Minggu, 23 April 2017

Puisi Kematian

NAPAS DI UJUNG MAUT
Romy Sastra II

satu-satu rasul pergi
yang bersemayam di dalam diri
sebagai jembatan religi menemui Ilahi Rabbi
telah jauh jejak langkah melaju
torehkan seribu satu cerita
tentang fananya dunia
bahwa kematian pasti terjadi

runtuh sudah gunung Thursina
sentuhan lembut tak lagi hangat
langit-langit hambar tak lagi berasa
pendengaran tak lagi berdenging, tuli
lidah patah perigi kering, dahaga
netra melirik tatapan buta
el-maut masih dalam perjalanan hampir tiba
sekejap saja sudah berada di depan rumah

riuh membuncah ruh-ruh
penggoda datang silih berganti
menyuguhkan menu-menu surgawi
padahal fatamorgana saja
sang sakaratul maut gundah
selera makan lahap terasa
seperti lapar terbaik
lelah dan payah habis berlari haus sekali

di mana, dan ke mana arah jalan pulang
nan ditempuh tak tahu destinasi abadi
laknatullah merayu pada satu titik ruh
kembalilah kepadaku wahai si fulan
istana megah menantimu di sana
ayah bundamu merindukan selalu
ikutlah bersamaku
sambutlah jemari kasih ini
kau selamat dalam genggamanku
ternyata ia pengkhianat sejati
menggoda kematian religi di segala tubuh

pergulatan terhebat
bukan mencari sensasi gelar posisi duniawi
tetapi melawan segala penipuan
yang akan terlempar ke lembah marakhayangan
lembah kepiluan, penyesalan teragung
tunggu sajalah nanti
jika tak percaya pada larik-larik puisi ini

napas di ujung maut
pertempuran hitam dan putih
apakah terhempas ke lembah lara
atau pulang ke kampung halaman terindah
berpikirlah,
jalan mana kan kau lalui
hanya ilmu dan amal jawabannya

HR RoS
Jakarta, 24,4,17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar