segara riak berwarna,
menggodaku
sampai di sini keindahan-Nya
godaan itu,
ia adalah nafsuku
aku berlari meninggalkan jejak abstrak
dalam tarikh napasku tahan,
tak ingin tergoda dalam kancah warna
destinasi imanku melaju
dalam perjalanan pikir akal dan nafsu
meninggalkan rona semu
akliq nakliq fitrah itu
lebur berbaur ke kolam rasa
menuju awas tak berujung,
tak bertempat,
bening tak berwarna lagi
lingga saliraku kaku dalam yoga zikra
pentauhidan itu melaju menuju tauhid destinasi yang hakiki
tak berwujud,
kepada maha jiwa
bayanganku sirna, yang ada adalah, IA.... makrifat itu
HR RoS
Jakarta,25,04,17
Romy Sastra II
berkabut sebak, jejak luruh dalam bayangan tak terpijak
tatapan tajam menatap celah
memilah garis rasa
lurus tak tercela
aku raba doa menyingkap sukma
mati di dalam hidup
jantung bergerak nadi bergetar
alam sunyi menepi
hening bak lonceng berbunyi dalam bashiran, sami'an ilallah
fana....
tubuh halus menembus kosmik alam diri
menatap segara riak berwarna,
menggodaku
sampai di sini keindahan-Nya
godaan itu,
ia adalah nafsuku
aku berlari meninggalkan jejak abstrak
dalam tarikh napasku tahan,
tak ingin tergoda dalam kancah warna
destinasi imanku melaju
dalam perjalanan pikir akal dan nafsu
meninggalkan rona semu
akliq nakliq fitrah itu
lebur berbaur ke kolam rasa
menuju awas tak berujung,
tak bertempat,
bening tak berwarna lagi
lingga saliraku kaku dalam yoga zikra
pentauhidan itu melaju menuju tauhid destinasi yang hakiki
tak berwujud,
kepada maha jiwa
bayanganku sirna, yang ada adalah, IA.... makrifat itu
HR RoS
Jakarta,25,04,17
Prosaliris
#Repost_Prosaliris
KABUT SENJA
By Romy Sastra II
Berselimut kabut
memintali tenunan senja
di kaki langit
Berdiri di atas titian usang
tertumpang tunggul lapuk
berlalunya kasih sayang
bersama sang bayu
yang terus melaju dan berlalu
meninggalkan jejak dalam luka
meski bahasa alam itu adalah
bahasa diammu yang membisu
Bayu, kau meneteskan embun
berharap aliran banyu meretas
ke sela-sela daun
kelopak tak lagi mekar
mentari meredup senja berkabut
kian menyelimuti sukmaku
berharap yang layu mekarlah selalu
Ahh, gita?
Simphonimu bernada gesekkan biola tua
membuatku gamang
bernyanyi memadu rindu
"Yaaa...,
aku ikatkan saja cerita yang dulu bersemi
ke ruang memori
kisah kita telah bias menjadi semu dan berdebu
Sinonimkan saja kemesraan kita
yang dulu pernah bercerita
tentang dunia ini indah
Mimpi, kau kembang taman khayalku
kau menitipkan misteri pada asa yang terjajah lara
tertikam di jejak yang basah
jatuh melukai
tersungkur diri membuat malu
Di ambang senja berkabut
di kaki langit berbisik lirih
di mana dermaga rindu
akan kulabuhkan kini?
Resah memadah gita puisi
dalam obsesi yang tak kenal lelah
mengejar impian pada senja yang kian merona
Aku sujudkan sajalah
rasa cinta suciku ke mihrab sajadah senja
memacu doa pada Illahi Rabbi
di sanalah pemberhentian jejak terakhirku
HR RoS
Jakarta yang berkabut,
22-08-02016, 01:55
KABUT SENJA
By Romy Sastra II
Berselimut kabut
memintali tenunan senja
di kaki langit
Berdiri di atas titian usang
tertumpang tunggul lapuk
berlalunya kasih sayang
bersama sang bayu
yang terus melaju dan berlalu
meninggalkan jejak dalam luka
meski bahasa alam itu adalah
bahasa diammu yang membisu
Bayu, kau meneteskan embun
berharap aliran banyu meretas
ke sela-sela daun
kelopak tak lagi mekar
mentari meredup senja berkabut
kian menyelimuti sukmaku
berharap yang layu mekarlah selalu
Ahh, gita?
Simphonimu bernada gesekkan biola tua
membuatku gamang
bernyanyi memadu rindu
"Yaaa...,
aku ikatkan saja cerita yang dulu bersemi
ke ruang memori
kisah kita telah bias menjadi semu dan berdebu
Sinonimkan saja kemesraan kita
yang dulu pernah bercerita
tentang dunia ini indah
Mimpi, kau kembang taman khayalku
kau menitipkan misteri pada asa yang terjajah lara
tertikam di jejak yang basah
jatuh melukai
tersungkur diri membuat malu
Di ambang senja berkabut
di kaki langit berbisik lirih
di mana dermaga rindu
akan kulabuhkan kini?
Resah memadah gita puisi
dalam obsesi yang tak kenal lelah
mengejar impian pada senja yang kian merona
Aku sujudkan sajalah
rasa cinta suciku ke mihrab sajadah senja
memacu doa pada Illahi Rabbi
di sanalah pemberhentian jejak terakhirku
HR RoS
Jakarta yang berkabut,
22-08-02016, 01:55
Prosaliris
#repost
Renungan Senja Prosaliris
LANGKAH KEHIDUPAN
ADALAH NGARAI YANG MENGINTAI
Karya: Romy Sastra II
Jejak langkah jalan setapak gontai melaju lunglai, bak daun-daun yang melambai berbisik lirih di sela dedahanan.
Diri ini,
dari tiada ia menitis menjadi ada
konsep Ilahiah teragung, pada penciptaan yang sempurna.
Beradunya koloni kasih sayang di antara sang penikmat rasa cinta dalam desah asmaradana.
Ia tertitip hikmah dari rahman rahim-Nya,
hingga terbentuk insani yang kamil,
di kolam garbah.
Tercipta, terlahir fitrah dalam dendang buaian kasih sayang si buah hati ditingkah nyanyian manis terlena menjelang tidur.
Bibit yang mulai tumbuh tertawa lucu
riang menari tarian indang berdendang,
cepatlah besar nak!"
tataplah bulan nan menjulang di awan,
raihlah bintang-bintang yang bertaburan di angkasa jauh
hembusan bayu menyapa sendu di dedaunan,
putik-putik bermekaran adakala berjatuhan,
ditingkah ayunan gelombang zaman
acapkali alpa di balik warna kehidupan
mengertilah tentang dunia ini dengan seribu satu wajah yang molek dan merayu.
Roda berputar pada poros zaman adalah keniscayaan,
akan terhenti pada janji yang dipatri oleh takdir azali?"
sedangkan nyanyian hidup sumbang tak senada dalam gesekan biola nan mendayu, syahdunya alunan bunian air di pancuran,
tak mampu merubah bisingnya deru debu di perjalanan yang gersang.
"Aahhh....
Kadangkala jejak tak seiring jalan dengan tuntunan,
sering berlabuh ke dalam penyesalan
derap langkah kehidupan,
selalu dibayangi ngarai menganga lebar mengintai,
jerih berpeluh nista tergadai pada
aroma menipu, sentuhan selembut sutera tergoda oleh rayuan hampa, hina.
"Oohh... diri,
bercerminlah kepada kisah yang pernah terjadi,
tuailah kearifan budi dalam napas-napas pikir
"Oohh... hati,
bergurulah kepada awas,
akan terbukanya makna rahasia Ilahi.
"Oohh... memori yang menghampiri
petiklah lembaran hikmah pengalaman
jadikan iya tuah yang dimaknakan.
Jalan ini sebentar lagi akan sampai di penghujung jalan,
padahal kehidupan terus berlanjut mengiringi zaman.
Damaikanlah zamanmu wahai budi, oleh jubah kewibawaan diri yang sememangnya sama-sama dimengerti lajunya lika-liku perjalanan hari,
biarkan tauladan diri berarti.
Waspadalah!"
jangan memaksakan kehendak berlari,
jikalau jalan itu terjal akan terjatuh ke lembah yang tak akan bangkit lagi, sadari!
Hormatilah fitrah yang diselipkan dalam sanubari,
mengukur bayangan oleh tantangan zaman.
Berhati-hati adalah kewaspadaan diri yang tak ingin tergelincir ke ngarai pada bibir akan melukai.
Remang senja telah menyapa pada sisa-sisa usia, sebentar saja pelangi mewarnai petang,
yang akan berlalu tenggelam ke ruang misteri,
senja adalah gambaran wajah alam redup
renungan hidup menuju perjalanan Tuhan, raihlah mahabbah kasih-Nya
dalam ibadah yang tak mengharapkan fasilitas surga lagi
dan beribadah tak lagi takut karena neraka.
Sesungguhnya,
bersama-Nya adalah surgawi itu.
Palingkan murka-Nya pada langkah yang salah arah, oleh keegoan diri merasa benar sendiri,
dahan telah kering menunggu ranting jatuh ke bumi
yang tersisa adalah nama dan sejarah
bangkai jadi debu, bias lenyap kepada tiada.
HR RoS
Jakarta, 23-Agustus-2016
Renungan Senja Prosaliris
LANGKAH KEHIDUPAN
ADALAH NGARAI YANG MENGINTAI
Karya: Romy Sastra II
Jejak langkah jalan setapak gontai melaju lunglai, bak daun-daun yang melambai berbisik lirih di sela dedahanan.
Diri ini,
dari tiada ia menitis menjadi ada
konsep Ilahiah teragung, pada penciptaan yang sempurna.
Beradunya koloni kasih sayang di antara sang penikmat rasa cinta dalam desah asmaradana.
Ia tertitip hikmah dari rahman rahim-Nya,
hingga terbentuk insani yang kamil,
di kolam garbah.
Tercipta, terlahir fitrah dalam dendang buaian kasih sayang si buah hati ditingkah nyanyian manis terlena menjelang tidur.
Bibit yang mulai tumbuh tertawa lucu
riang menari tarian indang berdendang,
cepatlah besar nak!"
tataplah bulan nan menjulang di awan,
raihlah bintang-bintang yang bertaburan di angkasa jauh
hembusan bayu menyapa sendu di dedaunan,
putik-putik bermekaran adakala berjatuhan,
ditingkah ayunan gelombang zaman
acapkali alpa di balik warna kehidupan
mengertilah tentang dunia ini dengan seribu satu wajah yang molek dan merayu.
Roda berputar pada poros zaman adalah keniscayaan,
akan terhenti pada janji yang dipatri oleh takdir azali?"
sedangkan nyanyian hidup sumbang tak senada dalam gesekan biola nan mendayu, syahdunya alunan bunian air di pancuran,
tak mampu merubah bisingnya deru debu di perjalanan yang gersang.
"Aahhh....
Kadangkala jejak tak seiring jalan dengan tuntunan,
sering berlabuh ke dalam penyesalan
derap langkah kehidupan,
selalu dibayangi ngarai menganga lebar mengintai,
jerih berpeluh nista tergadai pada
aroma menipu, sentuhan selembut sutera tergoda oleh rayuan hampa, hina.
"Oohh... diri,
bercerminlah kepada kisah yang pernah terjadi,
tuailah kearifan budi dalam napas-napas pikir
"Oohh... hati,
bergurulah kepada awas,
akan terbukanya makna rahasia Ilahi.
"Oohh... memori yang menghampiri
petiklah lembaran hikmah pengalaman
jadikan iya tuah yang dimaknakan.
Jalan ini sebentar lagi akan sampai di penghujung jalan,
padahal kehidupan terus berlanjut mengiringi zaman.
Damaikanlah zamanmu wahai budi, oleh jubah kewibawaan diri yang sememangnya sama-sama dimengerti lajunya lika-liku perjalanan hari,
biarkan tauladan diri berarti.
Waspadalah!"
jangan memaksakan kehendak berlari,
jikalau jalan itu terjal akan terjatuh ke lembah yang tak akan bangkit lagi, sadari!
Hormatilah fitrah yang diselipkan dalam sanubari,
mengukur bayangan oleh tantangan zaman.
Berhati-hati adalah kewaspadaan diri yang tak ingin tergelincir ke ngarai pada bibir akan melukai.
Remang senja telah menyapa pada sisa-sisa usia, sebentar saja pelangi mewarnai petang,
yang akan berlalu tenggelam ke ruang misteri,
senja adalah gambaran wajah alam redup
renungan hidup menuju perjalanan Tuhan, raihlah mahabbah kasih-Nya
dalam ibadah yang tak mengharapkan fasilitas surga lagi
dan beribadah tak lagi takut karena neraka.
Sesungguhnya,
bersama-Nya adalah surgawi itu.
Palingkan murka-Nya pada langkah yang salah arah, oleh keegoan diri merasa benar sendiri,
dahan telah kering menunggu ranting jatuh ke bumi
yang tersisa adalah nama dan sejarah
bangkai jadi debu, bias lenyap kepada tiada.
HR RoS
Jakarta, 23-Agustus-2016
Senin, 24 April 2017
Monolog
#repost
MONOLOG NASEHAT DIRI
Romy Sastra II
kicauan nan manis bak burung bernyanyi
tak berparung memaksa bersiul
khutbah terhormat seperti dewa mabuk
jubah indah bersolek duniawi
sayangnya tak bermaruah pada langit
mengintip cinta di malam hari
bagaikan kunang-kunang menari
melayang kerlipnya seketika padam
di mana rindu bersembunyi
sedangkan ruang diri tak pernah dibuka
yang ada kelam
terpesona saja pada godaan
biarlah hasrat impian terkikis
dibawa oleh debu-debu berterbangan
relakan melepas kepalsuan rindu
lebih baik berkubangan dalam lumpur hidup
menatap kesucian
mencoba tak jahat pada kenangan
rasa nan jujur adalah guru batin pada diri
menyilami makna jiwa yang suci
membuang jauh-jauh prasangka buruk
tak membuat cela
hidangkan seuntai sajak semoga dicerna
berharap tak dicampakkan begitu saja
uhh... jangan sia-sia beo berkicau
kepada si dungu memamah bisu
lebih baik berkaca pada malu
tak rusak sejarah ditorehkan
ego diri bagaikan resi dewa dewi
seakan sabda merasa telah fitrah
percuma terlahir jadi manusia
tak mampu memahami arti diri sendiri
hanya setetes darah hina yang dibanggakan
itu pun tertitipkan sementara
ohh, diri
diri seakan alimin
berkopiah tak bermakhota ilmu
ohh, dungu
diri seakan halimah
tak bertudung tiada malu masih sok tahu
"uhh...,
berilmu tak berhikmah
berpayung tak berteduh
berharta tapi tak bersedekah
bersedekah tapi tak rela
memberi selalu pamrih
berwibawa gagah tak berkharisma
cantik rupawan tak menawan
hidup tak bertujuan lunglai di tepi jalan
makan lahap tak kenyang berserakan
beragama label indentiti semata
berilmu tak mampu mewejang aksara
selalu dahaga,
meminum tirta kalimah tak bertuah
beribadah seakan sudah tahu jalanya surga
"aahhh..., nistanya
berlayar tak berdermaga
terombang-ambing di segara gamang dirasa
mendaki seakan tahu makna ketinggian
berjalan di yang datar tersandung
kesakitan
mengalir air ke hilir tak ke muara
berkaca diri tak nampak
terkilas wajah di cermin yang retak
diri bodoh seakan paham rahasia hati
duhh, diri
ke mana lara kan dibawa
sedangkan sakit sedikit saja menangis
tersenyum tak merekah
tertawa miring raut wajah melukis hiba
berpikirlah sesaat wahai diri
karena berpikir itu lebih baik
daripada beribadah berpuluh-puluh tahun lamanya
biar tak tersesat jalan
semoga dewasa diri dalam kearifan budi
arahkan langkah ke sebuah tujuan
biar tak sia-sia hidup dalam perjalanan
Seyogyanya, memahamilah dikau diri
walau sekejap saja
HR RoS
#Koreksi_cemooh_diri
Jakarta, 22-08-2016. 01:12
MONOLOG NASEHAT DIRI
Romy Sastra II
kicauan nan manis bak burung bernyanyi
tak berparung memaksa bersiul
khutbah terhormat seperti dewa mabuk
jubah indah bersolek duniawi
sayangnya tak bermaruah pada langit
mengintip cinta di malam hari
bagaikan kunang-kunang menari
melayang kerlipnya seketika padam
di mana rindu bersembunyi
sedangkan ruang diri tak pernah dibuka
yang ada kelam
terpesona saja pada godaan
biarlah hasrat impian terkikis
dibawa oleh debu-debu berterbangan
relakan melepas kepalsuan rindu
lebih baik berkubangan dalam lumpur hidup
menatap kesucian
mencoba tak jahat pada kenangan
rasa nan jujur adalah guru batin pada diri
menyilami makna jiwa yang suci
membuang jauh-jauh prasangka buruk
tak membuat cela
hidangkan seuntai sajak semoga dicerna
berharap tak dicampakkan begitu saja
uhh... jangan sia-sia beo berkicau
kepada si dungu memamah bisu
lebih baik berkaca pada malu
tak rusak sejarah ditorehkan
ego diri bagaikan resi dewa dewi
seakan sabda merasa telah fitrah
percuma terlahir jadi manusia
tak mampu memahami arti diri sendiri
hanya setetes darah hina yang dibanggakan
itu pun tertitipkan sementara
ohh, diri
diri seakan alimin
berkopiah tak bermakhota ilmu
ohh, dungu
diri seakan halimah
tak bertudung tiada malu masih sok tahu
"uhh...,
berilmu tak berhikmah
berpayung tak berteduh
berharta tapi tak bersedekah
bersedekah tapi tak rela
memberi selalu pamrih
berwibawa gagah tak berkharisma
cantik rupawan tak menawan
hidup tak bertujuan lunglai di tepi jalan
makan lahap tak kenyang berserakan
beragama label indentiti semata
berilmu tak mampu mewejang aksara
selalu dahaga,
meminum tirta kalimah tak bertuah
beribadah seakan sudah tahu jalanya surga
"aahhh..., nistanya
berlayar tak berdermaga
terombang-ambing di segara gamang dirasa
mendaki seakan tahu makna ketinggian
berjalan di yang datar tersandung
kesakitan
mengalir air ke hilir tak ke muara
berkaca diri tak nampak
terkilas wajah di cermin yang retak
diri bodoh seakan paham rahasia hati
duhh, diri
ke mana lara kan dibawa
sedangkan sakit sedikit saja menangis
tersenyum tak merekah
tertawa miring raut wajah melukis hiba
berpikirlah sesaat wahai diri
karena berpikir itu lebih baik
daripada beribadah berpuluh-puluh tahun lamanya
biar tak tersesat jalan
semoga dewasa diri dalam kearifan budi
arahkan langkah ke sebuah tujuan
biar tak sia-sia hidup dalam perjalanan
Seyogyanya, memahamilah dikau diri
walau sekejap saja
HR RoS
#Koreksi_cemooh_diri
Jakarta, 22-08-2016. 01:12
Puisi religi
YA DI JIWA INI
Romy Sastra
Tatkala mata ini tertutup
di sanalah kegelapan diri terjadi
tatapan membuncah resah
dengan meresapi dalam kelam itu,
kan terbuka tirai-tirai cahaya kasih-Nya
Ia hadir dengan sendirinya
Cahaya-Nya seperti maniak-maniak kerlip bertaburan
mengitari muara sagara jiwa
di sanalah Ia bertahta, dalam jiwa ini
kasih-Nya seperti air mengalir yang tiada henti memberikan kehidupan,
ketika kasihnya terhenti,
maka maha kelam membungkus badan
Seringlah menutup jendela rumah
kan kau dapatkan secercah cahaya-Nya
ya di dalam jiwa ini
ketika matamu tertutup rapat,
kebisingan berdengung bak lonceng berbunyi
sesak menyeruak ke ubun-ubun
matilah mencari cinta-Nya
hingga jamuan surga dihidangkan
dalam bejana rasa, puas bercengkrama
dengan bahasa khair di minda sukma
Antara Ruhhul dan Nurrun ala Nurrin
berkoloni, ya di jiwa ini
HR RoS
Jakarta, 10-08-2016, 22:20
Romy Sastra
Tatkala mata ini tertutup
di sanalah kegelapan diri terjadi
tatapan membuncah resah
dengan meresapi dalam kelam itu,
kan terbuka tirai-tirai cahaya kasih-Nya
Ia hadir dengan sendirinya
Cahaya-Nya seperti maniak-maniak kerlip bertaburan
mengitari muara sagara jiwa
di sanalah Ia bertahta, dalam jiwa ini
kasih-Nya seperti air mengalir yang tiada henti memberikan kehidupan,
ketika kasihnya terhenti,
maka maha kelam membungkus badan
Seringlah menutup jendela rumah
kan kau dapatkan secercah cahaya-Nya
ya di dalam jiwa ini
ketika matamu tertutup rapat,
kebisingan berdengung bak lonceng berbunyi
sesak menyeruak ke ubun-ubun
matilah mencari cinta-Nya
hingga jamuan surga dihidangkan
dalam bejana rasa, puas bercengkrama
dengan bahasa khair di minda sukma
Antara Ruhhul dan Nurrun ala Nurrin
berkoloni, ya di jiwa ini
HR RoS
Jakarta, 10-08-2016, 22:20
Minggu, 23 April 2017
Puisi Kematian
NAPAS DI UJUNG MAUT
Romy Sastra II
satu-satu rasul pergi
yang bersemayam di dalam diri
sebagai jembatan religi menemui Ilahi Rabbi
telah jauh jejak langkah melaju
torehkan seribu satu cerita
tentang fananya dunia
bahwa kematian pasti terjadi
runtuh sudah gunung Thursina
sentuhan lembut tak lagi hangat
langit-langit hambar tak lagi berasa
pendengaran tak lagi berdenging, tuli
lidah patah perigi kering, dahaga
netra melirik tatapan buta
el-maut masih dalam perjalanan hampir tiba
sekejap saja sudah berada di depan rumah
riuh membuncah ruh-ruh
penggoda datang silih berganti
menyuguhkan menu-menu surgawi
padahal fatamorgana saja
sang sakaratul maut gundah
selera makan lahap terasa
seperti lapar terbaik
lelah dan payah habis berlari haus sekali
di mana, dan ke mana arah jalan pulang
nan ditempuh tak tahu destinasi abadi
laknatullah merayu pada satu titik ruh
kembalilah kepadaku wahai si fulan
istana megah menantimu di sana
ayah bundamu merindukan selalu
ikutlah bersamaku
sambutlah jemari kasih ini
kau selamat dalam genggamanku
ternyata ia pengkhianat sejati
menggoda kematian religi di segala tubuh
pergulatan terhebat
bukan mencari sensasi gelar posisi duniawi
tetapi melawan segala penipuan
yang akan terlempar ke lembah marakhayangan
lembah kepiluan, penyesalan teragung
tunggu sajalah nanti
jika tak percaya pada larik-larik puisi ini
napas di ujung maut
pertempuran hitam dan putih
apakah terhempas ke lembah lara
atau pulang ke kampung halaman terindah
berpikirlah,
jalan mana kan kau lalui
hanya ilmu dan amal jawabannya
HR RoS
Jakarta, 24,4,17
Romy Sastra II
satu-satu rasul pergi
yang bersemayam di dalam diri
sebagai jembatan religi menemui Ilahi Rabbi
telah jauh jejak langkah melaju
torehkan seribu satu cerita
tentang fananya dunia
bahwa kematian pasti terjadi
runtuh sudah gunung Thursina
sentuhan lembut tak lagi hangat
langit-langit hambar tak lagi berasa
pendengaran tak lagi berdenging, tuli
lidah patah perigi kering, dahaga
netra melirik tatapan buta
el-maut masih dalam perjalanan hampir tiba
sekejap saja sudah berada di depan rumah
riuh membuncah ruh-ruh
penggoda datang silih berganti
menyuguhkan menu-menu surgawi
padahal fatamorgana saja
sang sakaratul maut gundah
selera makan lahap terasa
seperti lapar terbaik
lelah dan payah habis berlari haus sekali
di mana, dan ke mana arah jalan pulang
nan ditempuh tak tahu destinasi abadi
laknatullah merayu pada satu titik ruh
kembalilah kepadaku wahai si fulan
istana megah menantimu di sana
ayah bundamu merindukan selalu
ikutlah bersamaku
sambutlah jemari kasih ini
kau selamat dalam genggamanku
ternyata ia pengkhianat sejati
menggoda kematian religi di segala tubuh
pergulatan terhebat
bukan mencari sensasi gelar posisi duniawi
tetapi melawan segala penipuan
yang akan terlempar ke lembah marakhayangan
lembah kepiluan, penyesalan teragung
tunggu sajalah nanti
jika tak percaya pada larik-larik puisi ini
napas di ujung maut
pertempuran hitam dan putih
apakah terhempas ke lembah lara
atau pulang ke kampung halaman terindah
berpikirlah,
jalan mana kan kau lalui
hanya ilmu dan amal jawabannya
HR RoS
Jakarta, 24,4,17
Stanza
#stanza
RINDU LARA DI SUDUT SENJA
Romy Sastra II
Semakin jauh kepergian mentari
Sesungguhnya, teriknya taklah padam
Ia ada pada mata hati menyinari jiwa
Redupnya sesaat, ada pelangi pengganti
Kilaunya sisakan sunset keemasan
Mentari adakala sembunyi bukan malu
Awan-awan petang menutupi langit
Bahwa pertanda siang akan berlalu
Tentang jingga menari bersama kupu-kupu
Rindu nan lara di sudut senja
Masih memetik asa pada aurora langit
Tegar berdiri meski sunyi
Berharap sang kejora merupa meski sekejap
Malam bercumbu rayu pada kerlip
Petiklah satu bintang!
Yang mampu menyinari malam-malam panjang
HR RoS
Jakarta, 23,04,2017
RINDU LARA DI SUDUT SENJA
Romy Sastra II
Semakin jauh kepergian mentari
Sesungguhnya, teriknya taklah padam
Ia ada pada mata hati menyinari jiwa
Redupnya sesaat, ada pelangi pengganti
Kilaunya sisakan sunset keemasan
Mentari adakala sembunyi bukan malu
Awan-awan petang menutupi langit
Bahwa pertanda siang akan berlalu
Tentang jingga menari bersama kupu-kupu
Rindu nan lara di sudut senja
Masih memetik asa pada aurora langit
Tegar berdiri meski sunyi
Berharap sang kejora merupa meski sekejap
Malam bercumbu rayu pada kerlip
Petiklah satu bintang!
Yang mampu menyinari malam-malam panjang
HR RoS
Jakarta, 23,04,2017
Sabtu, 22 April 2017
Septima
#septima
SADAR DIRI
Romy Sastra II
Laju layang-layang terbang melayang
Terbang tinggi jauh ke balik awan
Angan-angan hendak terbang ke bulan
Kaki di bumi terikat benang layangan
Impian diulit angan tak jadi kenyataan
Sadar diri, potret buram, cermin rusak
Lebih baik mengukur bayangan sebelum tumbang
Berkaca pada telapak tangan
Garis-garis nasib retak menyedihkan
Bukan tak percaya kepada suratan
Sesaat merenungi kisah hidup ke belakang, iqtibari
Ada misteri di depan mata menanti, sadari
Jangan lengah mendayung biduk bahtera
Sedangkan riak segara menyapa senja kian gamang
HR RoS
Jakarta, 22,04,2017
SADAR DIRI
Romy Sastra II
Laju layang-layang terbang melayang
Terbang tinggi jauh ke balik awan
Angan-angan hendak terbang ke bulan
Kaki di bumi terikat benang layangan
Impian diulit angan tak jadi kenyataan
Sadar diri, potret buram, cermin rusak
Lebih baik mengukur bayangan sebelum tumbang
Berkaca pada telapak tangan
Garis-garis nasib retak menyedihkan
Bukan tak percaya kepada suratan
Sesaat merenungi kisah hidup ke belakang, iqtibari
Ada misteri di depan mata menanti, sadari
Jangan lengah mendayung biduk bahtera
Sedangkan riak segara menyapa senja kian gamang
HR RoS
Jakarta, 22,04,2017
Jumat, 21 April 2017
Sektet
#Sektet
RA KARTINI
Romy Sastra II
Lilin itu memang tak nyala di rumah sendiri
Otak pribumi dijajah oleh kolonialis
Kartini terpasung dirantai di bilik sunyi
Sedangkan pijar menyala di sanubari
Generasi buta aksara dan hikmah
Dibodohi penjajah sejak dulu kala
Kartini bertanya pada kiyai
Di mana pintu langit berada
Kiyai terpana, resah
Mau menjabarkan pintu-pintu langit
Sayangnya, tangan kiyai terbelenggu Belanda
Bibir terkunci mewejang kalam
Kartini, kau bak pijar dari timur
Emansipasi wanita melawan penjajah
Negeri selama ini gelap, kau sang pencerah
Dari tinta hingga ke meja dakwah orasimu
Merdekakan kebodohan menuntut ilmu
Habis gelap terbitlah terang, semboyan itu
HR RoS
Jakarta, 21,04,2017
RA KARTINI
Romy Sastra II
Lilin itu memang tak nyala di rumah sendiri
Otak pribumi dijajah oleh kolonialis
Kartini terpasung dirantai di bilik sunyi
Sedangkan pijar menyala di sanubari
Generasi buta aksara dan hikmah
Dibodohi penjajah sejak dulu kala
Kartini bertanya pada kiyai
Di mana pintu langit berada
Kiyai terpana, resah
Mau menjabarkan pintu-pintu langit
Sayangnya, tangan kiyai terbelenggu Belanda
Bibir terkunci mewejang kalam
Kartini, kau bak pijar dari timur
Emansipasi wanita melawan penjajah
Negeri selama ini gelap, kau sang pencerah
Dari tinta hingga ke meja dakwah orasimu
Merdekakan kebodohan menuntut ilmu
Habis gelap terbitlah terang, semboyan itu
HR RoS
Jakarta, 21,04,2017
Kamis, 20 April 2017
Kwatrin
#kwatrin
MONOLOG KACA DIRI
By Romy Sastra II
Bermain rindu pada kunang-kunang
Kerlipnya sekejap redup menghilang
Bercintalah sepenuh hati pada yang tersayang
Raih kekasih dengan kasih sayang
Bersolek pada bayangan silam
Rupa abstrak fatamorgana kelam
Bercermin pada rasa dan jiwa
Biarkan akal mencari jawaban terindah
Jangan berkaca pada riak ego memandu
Kan terjatuh di kolam berlumpur, malu
berkaca pada cermin nan retak
wajah rancak nampak berserak
Mengukur diri jangan pada bayangan mimpi
Sedangkan mimpi adalah bayangan ilusi
Takkan didapatkan jawaban nan pasti
Semakin dikejar ia semakin berlari
Tersenyumlah sedikit pada nasib
Meski himpitan kian menjerit
Jangan biarkan otak menjadi sakit
Dunia ini tidaklah sempit
Singsingkan lengan hadapi dunia
Jangan lari dari kenyataan yang ada
Kehidupan ini berlanjut di depan mata
Jangan berhenti sebelum finish tiba
Tataplah dermaga jiwa
Layaran berlabuh membawa sukma
Jangan layu mata menatap cinta
Mentari batin tak pernah redup menyinarinya
HR RoS
Jkt, 20,04,2017
MONOLOG KACA DIRI
By Romy Sastra II
Bermain rindu pada kunang-kunang
Kerlipnya sekejap redup menghilang
Bercintalah sepenuh hati pada yang tersayang
Raih kekasih dengan kasih sayang
Bersolek pada bayangan silam
Rupa abstrak fatamorgana kelam
Bercermin pada rasa dan jiwa
Biarkan akal mencari jawaban terindah
Jangan berkaca pada riak ego memandu
Kan terjatuh di kolam berlumpur, malu
berkaca pada cermin nan retak
wajah rancak nampak berserak
Mengukur diri jangan pada bayangan mimpi
Sedangkan mimpi adalah bayangan ilusi
Takkan didapatkan jawaban nan pasti
Semakin dikejar ia semakin berlari
Tersenyumlah sedikit pada nasib
Meski himpitan kian menjerit
Jangan biarkan otak menjadi sakit
Dunia ini tidaklah sempit
Singsingkan lengan hadapi dunia
Jangan lari dari kenyataan yang ada
Kehidupan ini berlanjut di depan mata
Jangan berhenti sebelum finish tiba
Tataplah dermaga jiwa
Layaran berlabuh membawa sukma
Jangan layu mata menatap cinta
Mentari batin tak pernah redup menyinarinya
HR RoS
Jkt, 20,04,2017
Rabu, 19 April 2017
Puisi renungan
DI BAWAH POHON KAMBOJA TUA
RINTIHAN LIRIH
By Romy Sastra
Bulan sabit telah menggantung
di balik pohon kamboja
tanah merah belum digali
Perjalanan diri,
telah berada di ujung tanduk
sadari,
untuk menempuh ujung jalan
haruslah melalui pangkal jalan
pangkal jalan yang terdekat itu
adalah diri sendiri
Ketika dahan beringin tua patah
tunas-tunasnya berganti,
akar bertaut menjalin tirani
dan ketika daun-daunnya berguguran
bunga berputik tak menjadi layu
siklus tumbuhkan kembali
"Oh, misteri
jangan bayangi mimpi dengan el-maut
izinkan aku Tuhan, hidup seribu tahun lagi
beribadah sepanjang napas memandu
bila el-maut kan bertamu,
kembang setaman dan air doa kasih
shohibul bait persiapkan cangkul
ke tanah merah yang siap siaga menggali
"Oh, misteri
bukan puisi ini memanggil nan ditakuti
bukan juga doa sebelum takdir merintih
aku masih punya cinta untuk sang kekasih
jangan kau ulit aku
dengan mimpi-mimpi misteri itu
Di bawah kamboja tua
lamunan terpaku sendu
Diri?"
Adakah amal ibadah kau dekap
selimuti arwah tidur panjangmu di sana
Ya Illahi,
izinkan hamba melafazkan seribu istighfar
di setiap lengah sepanjang hari dalam jiwa ini
biar tak sia-sia hamba dihidupkan kembali
lautan dosa keringlah!
Jadikan telaga amal surgawi tuk bermandi
Ketika doa tak terkirim kepada Illahi Rabbi
sesal dirundung duka tak berkesudahan
tangis lara tak henti di sana selamanya....
HR RoS
Jakarta, 05-2-2016, 00,00
RINTIHAN LIRIH
By Romy Sastra
Bulan sabit telah menggantung
di balik pohon kamboja
tanah merah belum digali
Perjalanan diri,
telah berada di ujung tanduk
sadari,
untuk menempuh ujung jalan
haruslah melalui pangkal jalan
pangkal jalan yang terdekat itu
adalah diri sendiri
Ketika dahan beringin tua patah
tunas-tunasnya berganti,
akar bertaut menjalin tirani
dan ketika daun-daunnya berguguran
bunga berputik tak menjadi layu
siklus tumbuhkan kembali
"Oh, misteri
jangan bayangi mimpi dengan el-maut
izinkan aku Tuhan, hidup seribu tahun lagi
beribadah sepanjang napas memandu
bila el-maut kan bertamu,
kembang setaman dan air doa kasih
shohibul bait persiapkan cangkul
ke tanah merah yang siap siaga menggali
"Oh, misteri
bukan puisi ini memanggil nan ditakuti
bukan juga doa sebelum takdir merintih
aku masih punya cinta untuk sang kekasih
jangan kau ulit aku
dengan mimpi-mimpi misteri itu
Di bawah kamboja tua
lamunan terpaku sendu
Diri?"
Adakah amal ibadah kau dekap
selimuti arwah tidur panjangmu di sana
Ya Illahi,
izinkan hamba melafazkan seribu istighfar
di setiap lengah sepanjang hari dalam jiwa ini
biar tak sia-sia hamba dihidupkan kembali
lautan dosa keringlah!
Jadikan telaga amal surgawi tuk bermandi
Ketika doa tak terkirim kepada Illahi Rabbi
sesal dirundung duka tak berkesudahan
tangis lara tak henti di sana selamanya....
HR RoS
Jakarta, 05-2-2016, 00,00
Tarzina
#Tarzina
DEMOKRASI DAMAI
By Romy Sastra II
Siang tadi pesta di kotaku terjadi
Pesta di panggung demokrasi
Damai sekali
Demokrasi potret perubahan
Jangan tuan-tuan gontok-gontokan
Malu sama anak kecil jadi tontonan
Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah
Yang menang jangan bangga
Ingat janji-janji jangan lupa
Ketika janji tuan tepati
Kami angkat tuan kembali
Jadilah pemimpin yang berbakti
Kalau tuan korupsi lupa amanah
Jangan salahkan alam murka
Kukutuk tuan masuk penjara
Jadilah pemimpin berwibawa
Disayang oleh sesama
Kuanggap dikau manusia setengah dewa
Putih jangan jadi abu-abu
Abu adalah debu
Jangan buat malu
HR RoS
Jakarta, 19,04,17
DEMOKRASI DAMAI
By Romy Sastra II
Siang tadi pesta di kotaku terjadi
Pesta di panggung demokrasi
Damai sekali
Demokrasi potret perubahan
Jangan tuan-tuan gontok-gontokan
Malu sama anak kecil jadi tontonan
Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah
Yang menang jangan bangga
Ingat janji-janji jangan lupa
Ketika janji tuan tepati
Kami angkat tuan kembali
Jadilah pemimpin yang berbakti
Kalau tuan korupsi lupa amanah
Jangan salahkan alam murka
Kukutuk tuan masuk penjara
Jadilah pemimpin berwibawa
Disayang oleh sesama
Kuanggap dikau manusia setengah dewa
Putih jangan jadi abu-abu
Abu adalah debu
Jangan buat malu
HR RoS
Jakarta, 19,04,17
Selasa, 18 April 2017
Distikon
#Distikon
SINOPSIS KISAH KASIH
Romy Sastra II
Boleh bersedih jangan menangis
Rasa hiba bunga jiwa yang manis
Boleh saja berduka jangan biarkan hati resah
Sedangkan kisah adalah guru terindah
Bernyanyilah menghibur diri
Bunga-bunga yang layu semoga bersemi
Bercerita tentang lembaran usang
Semoga impian silam terkenang
Bayu membawa kabar rindu
Diam tak berbisik menjadi bisu
Sinopsis kisah kasih dendam tak sudah
Mimpi-mimpi cinta jadi cerita lara
HR RoS
Jakarta, 18,04,17
Minggu, 16 April 2017
Prosaliris
#repost
JEMBATAN KUBANG NYANYIAN JIWA
Romy Sastra II
i
tirani adat dalam kaum, bergulir kepada zaman untuk peradaban tak bertuan kala itu, generasi Bayang dimulai dari sebuah ekspedisi para tuanku, alam berkembang disebabkan pecahnya kearifan istana di tungku tiga sejarangan dalam percaturan kekuasaan di tangan raja yang terkudeta oleh konflik aturan dalam kekeluargaan melahirkan keturunan ke berbagai seantero bumi Melayu
ii
Bayang sebuah negeri ekspedisi tuanku raja penghulu adat, membawa empat suku dari negeri Solok Alahan Panjang, titipan tutur tuah tuanku di bawah panji adat istana Pagaruyung Minangkabau
iii
dendang indang nyanyian penunggu rimba bersahutan di hulu, si bunian melestarikan budaya pada kearifan alam, jagalah hutan dengan cinta, jangan tergerus titipan penguasa alam pada kelangsungan hidup akan terus berlanjut, yang menimbulkan bencana tiba-tiba, rusuh laju aliran air bergemuruh banjir bertamu mengalir ke perkampungan menuju samudera, risau tertumpah di dada mengingat ikatan jembatan jangan terlepas oleh hempasan deburan air bah
iv
si bujang tertegun dalam igauan,
kala lamunan menyentuh kasih memadah kisah di atas aliran air batang Bayang di jembatan tua, ketika petang telah tenggelam, kumandang azan menabuh segala ruh, sujudkan diri menghadap Ilahi, senja berlalu, kita yang pernah bernyanyi lagu-lagu kenangan di jembatan tua itu,
nyanyikan tembang jiwa di kala senja menjajah malam menikam kelam, remang kisah hidup duduknya si anak bujang petik seruling bisu siulan dungu, bahwa tepian jadi saksi cerita yang tak pernah sudah
v
batang Bayang dalam nyanyian jiwa
dekade telah berlalu sisakan selaksa cerita pada jembatan tua, bahwa di sana kisah bercumbu, sepoinya angin malam menatap kejora malam di dada langit,
kisah belum menepi di derap langkah kian payah menempuh senja, sedangkan putik telah berbuah, di berbagai jejak-jejak kelana putra daerah di perantauan di mana ia mengadu nasib, entah kapan dikau kembali kita bersua di sini di jembatan goyang yang telah bisu ditelan waktu, saksi riak kadangkala deburan menyapa laju jembatan tua, hampir putus digerus sewaktu-waktu
vi
kawan,
lihatlah titian yang terpilin oleh arus bah, teronggok sudah jadi sejarah zaman pada regenerasi titian sepintas berlari ke seberang dan titian ini pernah kita lalui bersama, ya, cerita kita pernah tertitip di sini, kisah kita bukan cerita semusim,
tapi cerita yang pernah mabuk dengan kecubung, sebatang rokok filter dan sebatang tebu yang pernah kita ambil di pinggir jalanan di depan rumah orang, sampai-sampai si pemilik tebu sumpah serapah, kalau tebunya hilang sebatang di malam hari,
kita berjuntai menyusun cerita kala malam, menatap purnama, ada cerita tentang dunia ini indah dan tentang ikrar asmara cinta yang membuat semangat muda mudi bergairah menatap langit pada purnama dan kejora mencumbui si pungguk yang merana
vii
kepada malam yang dingin di ujung jembatan kita berjuntai, petikkan gitar tua, bahwa dalam sebuah irama lagu kisah kasih di sekolah masih terasa indah hingga kini
viii
ah, kau cerita yang tersisa pada negeri yang kucintai, dari titipan leluhur pujangga adat dari istana berkelana membawa peradaban zaman ke negeri Bayang,
Kubang nagari nan denai cinto
HR RoS
Jkt, 17,2,17
JEMBATAN KUBANG NYANYIAN JIWA
Romy Sastra II
i
tirani adat dalam kaum, bergulir kepada zaman untuk peradaban tak bertuan kala itu, generasi Bayang dimulai dari sebuah ekspedisi para tuanku, alam berkembang disebabkan pecahnya kearifan istana di tungku tiga sejarangan dalam percaturan kekuasaan di tangan raja yang terkudeta oleh konflik aturan dalam kekeluargaan melahirkan keturunan ke berbagai seantero bumi Melayu
ii
Bayang sebuah negeri ekspedisi tuanku raja penghulu adat, membawa empat suku dari negeri Solok Alahan Panjang, titipan tutur tuah tuanku di bawah panji adat istana Pagaruyung Minangkabau
iii
dendang indang nyanyian penunggu rimba bersahutan di hulu, si bunian melestarikan budaya pada kearifan alam, jagalah hutan dengan cinta, jangan tergerus titipan penguasa alam pada kelangsungan hidup akan terus berlanjut, yang menimbulkan bencana tiba-tiba, rusuh laju aliran air bergemuruh banjir bertamu mengalir ke perkampungan menuju samudera, risau tertumpah di dada mengingat ikatan jembatan jangan terlepas oleh hempasan deburan air bah
iv
si bujang tertegun dalam igauan,
kala lamunan menyentuh kasih memadah kisah di atas aliran air batang Bayang di jembatan tua, ketika petang telah tenggelam, kumandang azan menabuh segala ruh, sujudkan diri menghadap Ilahi, senja berlalu, kita yang pernah bernyanyi lagu-lagu kenangan di jembatan tua itu,
nyanyikan tembang jiwa di kala senja menjajah malam menikam kelam, remang kisah hidup duduknya si anak bujang petik seruling bisu siulan dungu, bahwa tepian jadi saksi cerita yang tak pernah sudah
v
batang Bayang dalam nyanyian jiwa
dekade telah berlalu sisakan selaksa cerita pada jembatan tua, bahwa di sana kisah bercumbu, sepoinya angin malam menatap kejora malam di dada langit,
kisah belum menepi di derap langkah kian payah menempuh senja, sedangkan putik telah berbuah, di berbagai jejak-jejak kelana putra daerah di perantauan di mana ia mengadu nasib, entah kapan dikau kembali kita bersua di sini di jembatan goyang yang telah bisu ditelan waktu, saksi riak kadangkala deburan menyapa laju jembatan tua, hampir putus digerus sewaktu-waktu
vi
kawan,
lihatlah titian yang terpilin oleh arus bah, teronggok sudah jadi sejarah zaman pada regenerasi titian sepintas berlari ke seberang dan titian ini pernah kita lalui bersama, ya, cerita kita pernah tertitip di sini, kisah kita bukan cerita semusim,
tapi cerita yang pernah mabuk dengan kecubung, sebatang rokok filter dan sebatang tebu yang pernah kita ambil di pinggir jalanan di depan rumah orang, sampai-sampai si pemilik tebu sumpah serapah, kalau tebunya hilang sebatang di malam hari,
kita berjuntai menyusun cerita kala malam, menatap purnama, ada cerita tentang dunia ini indah dan tentang ikrar asmara cinta yang membuat semangat muda mudi bergairah menatap langit pada purnama dan kejora mencumbui si pungguk yang merana
vii
kepada malam yang dingin di ujung jembatan kita berjuntai, petikkan gitar tua, bahwa dalam sebuah irama lagu kisah kasih di sekolah masih terasa indah hingga kini
viii
ah, kau cerita yang tersisa pada negeri yang kucintai, dari titipan leluhur pujangga adat dari istana berkelana membawa peradaban zaman ke negeri Bayang,
Kubang nagari nan denai cinto
HR RoS
Jkt, 17,2,17
Puisi pilkada
INTRIK-INTRIK JANGKRIK
Romy Sastra II
dua hari lagi
anak-anak kecil
bermain di kamar sempit
intrik-intrik licik
kendali otak sakit
hipokrit abaikan demokrasi
pasang kuda-kuda
gerilya cari mangsa
coblos pilihan pilkada ibukota
saling sikat sikut
menjatuhkan lawan
hakikatnya kau pun bersaudara
kenapa selimut kotor
kau pakai berpesta
kami bukan bodoh mengawal kinerja
jangkrik genggong
obral janji tuk negeri
membenahi alasan kemajuan
padahal oportunis saja
hajatmu terselubung noda
pesta-pesta borjou di tengah kota
anak-anak kecil dungu
siulan jangkrik dipercaya
nanti rumahmu digusur juga
pilihlah aku
karena aku mampu
membuat perubahan kota
perubahan apa
ya, perubahan kata
dari kata penggusuran, ke penertiban
Hahahahaha....
HR RoS
Jakarta, 17,04,2017
Romy Sastra II
dua hari lagi
anak-anak kecil
bermain di kamar sempit
intrik-intrik licik
kendali otak sakit
hipokrit abaikan demokrasi
pasang kuda-kuda
gerilya cari mangsa
coblos pilihan pilkada ibukota
saling sikat sikut
menjatuhkan lawan
hakikatnya kau pun bersaudara
kenapa selimut kotor
kau pakai berpesta
kami bukan bodoh mengawal kinerja
jangkrik genggong
obral janji tuk negeri
membenahi alasan kemajuan
padahal oportunis saja
hajatmu terselubung noda
pesta-pesta borjou di tengah kota
anak-anak kecil dungu
siulan jangkrik dipercaya
nanti rumahmu digusur juga
pilihlah aku
karena aku mampu
membuat perubahan kota
perubahan apa
ya, perubahan kata
dari kata penggusuran, ke penertiban
Hahahahaha....
HR RoS
Jakarta, 17,04,2017
Puisi
TEROPONG BATIN BERDARAH
By Romy Sastra
wahyu tertutup sudah di garis batas ambiya
tak ada lagi warta hakiki selain sabda
petuah wali keramat nan bertuah
bisu di pusara mimpi
adakala wangsit dipercaya
Jibril tak turun lagi ke muka bumi
membawa pesan ILLAHI
setia sajalah pada titah awal berlaku
sunatullah
Khidir masih bertapa bisu
di garis pantai tak bertepi
memandang sagara lepas tak berujung
pusara segitiga bermuda dahaga sudah
memuntahkan lahar api ke seantero dunia
teropong batinku berdarah
semalam,
seribu satu lafaz kukirimkan ke langit
langit mendung,
gumpalan awan hitam menyelimuti malam
rinainya berdarah di bumi nusantara
adakah gejolak di depan mata
bom waktu meledak tiba-tiba
"ah... resah,
biarlah takdir mengiringi pelangi
semogalah tumbuh benih-benih regenerasi
yang memayungi buana
tentang cakrawala pagi
menyinari dunia kembali
di negeri pertiwi tanah emas
pertapaan rasa puisiku berharap
koloni awan hitam rinaikan darah
tak menatap lagi
jangan risau bermain pada puisi
bersinarlah wahai dunia
biarkan mentari selalu menyinari
jangan tutup dengan kabut misteri
biarkan senja bertasbih di pertapaan religi
menyinari jiwa-jiwa yang gelap
HR RoS
Jakarta,17012017
Jumat, 14 April 2017
Puisi religi
TERJAUH PADAHAL IA TERDEKAT
Oleh Romy Sastra II
Duduk melipat lidah menyentuh langit
merenda rasa ke dalam jiwa
doa-doa bertarung di angkasa
berputar bermain bersama nebula
destinasi Tuhan perjalanan terjauh
padahal Ia dekat sekali
Terbuka sembilan jendela rumah
nafsu-nafsu lepas mencari kesenangan
yang dicari tak jua menemukan jawaban
meski berkelana ke ujung dunia
yang ditemukan tetap kepalsuan
Menutup sembilan pintu diri
pada jejak-jejak wali
berpeluh mendaki makam keimanan
butiran zam-zam mengalir di segala pori
hidangan kalam jamuan asyik
menuju titik destinasi terjauh
yang dituju telah bertamu tak disadari
Kematian terindah senyum menatap cinta
meski el-maut datang menakutkan
tak gentar rubuhnya gunung Thursina menimpa
tak ciut nyali meski gelap tertutup terik
sadar pada hayat sejati akan dijelang
rindu kematian adalah kwalitas iman
Sesungguhnya di dunia adalah tertidur
ketika terjaga nanti baru tahu destinasi
HR RoS
Jkt,18112016
Oleh Romy Sastra II
Duduk melipat lidah menyentuh langit
merenda rasa ke dalam jiwa
doa-doa bertarung di angkasa
berputar bermain bersama nebula
destinasi Tuhan perjalanan terjauh
padahal Ia dekat sekali
Terbuka sembilan jendela rumah
nafsu-nafsu lepas mencari kesenangan
yang dicari tak jua menemukan jawaban
meski berkelana ke ujung dunia
yang ditemukan tetap kepalsuan
Menutup sembilan pintu diri
pada jejak-jejak wali
berpeluh mendaki makam keimanan
butiran zam-zam mengalir di segala pori
hidangan kalam jamuan asyik
menuju titik destinasi terjauh
yang dituju telah bertamu tak disadari
Kematian terindah senyum menatap cinta
meski el-maut datang menakutkan
tak gentar rubuhnya gunung Thursina menimpa
tak ciut nyali meski gelap tertutup terik
sadar pada hayat sejati akan dijelang
rindu kematian adalah kwalitas iman
Sesungguhnya di dunia adalah tertidur
ketika terjaga nanti baru tahu destinasi
HR RoS
Jkt,18112016
Puisi
SIULAN BISU KEPADA NONA
By Romy Sastra II
sang bayu melaju membawa rindu
tentang senja telah berlalu
di segara riak kirimkan ombak ke bibir pantai
pasir menyambut tarian buih gemulai
imaji menempuh destinasi suatu hati
camar-camar nyanyikan kedamaian
tentang malam enggan purnama
rinduku telah tiba di awal malam
sedangkan langit masih saja berawan
nun kerlip kejora mulai bermain cinta
bercumbu mesra di dada langit
seketika ia pun tenggelam
impian rinduku dibuai bayang-bayang
seperti bertepuk sebelah tangan
aku teringat kepada nona
yang kukenal siang tadi
entah mimpi ataukah ilusi bermain hari
rasanya tidak,
aku menyapanya dengan senyum mesra
bersiul manja,
dikau tak menoleh sama sekali
ah,
memang siulanku tak bernada
aku mencumbuimu lewat rasa
pantas saja dikau tak tersentuh
rayuanku bisu karena lidah kelu, malu
takut dikau menolak bunga pemberianku
memang, bunga pemberian dariku
hanya puisi
tentang rindu tertitip di ranting kering
daun-daun enggan tumbuh
sedangkan siklus telah berganti
dari musim gugur ke musim semi
terimalah persembahan puisiku nona
meski dikau tak membalas sapaanku siang tadi
imaji kepada nona tak terurai
impian hatiku akhirnya tak sampai
HR RoS
Jkt, 13-04-2017
By Romy Sastra II
sang bayu melaju membawa rindu
tentang senja telah berlalu
di segara riak kirimkan ombak ke bibir pantai
pasir menyambut tarian buih gemulai
imaji menempuh destinasi suatu hati
camar-camar nyanyikan kedamaian
tentang malam enggan purnama
rinduku telah tiba di awal malam
sedangkan langit masih saja berawan
nun kerlip kejora mulai bermain cinta
bercumbu mesra di dada langit
seketika ia pun tenggelam
impian rinduku dibuai bayang-bayang
seperti bertepuk sebelah tangan
aku teringat kepada nona
yang kukenal siang tadi
entah mimpi ataukah ilusi bermain hari
rasanya tidak,
aku menyapanya dengan senyum mesra
bersiul manja,
dikau tak menoleh sama sekali
ah,
memang siulanku tak bernada
aku mencumbuimu lewat rasa
pantas saja dikau tak tersentuh
rayuanku bisu karena lidah kelu, malu
takut dikau menolak bunga pemberianku
memang, bunga pemberian dariku
hanya puisi
tentang rindu tertitip di ranting kering
daun-daun enggan tumbuh
sedangkan siklus telah berganti
dari musim gugur ke musim semi
terimalah persembahan puisiku nona
meski dikau tak membalas sapaanku siang tadi
imaji kepada nona tak terurai
impian hatiku akhirnya tak sampai
HR RoS
Jkt, 13-04-2017
Rabu, 12 April 2017
Prosaliris
#Repost_SajakLukaLara
RINDU YANG TAK KEMBALI
By Romy Sastra II
Untukmu kenangan yang terlupakan, senandung rindu merayu kisah yang pernah bersemi, telah padam, lembaran usang berharap jadi bahagia, menggoda rindu kembali. Pernah sesaat berkasih sayang di tengah jalan kisah terkhianati berbuah kecewa. Di peraduan sajak senja merona, kugubah suatu memori pernah kunyanyikan di pentas kekasih, singgah di hati sang kekasih yang tersisih.
Di jalan memori kuberdiri kini, khayal menatap sekelabat bayangan abstrak, tetiba pergi meninggalkan tanya? Adakah pertanda rindu masa silam kembali lagi? "Aahh, paranoid, kenapa tak pernah hilang!" sedangkan mimpi telah berlalu, ilusi kisah pun yang menyedihkan pada suatu pilihan di persimpangan jalan telah bisu, meninggalkan kepedihan luka tak berdarah tentang cinta setengah hati terbagi antara harap emas dan suasa.
Risau mendera menatap kisah terkubur dalam peti terkunci mati, rindu di antara rasa menyapa pada lamunan sunyi terasa semu disemai sepoi mamiri, rindu ternyata tak kembali.
Pada kekasih yang dulu terjalin janji, tuk menoktah ikrar hati sampai bersemi hingga ke nisan tanah merah, jejak-jejak tinta kususuri tak lagi tampak pada jalan testimoni maya mencari rupa cinta, karena tertutup kabus pekat di dinding kebisuan. Rindunya pun tak pernah beri kabar lagi. Apakah ia telah pulang selama-lamanya menghadap Illahi, ataukah sudah bahagia bersama kehidupan yang diimpikan pada kilauan emas, di ranjang bersulam sutera bertilam permadani, mencampakkan suasa tak berharga lagi.
"Aahh... biarlah rindu tak kembali
jikalau harap terperap berbuah senap,
sengaja jalan memori kubuka dalam lamunan tiba-tiba.
Bahwa satu hati pernah kecewa, meski pintu maaf selalu diberi
tak jua menjadi penyelesaian konflik-konflik perasaan pernah terjadi.
Testimoni potret kisah nan lara
jadi sinopsis kecewa
HR RoS
Jkt, 4122016
RINDU YANG TAK KEMBALI
By Romy Sastra II
Untukmu kenangan yang terlupakan, senandung rindu merayu kisah yang pernah bersemi, telah padam, lembaran usang berharap jadi bahagia, menggoda rindu kembali. Pernah sesaat berkasih sayang di tengah jalan kisah terkhianati berbuah kecewa. Di peraduan sajak senja merona, kugubah suatu memori pernah kunyanyikan di pentas kekasih, singgah di hati sang kekasih yang tersisih.
Di jalan memori kuberdiri kini, khayal menatap sekelabat bayangan abstrak, tetiba pergi meninggalkan tanya? Adakah pertanda rindu masa silam kembali lagi? "Aahh, paranoid, kenapa tak pernah hilang!" sedangkan mimpi telah berlalu, ilusi kisah pun yang menyedihkan pada suatu pilihan di persimpangan jalan telah bisu, meninggalkan kepedihan luka tak berdarah tentang cinta setengah hati terbagi antara harap emas dan suasa.
Risau mendera menatap kisah terkubur dalam peti terkunci mati, rindu di antara rasa menyapa pada lamunan sunyi terasa semu disemai sepoi mamiri, rindu ternyata tak kembali.
Pada kekasih yang dulu terjalin janji, tuk menoktah ikrar hati sampai bersemi hingga ke nisan tanah merah, jejak-jejak tinta kususuri tak lagi tampak pada jalan testimoni maya mencari rupa cinta, karena tertutup kabus pekat di dinding kebisuan. Rindunya pun tak pernah beri kabar lagi. Apakah ia telah pulang selama-lamanya menghadap Illahi, ataukah sudah bahagia bersama kehidupan yang diimpikan pada kilauan emas, di ranjang bersulam sutera bertilam permadani, mencampakkan suasa tak berharga lagi.
"Aahh... biarlah rindu tak kembali
jikalau harap terperap berbuah senap,
sengaja jalan memori kubuka dalam lamunan tiba-tiba.
Bahwa satu hati pernah kecewa, meski pintu maaf selalu diberi
tak jua menjadi penyelesaian konflik-konflik perasaan pernah terjadi.
Testimoni potret kisah nan lara
jadi sinopsis kecewa
HR RoS
Jkt, 4122016
Senin, 10 April 2017
Puisi perang
DARAH DUKA BOCAH,
DUNIA TAK BERMATA
TAK BERTELINGA
Karya Romy Sastra II
duka lara nestapa miris sudah
hancur berantakkan bermandi darah
SADIS
ada apa gerangan tragedi ini
berjuta jiwa terbantai
dari manusia-manusia bengis
ya Allah
tangan ini menengadah jauh ke labirin jiwa
kurangkai bersama syair puisi hiba
beribu tanya,
ke manakah kedamaian dunia dicampakkan
jeritan anak tak beribu tak lagi dirindu
jeritan yatim piatu kian pilu
ironis,
bibit-bibit pun mati musnah jadi debu
riak pasir terpijak di pinggir jalan berbisik
bertanya pipit pada ilalang
tegarlah berdiri wahai ilalang, meski tanah ini gersang
kenapa bom waktu membakar padang
sedangkan kota-kota hangus tak bertuan
malang
geruduk si bengis peluru mortil
kuda-kuda bebal berlapis baja
hanya membantai anak-anak kecoa saja
kau meniup abu di tungku api
yang tak membara
apa makna pembantaian itu wahai dunia
hidup ini adalah ladang ibadah
kenapa kau buat opera gila
kepentingan nafsu dunia sesaat
padahal umur dunia seumur jagung
bukalah matamu wahai
monster-monster berjubah dewa
dengarkan jeritan tangis hiba peperangan
nuranimu bukanlah hewan
tapi masih manusia biasa
sama seperti mereka yang berdarah-darah
genosida itu
kau budayakan di tanah yang diberkahi
tanah mereka berlumuran darah
tanah yang rela dilumuri noda
manusianya kau manusiakanlah
apakah kau dajjal tak berjiwa itu
ya Illahi
sudahilah pertempuran itu
damaikan bumi ini
biarkan mereka berlari
mengejar impian cinta-Mu dengan hati
atau Engkau lenyapkan sajalah
bumi ini seketika
hingga darah bocah tak berdosa itu
tak tercecer ke mana-mana
ya Allah....
HR RoS
Jakarta, 11-1-2016 21,16
Minggu, 09 April 2017
Puisi bunga-bunga mimpi
BUNGA-BUNGA MIMPI
By Romy Sastra
skenario hari tentang senja kan pergi
sisakan sunset di kaki langit
menuai malam lelap berselimut mimpi
cerminan diri pada rona hati
terbawa ke dalam layar bayangan tidur
tentang sekuntum bunga senja
mimosa pudica tertumpang butiran embun
layu tak tersentuh malu
bunga-bunga mimpi tenggelam tak berkenyataan
ooh, kabut petang, iringi merpati pulang
malam hampir tiba
sedangkan bidadari enggan merupa
adakah benar bunga-bunga mimpi
kan kembali menari, entahlah....
HR RoS
Jkt, 22/01/2017
By Romy Sastra
skenario hari tentang senja kan pergi
sisakan sunset di kaki langit
menuai malam lelap berselimut mimpi
cerminan diri pada rona hati
terbawa ke dalam layar bayangan tidur
tentang sekuntum bunga senja
mimosa pudica tertumpang butiran embun
layu tak tersentuh malu
bunga-bunga mimpi tenggelam tak berkenyataan
ooh, kabut petang, iringi merpati pulang
malam hampir tiba
sedangkan bidadari enggan merupa
adakah benar bunga-bunga mimpi
kan kembali menari, entahlah....
HR RoS
Jkt, 22/01/2017
Puisi
SEMUA TENTANGKU
By Romy Sastra
berkaca diri pada bayangan silam
menatap khayal dalam kelam
aku majenun, paranoid malam
dalam gugusan cahaya temaram
dihantui goresan yang menikam
kala gundah membuncah lara
sulaman yang selalu dirobek
ditenun kembali dengan tabah
menjadi gaun-gaun cinta
tetap saja koyak, tak berenda
Semua tentangku,
salah menumpuk dalam tuduhan pahit
aku terima saja, meski terhina
kan kucabari ke-egoan bara api
membakar ranting-ranting patah
dalam gentingnya tali buaian kasih
masih tersisa setetes embun
'tuk basahi gejolak tak pernah sudah
jalan nan berlumpur
pada jejak yang telah goyah
arah mana kan dilalui lagi
jalan itu basah semua, ternoda
pertemuan sudah tak semesti
genggaman jemari tak lagi mesra
asmara berbunga benalu
titian kasih terurai pada benang merah
melaju gita cinta di arah yang tak sama
Sekuntum bunga nan pernah harum
menutup rindu
larung sajalah rasa menyulam bisu
jika kertas tak mampu membungkus bara
"aah... satu kisah
dalam makna lingkaran cinta
jalinan menjadi sia-sia saja....
HR RoS
Jkt,24/01/2017
By Romy Sastra
berkaca diri pada bayangan silam
menatap khayal dalam kelam
aku majenun, paranoid malam
dalam gugusan cahaya temaram
dihantui goresan yang menikam
kala gundah membuncah lara
sulaman yang selalu dirobek
ditenun kembali dengan tabah
menjadi gaun-gaun cinta
tetap saja koyak, tak berenda
Semua tentangku,
salah menumpuk dalam tuduhan pahit
aku terima saja, meski terhina
kan kucabari ke-egoan bara api
membakar ranting-ranting patah
dalam gentingnya tali buaian kasih
masih tersisa setetes embun
'tuk basahi gejolak tak pernah sudah
jalan nan berlumpur
pada jejak yang telah goyah
arah mana kan dilalui lagi
jalan itu basah semua, ternoda
pertemuan sudah tak semesti
genggaman jemari tak lagi mesra
asmara berbunga benalu
titian kasih terurai pada benang merah
melaju gita cinta di arah yang tak sama
Sekuntum bunga nan pernah harum
menutup rindu
larung sajalah rasa menyulam bisu
jika kertas tak mampu membungkus bara
"aah... satu kisah
dalam makna lingkaran cinta
jalinan menjadi sia-sia saja....
HR RoS
Jkt,24/01/2017
Puisi kehilangan sahabat
SAHABAT ITU DI MANA KINI
Romy Sastra II
aku bisikkan sapa diksi lewat tinta
di goresan ini menyapa memori
dalam lingkaran maya,
dekapi kertas, berbahasa bisu
kembalilah di sini di jalan ini, sahabatku
izinkan daku bertemu dikau sekali lagi
meski hari-hari yang berlalu,
telah jauh tinggalkan cerita
kita yang dulu berdiri di jalan yang berliku
kenapa kini kau menghilang dari pandangan
membuat tatapanku tertunduk layu
menatap bayang-bayang yang dulu ada
oh, sahabatku
di pos pemberhentian itu
kita dulu tertawa bersama
kala penat dalam keseharian mengikat tubuh dari peluh riuh
menyulam masa depan di jalan yang berbeda
kini, aku kehilanganmu....
akankah kau sadari sahabat
dikau sungguh berarti bagiku
kembalilah ke sini
di pos ini aku menunggu rindu
bawalah senyuman indah untukku
kutitip harapan padamu,
kita bersama kembali membangun kemesraan
bergandeng tangan dalam suka maupun duka
janganlah sembunyi di balik resah
jangan kau biarkan aku sepi sedih sendiri
hingga jalan ini sunyi
pos senyuman kita tak lagi terisi
kembalilah sahabatku,
jangan pergi lagi dariku
aku di sini menantimu
dengan sebait puisi rindu setia bersamamu
bimbinglah aku, sekiranya aku lemah
maafkanlah aku,
sekiranya kau pernah terluka
meski satu lilin di tangan ini
tak mampu pijarnya menyalakan ruangan
kuingin sebuah senyuman
kembalilah tertawa menghalau kecewa
sebak yang pernah menyeruak di dada
larungkan saja
HR RoS
Jakarta, 09/04/2017
#menyapa_sahabat_yang_di_sana
Sabtu, 08 April 2017
Puisi
LONCENG KEMATIAN
Karya Romy Sastra
deru ruh gelisah diam membisu
kala takdir hayat terhenti pada janji
lonceng kematian akan tiba di liang rongga
lonceng tak berdenging diam sudah
satu persatu ruh di badan luruh
mendahului kematian segala tubuh
ruh tunggal akhir kepergian
meninggalkan bangkai
liang sami' sunyi
kelopak mata melotot
netra bathin tak lagi berkerlip
gunung thursina ciut kerontang
ari disentuh bak salju tergelincir pilu
dahaga alang kepalang meminta air idaman
selera makan lahap tak lagi tertelan
yang dimakan bayang-bayang
lonceng kematian menakutkan
el-maut tak kenal hiba
rupanya merontokkan bulu roma
kerjanya seperti menghempas gunung merapi
memuntahkan lahar ke segala nadi
takut, sungguh menakutkan
ke mana lolongan pedih berlari
se-isi bumi masa bodo
berharap tetesan doa ahlul bait membisik
tak jua tertolong
lonceng kematian tetap jua terjadi
HR RoS
Jakarta, 02012017
Karya Romy Sastra
deru ruh gelisah diam membisu
kala takdir hayat terhenti pada janji
lonceng kematian akan tiba di liang rongga
lonceng tak berdenging diam sudah
satu persatu ruh di badan luruh
mendahului kematian segala tubuh
ruh tunggal akhir kepergian
meninggalkan bangkai
liang sami' sunyi
kelopak mata melotot
netra bathin tak lagi berkerlip
gunung thursina ciut kerontang
ari disentuh bak salju tergelincir pilu
dahaga alang kepalang meminta air idaman
selera makan lahap tak lagi tertelan
yang dimakan bayang-bayang
lonceng kematian menakutkan
el-maut tak kenal hiba
rupanya merontokkan bulu roma
kerjanya seperti menghempas gunung merapi
memuntahkan lahar ke segala nadi
takut, sungguh menakutkan
ke mana lolongan pedih berlari
se-isi bumi masa bodo
berharap tetesan doa ahlul bait membisik
tak jua tertolong
lonceng kematian tetap jua terjadi
HR RoS
Jakarta, 02012017
Kamis, 06 April 2017
#kwatrin
#kwatrin TAFAKUR
Romy Sastra II
Seberapa lama tarikh napas mengisi hari
Semenjak roh bersaksi akan mengabdi
Dari azali hingga kini dan nanti
Sadarilah, bahwa ia selalu memuji
Pada denyut nadi tarian diri
Jantung dan hati saling bernyanyi
Kenapa telinga tak mampu mendengar, apakah tuli
Sadarilah, dunia ini hanya igauan mimpi
Tafakurlah sejenak mengenang akhirat
Tersungkur menangis sekejap
Jalan pulang kian mendekat
Sadarilah, matahari sudah rebah ke barat
HR RoS
Jakarta, 06/04/2017
Romy Sastra II
Seberapa lama tarikh napas mengisi hari
Semenjak roh bersaksi akan mengabdi
Dari azali hingga kini dan nanti
Sadarilah, bahwa ia selalu memuji
Pada denyut nadi tarian diri
Jantung dan hati saling bernyanyi
Kenapa telinga tak mampu mendengar, apakah tuli
Sadarilah, dunia ini hanya igauan mimpi
Tafakurlah sejenak mengenang akhirat
Tersungkur menangis sekejap
Jalan pulang kian mendekat
Sadarilah, matahari sudah rebah ke barat
HR RoS
Jakarta, 06/04/2017
Rabu, 05 April 2017
Prosaliris
#repost
SURAT UNTUK PERANG DUNIA KETIGA
Romy Sastra II
Wahai penghuni bumi, sejarah telah mencatat, betapa kejamnya penjajahan itu.
Menderita kehidupan di bawah langit, kan kami rasakan nanti.
Dulu Nagasaki dan Hiroshima jadi abu,
Eropa, Asia, Afrika dan Amerika menderita. Dengan ongkos perang yang sangat mahal, kini tragedi itu kan kau ulangi lagi, ironis.
Di senja ini, aku menulis sinopsis history di balik negeri kota Ngawi, di sebuah lereng gunung Lawu menatap gersangnya bumi diselimuti iklim.
Telah tandus rerumputan di padang subur,
aku buka kunci memori dalam sejarah bangku study.
Aku simak dan kuperhatikan, betapa tragisnya sebuah sejarah di buku tua.
Tragis mencekam kala dunia ini perang lagi nanti. "Bila perang terjadi" jeritan tak lagi histeris, karena semuanya mati sekejap.
Ego dunia menerkam kedamaian
jantungku berdetak kencang, ketika selebrasi aksi teknologi diperagakan di pangkalan-pangkalan military di setiap bangsa.
Kau berdelik sebagai perisai diri,
padahal, akan membunuh kami dan generasi itu nanti.
Senjata-senjata yang akan kau muntahkan di pentas teknologi nuklir,
sebagai ajang unjuk gigi.
Akankah selebrasi itu potret membumi-hanguskan tanah- tanah ini kembali,
hingga ozon tak lagi menghidupkan makhluk bumi.
"Suratku buat yang bernurani"
oh, blok Barat dan blok Timur,
perangmu di ujung tanduk menakutkanku,
hipokrit perang bersorak di jantung kami.
Bolehkah aku usul sedikit?"
Berikan bumi ini senyuman kehidupan, perdamaian abadi di era teknologi ini. Sedangkan suara hak azasi manusia menggema di mana-mana dalam wadah cinta hanya seremonial saja.
Perserikatan Bangsa Bangsa,
bebaskan bumi ini dari penjajahan dunia dan genosida!
Kau lembaga mahkamah dunia
dalam perdamaian keadilan dan keamanan, di mana tanggung jawabmu sebagai security perdamaian dunia ini? "Ah...
kau seperti banci bersolek di senja hari,
berdandan rapi tapi tak punya nyali. Apakah lembagamu konspirasi tingkat tinggi sebagai homo homini lupus? Uuhh....
Suratku untuk perang dunia ketiga,
hentikan konfrontasi itu kini!!
bola api jangan kau nyalakan lagi di sana.
Ke mana kuda-kuda kami kan berpacu berlari bermain di rerumputan nan subur, derapnya jadi berdebu gersang alang kepalang, bisa jadi ia mati sebelum bercumbu dengan embun di atas daun-daun.
Akankah kami menerobos gelap
seperti malam padahal siang,
seakan gerhana matahari berkabut oleh kilatan nuklir di atas kepala ini, kami takut tuan-tuan.
Siang seperti malam, bak kilatan mendung halilintar riuh gemuruh mechiu mengharu biru.
Rintihan itu menakutkan jiwa kami
lolongan dan air mata duka kutadah di keranjang tua, dia meleleh di telapak tangan ini,
tak tertampung tumpah berserakan di tangan yang telah pasrah.
Kami takut tuan, layar bendera telah kau kibarkan.
Masinis kereta, driver tank baja,
kapten pilot jet tempur, telah bersiap siaga ke medan laga,
pelatuk senjata seketika dimuntahkan.
Rudal-rudal penghancur akan diluncurkan, meruntuhkan peradaban
bom pembunuh masal akan beraksi membunuh penduduk bumi
sekejap itu matilah kami seketika,
lolongan kematian tak terdengar lagi, panggung dunia usai sudah....
HR RoS
Ngawi, 5 April 2016 16:50
SURAT UNTUK PERANG DUNIA KETIGA
Romy Sastra II
Wahai penghuni bumi, sejarah telah mencatat, betapa kejamnya penjajahan itu.
Menderita kehidupan di bawah langit, kan kami rasakan nanti.
Dulu Nagasaki dan Hiroshima jadi abu,
Eropa, Asia, Afrika dan Amerika menderita. Dengan ongkos perang yang sangat mahal, kini tragedi itu kan kau ulangi lagi, ironis.
Di senja ini, aku menulis sinopsis history di balik negeri kota Ngawi, di sebuah lereng gunung Lawu menatap gersangnya bumi diselimuti iklim.
Telah tandus rerumputan di padang subur,
aku buka kunci memori dalam sejarah bangku study.
Aku simak dan kuperhatikan, betapa tragisnya sebuah sejarah di buku tua.
Tragis mencekam kala dunia ini perang lagi nanti. "Bila perang terjadi" jeritan tak lagi histeris, karena semuanya mati sekejap.
Ego dunia menerkam kedamaian
jantungku berdetak kencang, ketika selebrasi aksi teknologi diperagakan di pangkalan-pangkalan military di setiap bangsa.
Kau berdelik sebagai perisai diri,
padahal, akan membunuh kami dan generasi itu nanti.
Senjata-senjata yang akan kau muntahkan di pentas teknologi nuklir,
sebagai ajang unjuk gigi.
Akankah selebrasi itu potret membumi-hanguskan tanah- tanah ini kembali,
hingga ozon tak lagi menghidupkan makhluk bumi.
"Suratku buat yang bernurani"
oh, blok Barat dan blok Timur,
perangmu di ujung tanduk menakutkanku,
hipokrit perang bersorak di jantung kami.
Bolehkah aku usul sedikit?"
Berikan bumi ini senyuman kehidupan, perdamaian abadi di era teknologi ini. Sedangkan suara hak azasi manusia menggema di mana-mana dalam wadah cinta hanya seremonial saja.
Perserikatan Bangsa Bangsa,
bebaskan bumi ini dari penjajahan dunia dan genosida!
Kau lembaga mahkamah dunia
dalam perdamaian keadilan dan keamanan, di mana tanggung jawabmu sebagai security perdamaian dunia ini? "Ah...
kau seperti banci bersolek di senja hari,
berdandan rapi tapi tak punya nyali. Apakah lembagamu konspirasi tingkat tinggi sebagai homo homini lupus? Uuhh....
Suratku untuk perang dunia ketiga,
hentikan konfrontasi itu kini!!
bola api jangan kau nyalakan lagi di sana.
Ke mana kuda-kuda kami kan berpacu berlari bermain di rerumputan nan subur, derapnya jadi berdebu gersang alang kepalang, bisa jadi ia mati sebelum bercumbu dengan embun di atas daun-daun.
Akankah kami menerobos gelap
seperti malam padahal siang,
seakan gerhana matahari berkabut oleh kilatan nuklir di atas kepala ini, kami takut tuan-tuan.
Siang seperti malam, bak kilatan mendung halilintar riuh gemuruh mechiu mengharu biru.
Rintihan itu menakutkan jiwa kami
lolongan dan air mata duka kutadah di keranjang tua, dia meleleh di telapak tangan ini,
tak tertampung tumpah berserakan di tangan yang telah pasrah.
Kami takut tuan, layar bendera telah kau kibarkan.
Masinis kereta, driver tank baja,
kapten pilot jet tempur, telah bersiap siaga ke medan laga,
pelatuk senjata seketika dimuntahkan.
Rudal-rudal penghancur akan diluncurkan, meruntuhkan peradaban
bom pembunuh masal akan beraksi membunuh penduduk bumi
sekejap itu matilah kami seketika,
lolongan kematian tak terdengar lagi, panggung dunia usai sudah....
HR RoS
Ngawi, 5 April 2016 16:50
Selasa, 04 April 2017
Puisi
LAWAN PERUSAK ALAM
Romy Sastra II bersama Joko Gali
Kepada zaman nan bertopeng kemajuan
Pada tuan-tuan berdasi otak eksplorasi
Jangan ganggu kearifan alam
Pecundangi bumi eskploitasi kepentingan
Alam ini kehidupan regenerasi
Jangan dirikan geothermal delik kebutuhan
Otakmu licik merampas kesuburan
Dampak-dampak tak kau hiraukan lagi
Bumi Lawu kami lestarikan bersama
Akan dirusak oleh tangan-tangan penjajah
Gunung diam bukan dungu
Ia tertidur tak bisu jangan bangunkan
Jika terjaga digali, pondasi itu runtuh
Memuntahkan bencana di negeri Jawadwipa
Tidak untuk geothermal
Kami pagar hidup generasi leluhur itu
HR RoS
Jakarta, 04/04/2017
Romy Sastra II bersama Joko Gali
Kepada zaman nan bertopeng kemajuan
Pada tuan-tuan berdasi otak eksplorasi
Jangan ganggu kearifan alam
Pecundangi bumi eskploitasi kepentingan
Alam ini kehidupan regenerasi
Jangan dirikan geothermal delik kebutuhan
Otakmu licik merampas kesuburan
Dampak-dampak tak kau hiraukan lagi
Bumi Lawu kami lestarikan bersama
Akan dirusak oleh tangan-tangan penjajah
Gunung diam bukan dungu
Ia tertidur tak bisu jangan bangunkan
Jika terjaga digali, pondasi itu runtuh
Memuntahkan bencana di negeri Jawadwipa
Tidak untuk geothermal
Kami pagar hidup generasi leluhur itu
HR RoS
Jakarta, 04/04/2017
Senin, 03 April 2017
Puisi prosais
TINTA TERAKHIR UNTUKMU NONA
Oleh Romy Sastra II
Tinta merah menggores resah
Pada diksi kertas putih bernoda
Kanvas-kanvas tua hampir pudar warna
Melukis kasih sebagai tinta terakhir
Di peraduan mimpi selimut luka
Khayal ini terjaga
Menoleh lembaran-lembaran memori
Menatap jurang-jurang pemisah
Di antara nostalgia kisah Kasih
Kasih yang tak mungkin disulam kembali
History usang sudah
Tinta ini kian mengering
Tak lagi berwarna jingga telah bernoda darah
Kecewa yang menggunung
Jatuh terhempas ke lembah lara
Tinta terakhir ini
Kupersembahkan ke dalam syair
Menilai kearifan kekasih
"Ah... masih adakah rasa dikau untukku
Yang kokoh berdiri pada janji
Untuk memahami relung-relung takdir
Dari cabaran maruah cinta yang rela
Antara aku kau dia dan mereka
Tinta terakhirku ini kian memudar
Ketika kertas putih di albumku
Telah terkoyak berdebu cemburu
Yang tak bisa lagi melukis wajah rindu
Ter-iris sembilu tuduhan hipokrit cinta
Yang sesungguhnya
Bukanlah jubah pribadiku Nona
Diksi rasa cinta ini
Akan menutup lembaran biru
Lembaran hati telah beku
Tak lagi membimbing masa depan
Dari cabaran puisi yang kian tersisih
"Oh... Nona, aku memang masih di sini
Menatap menyirami bungamu nan indah
Dengan seteguk tirta maya cinta dalam bisu
Yang mengalir dari tetesan air mata rindu
Pertanda cinta ini masih ada
dan setia untukmu
Bila suatu masa jalinan kasihmu setia
Bernoktah cinta sepanjang hari
Hingga ikrar di depan penghulu
Setumpuk cabaran menjadi pelajaran
Tinta ini tak akan kuakhiri Nona
Walau mimpiku usai
Impian dan harapan terbengkalai
Daku tetap meraih obsesi dari sebuah mimpi
Jika malam tetap kau sinari
Meski mimpi-mimpi itu semu
Kan bias ditelan waktu
"Duhh ... taman khayalku merindu
Nan selalu melukis warna hati pada kekasih
Seperti indahnya pelangi jingga
Yang memerah di peraduan senja
Kusapa dikau cinta
Di kala senja hari
Adakah malam ini berpelita sinar purnama
Sedangkan malam ini
Musim masih saja berkabut
Aku serasa dibodohi si pungguk
Bermain rindu di dahan lapuk
Ketika bulan malu memadu rindu
Dikau hadirlah Nona!
Jangan pijar malam menjadi temaram
Jadilah sosok Juwita menari indah
Di dada langit
Kan menyinari pekatnya kabut buana
Daku tak lagi punya ruang
Tempat berlari mengejar bayanganmu
Tersenyum menatapmu yang jauh Yang bersandar di ranting bulan nan merindu
Meski kunang-kunang hatiku
Tak cukup mampu menerangi cinta
Di seantero mayapada
Dan terangi sukma pilu
Mengobati cerita terluka lara
Dalam kisah cinta yang tak nyata
Ketika tinta yang memudar ini masih tersisa
Yang akan melukis malam
Senyumlah!"
Pelita kecil itu janganlah sampai padam
Sedangkan dikau masih dalam genggaman
Embun rinduku
Yang selalu mencair di awal pagi
Menatap teriknya mentari siang tadi
Ketika senja tiba
Harapan pesimis memandang lembayung
Di tengah riak buih risau
Menitip kabar pada pelangi yang menepi
Ke telaga kasih nan membisu
Kabarku sama seperti yang berlalu
Aku masih mencintaimu, Nona
"Oh ... terik"
Laju sinarmu membakar langit
Hangatkan tubuhku sekejap saja!
Izinkan jejak ini menggapai obsesi hari
Senja telah tenggelam
Berharap, siluet cinta nan nyata merona
Pada keagungan Illahi Rabbi
Mendekap dalam doa-doa senja
Menitip sebait asma
"Berharap,"
cinta di hati ini janganlah redup
Aku masih seperti yang dulu yang kau rindu,
Memadah telepati dalam luah telik sandi
Meski menggores ayat-ayat pesimis
Jika kau tak lagi mengharap kehadiranku
Tak mengapa, aku juga rela
Pada tinta terakhir ini Nona
Tak jua dikau mengerti arti kekasih
Daku tak ingin jemari ini terhenti Menitip larik-larik puisi
Padamu Nona Maya si cemburu buta
Ketika goresan tintaku tak lagi dihargai
Dan tak lagi kau hantarkan warna ceria
Ke arena kanvas rupa rasaku
Yang mulai menipis di kertas putih
Karena rasaku semakin sepi
Semenjak ditinggal pergi
Pada bayangan mimpi kekasih
"Aahh ... mimpi.
Dikau paranoid tidur malamku ....
HR RoS
Jakarta, 03/04/2017
Oleh Romy Sastra II
Tinta merah menggores resah
Pada diksi kertas putih bernoda
Kanvas-kanvas tua hampir pudar warna
Melukis kasih sebagai tinta terakhir
Di peraduan mimpi selimut luka
Khayal ini terjaga
Menoleh lembaran-lembaran memori
Menatap jurang-jurang pemisah
Di antara nostalgia kisah Kasih
Kasih yang tak mungkin disulam kembali
History usang sudah
Tinta ini kian mengering
Tak lagi berwarna jingga telah bernoda darah
Kecewa yang menggunung
Jatuh terhempas ke lembah lara
Tinta terakhir ini
Kupersembahkan ke dalam syair
Menilai kearifan kekasih
"Ah... masih adakah rasa dikau untukku
Yang kokoh berdiri pada janji
Untuk memahami relung-relung takdir
Dari cabaran maruah cinta yang rela
Antara aku kau dia dan mereka
Tinta terakhirku ini kian memudar
Ketika kertas putih di albumku
Telah terkoyak berdebu cemburu
Yang tak bisa lagi melukis wajah rindu
Ter-iris sembilu tuduhan hipokrit cinta
Yang sesungguhnya
Bukanlah jubah pribadiku Nona
Diksi rasa cinta ini
Akan menutup lembaran biru
Lembaran hati telah beku
Tak lagi membimbing masa depan
Dari cabaran puisi yang kian tersisih
"Oh... Nona, aku memang masih di sini
Menatap menyirami bungamu nan indah
Dengan seteguk tirta maya cinta dalam bisu
Yang mengalir dari tetesan air mata rindu
Pertanda cinta ini masih ada
dan setia untukmu
Bila suatu masa jalinan kasihmu setia
Bernoktah cinta sepanjang hari
Hingga ikrar di depan penghulu
Setumpuk cabaran menjadi pelajaran
Tinta ini tak akan kuakhiri Nona
Walau mimpiku usai
Impian dan harapan terbengkalai
Daku tetap meraih obsesi dari sebuah mimpi
Jika malam tetap kau sinari
Meski mimpi-mimpi itu semu
Kan bias ditelan waktu
"Duhh ... taman khayalku merindu
Nan selalu melukis warna hati pada kekasih
Seperti indahnya pelangi jingga
Yang memerah di peraduan senja
Kusapa dikau cinta
Di kala senja hari
Adakah malam ini berpelita sinar purnama
Sedangkan malam ini
Musim masih saja berkabut
Aku serasa dibodohi si pungguk
Bermain rindu di dahan lapuk
Ketika bulan malu memadu rindu
Dikau hadirlah Nona!
Jangan pijar malam menjadi temaram
Jadilah sosok Juwita menari indah
Di dada langit
Kan menyinari pekatnya kabut buana
Daku tak lagi punya ruang
Tempat berlari mengejar bayanganmu
Tersenyum menatapmu yang jauh Yang bersandar di ranting bulan nan merindu
Meski kunang-kunang hatiku
Tak cukup mampu menerangi cinta
Di seantero mayapada
Dan terangi sukma pilu
Mengobati cerita terluka lara
Dalam kisah cinta yang tak nyata
Ketika tinta yang memudar ini masih tersisa
Yang akan melukis malam
Senyumlah!"
Pelita kecil itu janganlah sampai padam
Sedangkan dikau masih dalam genggaman
Embun rinduku
Yang selalu mencair di awal pagi
Menatap teriknya mentari siang tadi
Ketika senja tiba
Harapan pesimis memandang lembayung
Di tengah riak buih risau
Menitip kabar pada pelangi yang menepi
Ke telaga kasih nan membisu
Kabarku sama seperti yang berlalu
Aku masih mencintaimu, Nona
"Oh ... terik"
Laju sinarmu membakar langit
Hangatkan tubuhku sekejap saja!
Izinkan jejak ini menggapai obsesi hari
Senja telah tenggelam
Berharap, siluet cinta nan nyata merona
Pada keagungan Illahi Rabbi
Mendekap dalam doa-doa senja
Menitip sebait asma
"Berharap,"
cinta di hati ini janganlah redup
Aku masih seperti yang dulu yang kau rindu,
Memadah telepati dalam luah telik sandi
Meski menggores ayat-ayat pesimis
Jika kau tak lagi mengharap kehadiranku
Tak mengapa, aku juga rela
Pada tinta terakhir ini Nona
Tak jua dikau mengerti arti kekasih
Daku tak ingin jemari ini terhenti Menitip larik-larik puisi
Padamu Nona Maya si cemburu buta
Ketika goresan tintaku tak lagi dihargai
Dan tak lagi kau hantarkan warna ceria
Ke arena kanvas rupa rasaku
Yang mulai menipis di kertas putih
Karena rasaku semakin sepi
Semenjak ditinggal pergi
Pada bayangan mimpi kekasih
"Aahh ... mimpi.
Dikau paranoid tidur malamku ....
HR RoS
Jakarta, 03/04/2017
Minggu, 02 April 2017
Prosaliris
SAJAK ALAM MENGGAPAI RINDU
Karya Romy Sastra II
mendung nan berarak rinaikan air suci, gravitasi langit berkoloni di awan nan tinggi
betapa hebatnya sebuah kekuatan tak kelihatan
terpikirkan dalam lamunan
Engkau Tuhan adalah kerinduan
rinai itu jatuh ke bumi
menyisakan embun di rerumputan,
burung-burung nan bersolek
berkicau riang menyapa pasangan,
sayap nan cantik memancing kemesraan
nyanyiannya lembut adalah kedamaian
tertiup angin lena dimabuk asmara,
parung berkicau memanggil rindu
mari bersimponi bersamaku wahai kekasih,
dengan larik rindu sepoinya angin surgawi
aliran tirta di lembah menuju muara
menyapa segala biota di telaga kering
senang riang gembira
daun-daun muda di gurun menari erotis
gersang telah menghilang,
sang banyu menyemai segala rindu,
dari rasa cinta kearifan maha cinta
dahaga di tanah kering subur sudah
sajak alam menggapai rindu
pada rinai yang menghapus segala dahaga
biarkan jiwa ini berpaling
dari kepalsuan cinta dunia
menghilang ke dalam ranah maha jiwa
tak ingin menduakan maha kekasih
asyik tak terusik
karam ke samudera cinta tertinggi
yang bertaburan mutiara nan indah
ya, di jiwa ini ....
HR RoS
Jakarta, 03/04/2017
Karya Romy Sastra II
mendung nan berarak rinaikan air suci, gravitasi langit berkoloni di awan nan tinggi
betapa hebatnya sebuah kekuatan tak kelihatan
terpikirkan dalam lamunan
Engkau Tuhan adalah kerinduan
rinai itu jatuh ke bumi
menyisakan embun di rerumputan,
burung-burung nan bersolek
berkicau riang menyapa pasangan,
sayap nan cantik memancing kemesraan
nyanyiannya lembut adalah kedamaian
tertiup angin lena dimabuk asmara,
parung berkicau memanggil rindu
mari bersimponi bersamaku wahai kekasih,
dengan larik rindu sepoinya angin surgawi
aliran tirta di lembah menuju muara
menyapa segala biota di telaga kering
senang riang gembira
daun-daun muda di gurun menari erotis
gersang telah menghilang,
sang banyu menyemai segala rindu,
dari rasa cinta kearifan maha cinta
dahaga di tanah kering subur sudah
sajak alam menggapai rindu
pada rinai yang menghapus segala dahaga
biarkan jiwa ini berpaling
dari kepalsuan cinta dunia
menghilang ke dalam ranah maha jiwa
tak ingin menduakan maha kekasih
asyik tak terusik
karam ke samudera cinta tertinggi
yang bertaburan mutiara nan indah
ya, di jiwa ini ....
HR RoS
Jakarta, 03/04/2017
#monolog
#monolog
NEGERI DI UJUNG TANDUK
Oleh Romy Sastra II
Hitam dan putih menjadi abu-abu
hitam seperti berjubah suci
putih bernoda tersisih bungkam dikotori
kelabu sudah vigur seakan bertopeng dewa
joki terlena di punggung kuda
seperti raja berlari menuju tahta
penonton sibuk bernyanyi di layar kaca.
"Duuhh....
Si pengkhianat menyulut obor
bakar sajalah!
Hartawan senyum-senyum di istana megah
si miskin kian menjerit terjajah setiap hari
statemen beo ego diri
landasan kebenaran bibir sendiri
lidah memang tak bertulang
bercakap seenaknya saja
seperti dewa yang bertuah
disanjung di arena pengabdian
padahal homo homini lupus
ironis negeriku di ujung tanduk.
Akankah?
Caos jalan penyelesaian yang dinanti
sebagai jawaban hitam dan putih
berselimut abu-abu
bukan kami meminta negeri ini hancur lebur
mereka yang membuat skenario dunia ketiga sebagai panggung sandiwara
hingga negeri ini parah terpecah belah
kronis sudah oleh maling-maling berdasi
dari akar rumput hingga pucuk tertinggi.
Berguguran daun-daun tua muda
harga diri jatuh ke bawah
masih membela praduga tak bersalah
hingga tubuh negeri keropos
nadinya seakan terhenti bergerak
oleh benalu kekuasaan di setiap peradaban.
Negeri ini telah di ujung tanduk kawan,
menunggu bom waktu bratayuda
tak bisa dielakkan
lebih cepat lebih baik
prajurit sang patriot tampil memimpin
naik tahta membawa panji kejayaan
di sini dan di sana
akan memandu gejolak tak terduga
pasukan semut siap sudah turun gunung berkompetisi
menunggu komando perang saudara, dari intrik kapitalis yang culas.
Waspadalah...
bahaya di depan mata kita,
sewaktu-waktu kan tiba....
HR RoS
Jakarta, 02/04/2017
NEGERI DI UJUNG TANDUK
Oleh Romy Sastra II
Hitam dan putih menjadi abu-abu
hitam seperti berjubah suci
putih bernoda tersisih bungkam dikotori
kelabu sudah vigur seakan bertopeng dewa
joki terlena di punggung kuda
seperti raja berlari menuju tahta
penonton sibuk bernyanyi di layar kaca.
"Duuhh....
Si pengkhianat menyulut obor
bakar sajalah!
Hartawan senyum-senyum di istana megah
si miskin kian menjerit terjajah setiap hari
statemen beo ego diri
landasan kebenaran bibir sendiri
lidah memang tak bertulang
bercakap seenaknya saja
seperti dewa yang bertuah
disanjung di arena pengabdian
padahal homo homini lupus
ironis negeriku di ujung tanduk.
Akankah?
Caos jalan penyelesaian yang dinanti
sebagai jawaban hitam dan putih
berselimut abu-abu
bukan kami meminta negeri ini hancur lebur
mereka yang membuat skenario dunia ketiga sebagai panggung sandiwara
hingga negeri ini parah terpecah belah
kronis sudah oleh maling-maling berdasi
dari akar rumput hingga pucuk tertinggi.
Berguguran daun-daun tua muda
harga diri jatuh ke bawah
masih membela praduga tak bersalah
hingga tubuh negeri keropos
nadinya seakan terhenti bergerak
oleh benalu kekuasaan di setiap peradaban.
Negeri ini telah di ujung tanduk kawan,
menunggu bom waktu bratayuda
tak bisa dielakkan
lebih cepat lebih baik
prajurit sang patriot tampil memimpin
naik tahta membawa panji kejayaan
di sini dan di sana
akan memandu gejolak tak terduga
pasukan semut siap sudah turun gunung berkompetisi
menunggu komando perang saudara, dari intrik kapitalis yang culas.
Waspadalah...
bahaya di depan mata kita,
sewaktu-waktu kan tiba....
HR RoS
Jakarta, 02/04/2017
Langganan:
Postingan (Atom)